- March 11, 2015
- Posted by: Septa Dinata
- Category: Blogs, Energy, Investment, Special Report
Tantangannya: ‘Lu butuh, gua butuh’
Mengenai industri yang ditangani SKK Migas ini, setidaknya, ada dua karakter penting perlu dipahami dalam industri migas, khusunya bagian hulu-nya. Pertama, industri ini memerlukan angka investasi yang tidak kecil baik pada tahap eksplorasi dan eksploitasi. Kedua, ia membutuhkan masa pengembalian (recovery) dalam jangka yang sangat panjang, begitu kata Wijayanto, director PPPI.
Karena itu, industri hulu migas memerlukan kepastian khususnya di bidang kebijakan untuk menciptakan win-win solution baik bagi pemerintah dan swasta selaku investor. Bahasa gaulnya, ‘Lu butuh, gua butuh’. Maka dari itu kepastian kebijakan dan win-win solution diperlukan. Selain itu, menyambung apa yang saya katakana sebelumnya, industri ini juga sangat bergantung pada investasi khususnya dari perusahaan luar negeri.
Apakah industri ini tak punya tantangan? Itu pertanyaan yang saya dapatkan dari kawan saya. Bagaimana iklim investasinya? Katanya, ia banyak membaca dari media (dalam bahasa Inggris tentunya) bahwa terjadi kriminalisasi pada beberapa investor migas di Indonesia khususnya pada perusahaan dari negerinya, Amerika. Sistem cost recovery juga tak punya kepastian karena pada akhirnya investor yang dirugikan (The Jakarta Post, 2013). Ia jelas mengatakan kasus bioremediasi yang menimpa Chevron.
Tentu, dan banyak tantangannya, jawab saya. Sudah kita ketahui bahwa kapasitas dan teknologi yang dimiliki perusahaan migas dalam negeri (Pertamina) belum bisa mengakomodasi eksplorasi dan eksploitasi semua sumber di dalam negeri sendiri.
Sementara, industri hulu migas di dalam negeri tentu menjadi tulang punggung utama pasokan migas yang dikonsumsi rakyat Indonesia. Sayangnya, pengelolaannya tak lepas dari beragam kontroversi. Termasuk juga, peran SKK migas yang tak jarang menimbulkan kebingungan bagi investor.
Akhir tahun lalu, PPPI menerbitkan laporannya tentang iklim investasi di Indonesia. Salah satu di dalamnya dibahas tantangan-tantangan yang perlu segera dicarikan solusinya.
Dalam laporannya, PPPI mengemukakan bahwa kebijakan dalam industri hulu migas seringkali berubah-ubah tanpa diduga. Sering adanya perubahan yang terjadi dalam kebijakan eksplorasi dan eksploitasi. Banyak kontraktor PSC merasa terbebani dan dirugikan karena ketidakpastian ini, sebab investasi dan operasi mereka berjangka panjang.
Di antara peraturan yang dinilai ‘labil’ adalah yang berkaitan dengan sistem penganggaran, pajak, pelaksanaan kontrak kerja, tenaga kerja, tanah, dan teknis pelayanan izin usaha bagi pelaku bisnis migas. Namun yang paling perlu mendapat perhatian adalah kebijakan pemerintah yang tidak pasti (PPPI, 2014).
Tak bisa dipungkiri bahwa Indonesia sudah menjadi negara importir minyak. Lifting minyak sudah berkurang setengah dari produksi pada 1990-an yang kini hanya mencapai 800.000 barel per hari. Di tengah naiknya permintaan domestik, jelas Indonesia harus impor.
Ini diperburuk dengan kurangnya minat investor untuk bekerja lebih giat mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak karena ketidakpastian peraturan dan kedala birokrasi (PPPI, 2014). Dengan komposisi penerimaan negara dari migas mencapai sekitar 210 trilliun, maka ketidakseimbngan ini berpotensi menjadi kendala pertumbuhan ekonomi.
PPPI mencatat beberapa kendala yang membuat industri hulu migas negeri berkembang tak optimal. Pertama, pertentangan dan multitafsir peraturan tentang cost recovery, salah satu contoh di antaranya adalah yang terjadi dalam kasus Chevron berupa penerapkan sanksi pidana dalam sengketa perdata; Kedua, kesediaan pemerintah untuk mematuhi prinsip yang mengikat PSC.
Kendala ketiga adalah peran yang saling bertentangan dari SKK Migas sebagai regulator dan sebagai mitra bisnis kontraktor PSC. Terakhir, makin dekatnya masa akhir sebagian besar PSC dalam lima tahun ke depan, dan investasi modal yang signifikan pada masa mendatang akan bergantung pada kesediaan Pemerintah untuk menegosiasikan perjanjian perpanjangan PSC dalam waktu singkat dan dengan itikad baik.
Cost recovery menjadi permasalahan paling runyam dalam industri hulu migas saat ini. Permasalahan muncul ketika perselisihan yang melibatkan kontraktor, lembaga pengawas negara, kementerian atau Kejaksaan Agung, dan pengadilan diselesaikan berdasarkan hukum pidana. Padahal, dalam PSC sudah diatur bahwa ini akan diatur dengan hukum perdata.
Salah satu yang menjadi preseden penting tapi buruk dalam hal ini tentu kasus bioremediasi Chevron. Karyawan Chevron dan kontraktor yang dituntut secara pidana atas isu perdata, meskipun SKK Migas dan Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan tidak ada aturan yang dilanggar.
Pedang bermata dua
Pri Agung Rakhmanto, salah satu pengamat dan praktisi migas menilai bahwa investasi di industri hulu migas perlu direformasi atau setidaknya direstrukturisasi kembali. Ia mengatakan bahwa peran yang dimainkan pemerintah tak jarang membuat investor hanya bisa menurut sambil geleng-geleng kepala.
Pasalnya, pemerintah sudah tentu membutuhkan banyak investasi namun sangat mengatur. Pada batas tertentu seperti kepentingan nasional dsb, tentu bisa dipahami, namun pada batas-batas lain, campur tangan pemerintah tidak relevan.
“Pemerintah tidak ingin invest karena beberapa alasan. Itu bisa dipahami. Lalu mengajak investor datang. Tapi pemerintah ingin mengatur juga,” ujar Pri Agung dalam acara US-Indonesia Investment Summit, November 2014 lalu.
Menurutnya, dari sisi investor, pendiri Reforminer, sebuah think tank yang fokus pada industri migas, ini mengatakan bahwa data yang disodorkan pemerintah (kementerian ESDM) kepada investor sudah kadaluwarsa. Ini membuat risiko investasi menjadi tinggi sekali. Karena itu, menjadi partner bisnis yang baik menjadi rekomendasi penting untuk diperhatikan pemerintah. Dalam hal ini ia secara tidak langsung menunjuk SKK Migas.
“ESDM menjual daerah tapi basis datanya telah kadaluawrsa. Ini membuat industri hulu mgas menjadi industri dengan risiko investasi yang tinggi sekali. Pemerintah, SKK Migas, seharusnya menjadi partner bisnis bukan pengawas,” pesan Pri dalam wawancara sebelum acara US-Indonesia Investment Summit tersebut.
Peran ganda SKK Migas ini juga menjadi perhatian beberapa pihak lainnya seperti PPPI. Bima P Santosa, Managing Director PPPI mengatakan bahwa SKK Migas itu seperti memainkan peran ‘pedang bermata dua’. Seharusnya, sudah harus dipisah dimana kementerian menjadi penentu kebijakan dan peraturan, sementara SKK Migas bertindak murni sebagai pemain bisnis wakil pemerintah. Artinya pengelolaanya baik manajemen dan tanggung jawabnya harus seperti entitas bisnis yang siap rugi dan untung, bukan ikut melakukan pengawasan dan mengatur investasi.
“SKK Migas memiliki peran yang bermata dua. SKK menjadi bagian dari KKS selain itu juga menjadi pengatur KKS. Regulator seharusnya ESDM sementara bisnis player-nya adalah SKK Migas,” kata Bima dalam diskusi terbatas PPPI dengan para penelitinya Oktober silam.
Pertahankan SKK Migas, dengan catatan…
Namun demikian, SKK migas yang menjadi wakil pemerintah dalam setiap perjanjian (PSC) bagaimanapun juga telah menjalankan perannya. Kehadiran lembaga ini harus diakui menjamin kepastian hukum bisnis hulu migas di Indonesia setelah dibubarkannya BP Migas.
Keberadaan SKK Migas tentu harus dipertahankan karena peran yang diperankannya sangat strategis dan penting. Namun untuk menjaga stabilitas dan produktivitas industri hulu migas, banyak hal yang menjadi PR pemerintah bukan hanya tentang memperbaiki posisi dan tanggung jawab SKK Migas tapi juga, dan ini yang jauh lebih penting, memastikan bahwa lifting migas meningkat dan memenuhi kebutuhan yang ada khususnya di dalam negeri.
Kita pahami bahwa tren kegaitan hulu migas telah berubah dalam satu dekade terakhir. Faktanya, pertama, sumber-sumber migas saat ini didominasi oleh kegiatan yang berlokasi di lepas pantai (offshore). Kedua, arah sumber semakin ke arah kawasan timur Indonesia yang perairan lautnya lebih dalam. Ketida, temuan (discovery) lebih didominasi gas. Keempat, mulai dikembangkannya hidrokarbon non konvensional (CBM). Terkahir, gas lebih mendominasi volume tambahan cadangan baru (Rimbono, 2015).
Sistem cost recovery juga perlu direvisi dan jika memang perlu diubah. Mengapa? Ini telah menjadi polemik yang tak berkesudahan. Maka kita perlu membaca kembali apa yang menjadi rekomendasi tim reformasi migas yang menyatakan bahwa perlu mengubah sistem cost recovery yang selama ini menjadi tempat berlindung para mafia migas sambil mengorupsi uang negara. Tak tanggung-tanggung yang bermain bukan hanya oknum dari pihak pemerintah, tapi juga pihak swasta (CNNIndonesia, 2015).
Karena itu sistem lain yang telah dijalankan negara lain, khususnya negara berkembang, perlu dijadikan alternatif penting seperti profit sharing atau juga royalty dan pajak produksi seperti yang direkomendasikan Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang juga dikenal dengan tim anti-mafia migas itu (Detikcom, 2015).
Indonesia saat ini bukan lagi ‘jagoan’ dalam dunia migas. Cadangan minyak dan produksinya pun sudah sangat terbatas (0,2% minyak dunia). Indonesia sebenarnya punya cadangan gas yang cukup (1,6% gas dunia), tapi teknologi pengambilan dan pengolahannya juga belum optimal.
Karenanya, pada intinya, sela kawan saya, ujung-ujung tentu tidak ada yang ingin merugi bukan? Di sektor apapun, tak ada pihak yang ingin rugi dalam bisnis. Dalam industri hulu migas, baik pemerintah maupun investor sama-sama tak ingin ‘tekor’. Pemerintah perlu menghidupi rakyatnya, investor pun perlu membayar gaji pegawainya. Sebenarnya keduanya juga sama-sama membutuhkan. Investor perlu bekerja maksimal untuk keberlangsungan bisnis dan potofolio-nya, pemerintah perlu memenuhi kebutuhan migas dalam negeri demi, seperti kata undang-undang, kemakmuran rakyatnya.
Yang dibutuhkan untuk sama-sama untung hanyalah niat baik dari kedua belah pihak. Investor perlu keuntungan dan kepastian. Itu tentu harus dipahami pemerintah. Sementara, pemerintah tentu punya kepentingan nasional. Itu harus dipahami oleh pihak investor. (*)
Sumber gambar: Kompas.com
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.