Meninjau Ulang Kepemimpinan Politik Anak Muda

Ilustrasi/KOMPAS

Muhamad Rosyid Jazuli

KOMPAS.id, Opini, 13 Desember 2023

 

Rasanya sering kita mendengar perdebatan apakah anak muda pantas atau bahkan perlu menjadi pemimpin politik. Kata-kata seperti ”ketua parpol muda”, ”bupati/wali kota muda”, bahkan ”capres/cawapres muda” menjadi hangat di berbagai media. Terpilihnya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres menjadi pemanis paling mutakhir perdebatan ini.

Dalam sejarah, betul bahwa para bapak bangsa kita pada awalnya adalah pemimpin politik di usia muda mereka. Mohammad Hatta atau Bung Hatta, misalnya, nama dan tulisan-tulisannya telah ramai diperbincangkan publik sejak mereka berumur 20-an semasa era penjajahan. Di era-era selanjutnya, bermunculan tokoh-tokoh politik muda, seperti Jusuf Kalla atau Pak JK di akhir era 1960-an. Tentu, masih banyak tokoh politik muda lainnya, ”yang tak bisa kami sebutkan satu per satu”.

Di era ini, juga banyak kita temui berbagai figur politik muda. Kebetulan, hampir semua aktif di media sosial. Ada, misalnya, bupati dan ketua DPRD di bawah usia 30. Ada juga menteri-menteri muda. Di satu sisi, tentu ini benar menunjukkan bahwa anak muda bisa memimpin perpolitikan di Indonesia. Namun, di sisi lain, apakah hanya dengan bermodal ”muda” mereka dapat memperoleh kursi pemimpin itu?

Privilese dan kerja keras

Pada dasarnya, menjadi pemimpin berarti mengambil segunung tanggung jawab. Di dalam politik, seperti menjadi pemimpin partai ataupun pemimpin daerah, jelas sangat intens tugas dan tanggung jawabnya: ada nyawa orang harus diurusi, ada perut rakyat harus dikenyangkan, ada peradaban harus dibangun, dan sebagainya.

Melihat latar para pemimpin besar seperti Bung Hatta dan Pak JK, kita perlu jujur: mereka berasal bukan dari keluarga biasa. Mereka punya privilese, lahir dari keluarga yang elite kelas sosial dan ekonominya. Karena itu, mereka bisa menempuh pendidikan terbaik dan mendapatkan pengalaman yang luas sejak dini.

Namun, harus pula dicatat bahwa bagi figur-figur tersebut, alih-alih acuh dan mau hidup nyaman saja, mereka memilih untuk berjuang, mengorbankan harta dan martabatnya untuk masyarakat. Kita dapat mengingat kerja keras dan kesuksesan Bung Hatta dalam menaklukkan Belanda di Konferensi Meja Bundar dan bagaimana Pak JK mendamaikan konflik Aceh, Poso, dan Ambon.

Di era saat ini, kita menyaksikan telah banyak muncul pemimpin politik usia muda, bahkan di level nasional. Jujur: hampir semua ketua partai, bupati/wali kota atau anggota DPR muda di Indonesia berasal dari keluarga berprivilese. Sayangnya, banyak dari mereka yang secara instan, tiba-tiba menjadi pemimpin di level tertinggi.

Padahal, semestinya, untuk menjadi ketua partai di tingkat nasional, misalnya, tentu perlu berpengalaman memimpin dan membuat kebijakan di level desa, kecamatan, kota, lalu provinsi. Begitu pun untuk menjadi presiden dan wakil presiden, selayaknya ia telah melalui proses tempaan dan pengalaman di level-level provinsi, kota, dan desa.

Mudah tentu menyanggahnya: nyatanya banyak anak pejabat, kiai, atau tokoh masyarakat yang tidak jadi pejabat? Memang betul. Namun, hampir semua yang ”jadi” jelas-jelas punya privilese. Sederhananya, latar baik seseorang tak menjamin keberhasilannya, khususnya dalam menjadi pemimpin politik. Namun, privilese itu memberikan peluang jauh lebih besar ketimbang yang berlatar biasa.

Loyalitas

Selama bersinggungan dengan dunia politik, saya belajar secara langsung betapa ”tak adilnya” lingkungan ini. Mereka yang ”berdarah biru”, atau royalty, senantiasa mendapatkan kesempatan lebih. Namun, saya cepat belajar bahwa itulah fakta hidup yang harus diterima. Meski demikian, yang juga saya pelajari, ada hal lain yang lebih penting dan jauh lebih berdampak, yakni kesetiaan atau loyalty.

Menjadi insan yang setia adalah harta termahal dalam berbagai hal, termasuk tentu di dalam politik. Artinya, kalau royalty dan loyalty digabung, tentu akan lebih dahsyat. Singapura adalah contohnya.

Mendiang Lee Kuan Yew, Bapak Bangsa Singapura, memutuskan turun dari jabatannya sebagai perdana menteri. Ia punya kesempatan besar untuk menjadikan anaknya, Lee Hsien Loong, sebagai suksesornya. Padahal, waktu itu sang anak sedang berada pada posisi yang sangat strategis. Ia telah menjadi anggota parlemen dan punya peran penting di Partai Aksi Rakyat atau People’s Action Party yang diketuai Lee Kuan Yew. Nyatanya, takhta tersebut tak diberikan ke Lee Hsien Loong.

Lee Kuan Yew menyerahkan kepemimpinan kepada figur lain yang tentu berkaliber tinggi, yakni Goh Chok Tong. Dalam sebuah wawancara, Lee Kuan Yew mengatakan dengan jelas bahwa ia bisa saja dengan mudah menjadikan anaknya sebagai suksesornya. Namun, ia menyatakan bahwa citra Singapura harus lepas darinya. ”Negeri Singa” itu akan punya citra buruk-baik di dalam negeri dan di luar negeri jika anaknya menjadi penerusnya.

Pada akhirnya, Lee Hsien Loong menjadi Perdana Menteri Singapura menggantikan PM Goh Chok Tong. Dalam sebuah wawancara, PM Lee Hsien Loong mengatakan bahwa ia dengan sengaja diblok oleh ayahnya untuk menjadi suksesornya meskipun ia sangat berpeluang dan mampu mengemban peran tersebut.

Jam terbang

Ukuran menjadi pemimpin, politik khususnya, pada akhirnya bukan sekadar muda atau tidak. Namun, ia sebaiknya dilandaskan hal-hal yang lebih fundamental, termasuk pada kapasitas dan juga loyalitasnya. Kaliber pemimpin ditentukan oleh kedewasaan dan kesiapannya dalam mengatasi masalah, merumuskan kebijakan, dan mengambil keputusan, khususnya, di masa sulit.

Adalah fakta yang pahit untuk diterima bahwa banyak pemimpin politik nyatanya dari latar elite atau ber-privilese. Mungkin, sudah sunnatullah-nya demikian. Namun, status sebagai royal ini bukan jaminan suksesnya seorang pemimpin. Diperlukan, misalnya kesabaran, pengalaman atau jam terbang dan kesetiaan terhadap sebuah komunitas, termasuk partai politik, dan juga misi mulianya.

Masalahnya, kini mudah kita temui anak muda berlatar mampu, yang mengabaikan nilai-nilai loyalitas dan pengalaman tersebut. Mereka menjadi pemimpin atau calon pemimpin terburu-buru, tanpa mengindahkan proses, pengalaman dan kesetiaan. Ini tentu membahayakan semangat demokrasi kita.

Sebab, masyarakat seharusnya diberikan waktu untuk menilai dan memutuskan siapa pemimpin terbaiknya, bukannya disodori oleh pilihan-pilihan pemimpin ”muda” yang sebenarnya belum matang. Yang lebih buruk adalah nasib dan nyawa kita masyarakat biasa yang akhirnya jadi ”mainan”.

Jika nilai-nilai penting seperti kesetiaan dan kesabaran tak dipegang oleh para pemimpin ini, kita agak sangsi apakah mereka akan sabar dan setia dalam menuntun masyarakat untuk menuju ke arah perubahan yang lebih baik.

Muhamad Rosyid JazuliPeneliti di Paramadina Public Policy Institute; Kandidat Doktor dari University College London

Artikel Kolom ini pertama kali tayang di Rubrik Opini KOMPAS.id, 13 Desember 2023.

other public policy updates