‘Tentang Industri Hulu Migas Indonesia… (1)’

hulu migas (by fahrudin efendi)

‘Apa yang Terjadi Sebenarnya?’

Ketika sedang mengobrol asyik sebulan lalu, seorang kawan bertanya bagaimana lanskap bisnis di Indonesia? Dia yang berasal dari negeri Paman Sam sekedar ingin tahu bagaimana economic outlook negeri ini. Kebetulan saya bekerja sebagai asisten riset di sebuah think tank bernama Paramadina Public Policy Institute, dan punya beberapa data dari laporan yang kami buat akhir tahun lalu.*

Saya jelaskan, pada 2014 lalu, World Bank mengungkap jatuhnya rangking ‘keramahan’ negeri ini terhadap investasi. Pada 2006, Indonesia terpuruk pada posisi 114. Sementara pada 2014, Indonesia turun 6 peringkat menjadi 120 dari total 189 negara yang dirangking. Bukan berita baik tentunya.

Indonesia sebenarnya punya angka yang relatif baik dalam melindungi investor (ke-52) dan perdagangan lintas batas (ke-54). Ini tentu berita baik. Namun jelas, Indonesia masih jauh dibelakang negara-negara lain di kawasannya seperti Malaysia dan Thailand terutama dalam hal prosedur yang rumit untuk memulai bisnis, membayar pajak, dan menyelesaikan perkara kebangkrutan.

Mengapa investasi menarik bagi saya? Yang menarik tentang ekonomi Indonesia adalah saat ini negeri ini tak punya banyak pilihan untuk tetap tumbuh. Untuk tumbuh, sebuah negara membutuhkan pertumbuhan dari konsumsi, belanja negara, investasi dan selisih positif ekspor dan impor. Ini semua biasa disebut produk domestik bruto atau PDB.

Sektor-sektor dan sifatnya

Dari keempat faktor tersebut, saat ini dengan mudah kita bisa saksikan pertumbuhan konsumsi yang lesu, belanja negara yang tak mungkin ditambah dan selisih negatif ekspor impor. Satu-satunya pilihan yang dimiliki adalah investasi. Mengapa hanya itu? Karena hanya investasi yang bisa dikendalikan. Mau ikut turun juga, pemerintah tinggal duduk manis tak biarkan iklim investasi memburuk. Mau naik, pemerintah perbaiki iklim investasinya.

Diskusi kecil di sebuah kafe di salah satu Mall di Jakarta itu berlanjut. Saya pun menjelaskan bahwa tentu banyak sektor yang bisa menjadi tujuan investasi di Indonesia. Namun perlu diperhatikan bahwa setiap sektornya memiliki sifat atau karakter yang berbeda.

Mengutip apa yang disampaikan salah satu bos saya, sektor-sektor yang kesuksesan bisnis di dalamnya tidak terlalu tergantung pada campur tangan dan izin pemerintah dan beroperasi di pasar dengan persaingan terbuka tentu memiliki tantangan bisnis tantangan bisnis yang relatif rendah (Wijayanto, 2014).

Berbeda dengan sektor yang ‘pemenang’ dan ‘pecundangnya’ ditentukan penuh oleh pemerintah. Tantangan kebijakan dan investasi bisnisnya cenderung memiliki ketidakpastian yang tinggi. Sektor ini biasanya tak punya banyak pemain namun produk yang mereka kelola jumlahnya relatif besar dan penting untuk suatu negara. Salah satu sektor yang ‘basah’ namun penuh ketidakjelasan ini tak lain adalah sektor migas.

Di Indonesia, pengelolaan migas diatur dalam berbagai peraturan dan perundangan yakni UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas; PP 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi; Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 22 Tahun 2008 tentang Jenis-Jenis Biaya Kegiatan Hulu Minyak Dan Gas Bumi Yang Tidak Dapat Dikembalikan Kepada Kontraktor Kontrak Kerjasama.

Saya pun menjelaskan apa yang saya perlu baca dalam salah satu proyek penelitian yang saya ‘asisteni’. Jadi, dalam buku Ekonomi Migas (2012), Benny Lubiantara menjabarkan bahwa bentuk pengelolaan industri migas pada dasarnya memiliki tiga fungsi penopang pemain utama yakni kebijakan, regulasi dan fungsi komersial atau bisnis. Di berbagai negara yang memiliki industri migas, fungsi-fungsi ini bekerja dengan dua tipe yakni pemisahan ketiga fungsi tersebut dan tidak terjadi pemisahan.

Di negara yang melakukan pemisahan, yang hampir sebagian besar negara OECD, fungsi kebijakan dijalankan oleh kementerian atau lembaga sepadan, sementara fungsi regulasi dan bisnis masing-masing dijalankan oleh direktorat migas atau lembaga khusus atau satuan kerja khusus dan perusahaan migas nasional atau perusahaan migas swasta. Contohnya adalah Norwegia dan Brazil.

(UPDATE: Dengan adanya SKK Migas, saya pikir Indonesia mengikuti sistem pemisahan ini. Namun saya juga kurang yakin, sebab meski keberadaan SKK Migas krusial, tapi fungsinya dinilai abu-abu. Investor banyak mengeluhkan peran ganda lembaga ini–yang juga dibahas dalam tulisan ini)

Sementara mereka yang menganut penggabungan fungsi, memiliki dua jenis tata kelola industri yang berbeda. Pertama penggabungan kebijakan dan regulasi dimana kementerian memegang menjalankan dua fungsi tersebut. Sementara, fungsi bisnis dijalankan oleh perusahaan migas nasional dan/atau swasta.Kedua, penggabungan fungsi kebijakan yang dimainkan oleh kementerian sementara fungsi regulasi dan bisnis dijalankan penuh oleh perusahaan migas nasional dengan perusahaan swasta menjadi partner-nya.

Negara-negara yang menggunakan sistem penggabungan ini di antaranya Saudi Arabia (Aramco) dan Malaysia (Petronas), Venezuela (PDVSA) dan Iran (NIOC).

Faktanya, di negara-negara berkembang, peran bisnis lebih banyak dijalankan oleh perusahaan migas nasional baik bekerjasama dengan perusahaan swasta ataupun tidak. Sementara di negara maju, bukan hanya negara tidak terjun langsung menangani industri migas, tetapi juga mereka tidak memiliki perusahaan migas nasional. Hampir semua pengelolaan diserahkan kepada swasta seperti yang terjadi di USA, UK, Australia dan Kanada (Lubiantara, 2012)..

Hulu migas Indonesia dan SKK Migas

Di Indonesia, seperti pada umumnya negara-negara berkembang, pengelolaan industri hulu migas tentu mengikuti pola negara-negara berkembang pada umumnya. Terdapat penggabungan fungsi antara pengatur kebijakan dan regulasinya yang dijalankan oleh masing-masing Kementerian ESDM dan SKK Migas. Dalam pengelolaan di lapangannya, Pertamina sebagai perusahaan migas nasional bekerja sama dengan beberapa investor/perusahaan swasta seperti Chevron, Total dan Exxon.

Ketika asyik saya menjelaskan tentang dunia migas (yang sebenarnya sedikit saya kuasai dan saya agak bingung mengapa jadi pembicaraannya ke sini…), kawan saya yang berprofesi sebagai wartawan lepas dan aktivis lingkungan pun menyela, “Tentang industri hulu migas Indonesia, apa yang terjadi sebenarnya?”

1336176SKK-Migas780x390
Sumber: Kompas.com

Dia banyak baca tentang sebuah lembaga bernama SKK Migas. Dari apa yang ia baca, lembaga ini punya wewenang kuat dan menjadi wakil pemerintah Indonesia di industri migas dalam negeri.

Kehadiran SKK migas tentu bukan tanpa maksud sepele, jelas saya padanya. SKK punya pijakan hukum yang kuat yakni Perpres No 9 tahun 2013. Tugasnya jelas, melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan setiap kontrak kerjasama (KKS).

Sekilas tentang KKS, jenis KKS yang diberlakukan saat ini di Indonesia adalah production sharing contract atau PSC. Kompas.com (2014) menulis bahwa PSC itu laksana model usaha petani penggarap. Dalam hal ini, pemerintah sebagai pemilik “sawah”. Sementara, perusahaan migas baik nasional maupun asing menjadi “petani penggarap” yang mendapat amant untuk mengelola swah. Penggarap ini menyediakan semua modal dan alat yang dibutuhkan.

“Semua pengeluaran ini tentunya harus disetujui pemilik sawah, karena modal tersebut akan dikembalikan kelak saat panen. Penggantian ini, yang dalam dunia migas dikenal dengan istilah cost recovery, hanya dilakukan jika “panen” tersebut berhasil atau ada temuan cadangan yang komersial untuk dikembangkan,” tulis Kompas.com (2014).

Bebeda jika ladang ternyata tidak berproduksi. Semua biaya akan ditanggung sepenuhnya oleh penggarap yakni investor/kontraktor migas. Namun jika berproduksi, hasilnya akan dikurangkan terlebih dahulu dengan modal yang harus dikembalikan (cost recovery), lalu kemudian dibagi antara pemilik sawah (pemerintah) dengan penggarap (investor) sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak.

Investor dan industri hulu migas pada umumnya sempat ketar-ketir ketika pada 2013 lalu BP Migas diputuskan bubar oleh Mahkamah Konstitusi. Namun pemerintah responsif dengan segera membentuk SKK Migas. PSC-PSC dengan investor pun tak terkena dampak buruk yang signifikan. Respon SKK Migas meredam kekhawatiran pun terbukti membuahkan beberapa prestasi.

Di awal kinerjanya, jelas saya padanya yang nampak antusias dan ingin menyampaikan apa yang ia pikirkan dibenaknya, SKK Migas mencatatkan rekor produksi minyak nasional mencapai 99% dari target APBN 2013. Detikcom (2013) mencatat bahwa pada semester pertama 2013 produksi minyak nasional mencapai rata-rata 831.118 barel per hari. Ini berarti produksi telah mencapai 99% dari target yang pada APBN-P 2013 yakni sebesar 840.000 barel perhari.

Selain itu, penerimaan negara dari pengelolaan industri hulu migas pada semester pertama target penerimaan negara dari sektor hulu migas ini sebesar US$ 18,4 miliar, yang melebihi target. Detikcom (2013) juga mencatat SKK Migas pernah mencegah penurunan produksi minyak hingga zero decline (nol persen). Produksi minyak secara alami pasti terus turun hingga 3-4% per tahun, namun setelah SKK Migas ketika dipimpin oleh Rudi Rubiandini (terlepas dari status terdakwanya) produksi minyak tidak mengalami penurunan produksi atau zero decline pada 2013 lalu.

Pada 2014 lalu, pengelolaan SKK Migas pun juga mendapat prestasi. Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada Laporan Keuangan (LK) SKK Migas. Opini diberikan untuk LK per 14 November sampai dengan 31 Desember 2012 dan untuk periode yang berakhir 31 Desember 2013. Opini BPK tersebut selaras opini-opini selama periode 2008-2013.

Lalu apa tantangan yang ada di industri yang ditangani SKK Migas ini? Simak di sini ‘Tentang Industri Hulu Migas Indonesia… (2)’



Leave a Reply