Mentalitas Tujuh Persen dan Reformasi Struktural

Muhammad Iksan

Pemerintahan baru selalu melahirkan asa dan semangat baru. Begitu pula yang terjadi dengan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada Agustus 2014, Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tentang keyakinan publik terhadap Presiden terpilih saat itu – Jokowi- mencapai 71, 73 persen jauh di atas keyakinan publik saat Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono terpilih untuk kedua kali di bulan Desember 2009 “hanya” mencapai 68,50 persen.

Ekspektasi yang begitu tinggi terhadap Pemerintahan Jokowi perlu dikelola dengan hati-hati. Karena bila tidak manageable, bukan tidak mungkin masa bulan madu Pemerintahan baru akan segera usai. Kenaikan harga BBM bersubsidi, misalnya, sangat mungkin menjadi pengurang ekspektasi Pemerintahan baru ini.

Selain soal BBM, kepercayaan publik juga akan tergerus apabila janji-janji kampanye Jokowi tidak dapat dipenuhi untuk beberapa waktu mendatang. Adalah tugas para pembantu Presiden yang tergabung dalam Kabinet Kerja, untuk dapat memenuhi semua janji kampanye sesuai visi-misi yang dipaparkan Jokowi, termaktub dalam Program Nawa Cita. Memang saat berkampanye, segala sesuatu tampak mudah, hampir tanpa kesulitan berarti, namun setelah menjabat dan memerintah pilihan-pilihan kebijakan menjadi tidak lagi mudah.

Tulisan ini membahas beberapa pertanyaan: Bagaimana ekonomi di era Presiden Jokowi yaitu lebih khusus tentang pertumbuhan ekonomi? Kebijakan apa yang dapat ditempuh guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan?

Mentalitas 7 persen

Sejarah ekonomi kita telah mengajarkan beberapa pelajaran terpenting yaitu: pertama, pertumbuhan ekonomi rata-rata antara 1971-1996 mencapai 7,3%, yang digapai melalui stabilitas politik sehingga kebebasan politik dipinggirkan dan kebijakan-kebijakan diambil secara komando untuk kepastian kebijakan (policy certainty). Kedua, pertumbuhan ekonomi rata-rata setelah krisis moneter 1998 yakni antara 2000-2010 hanya menghasilkan 5,2%, dengan pencapaian kebebasan politik penuh dan stabilitas politik yang membaik, namun kepastian kebijakan berkurang (policy uncertainty).

Jeffrey Winters, Profesor Ilmu Politik dari Northwestern University Amerika, mengulas dengan gamblang arus utama dalam pemikiran pembangunan Indonesia. Ia menyebutnya dengan “mentalitas tujuh persen”, yang mana mentalitas ini muncul di awal-awal Orde Baru Soeharto. Menurutnya, mentalitas tadi mempunyai dua fitur terpenting yaitu (1). Pertumbuhan sebesar tujuh persen sudah cukup untuk Indonesia. (2). Tujuh persen itulah yang secara wajar dapat dicapai oleh negara dengan ukuran yang demikian besar dan kompleks serta diversitas (keragaman) antar daerah yang begitu tinggi.

Apakah mentalitas tujuh persen ini dapat diterima secara common-sense? Jawabnya tidak. Kita bisa berkaca pada pertumbuhan ekonomi negara lain sebagai bahan komparasi. Sebelum tahun 1970-an, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sangat jauh tertinggal dari negeri kita. Bahkan Tiongkok pernah mengalami bencana kelaparan (famine) luar biasa akibat kebijakan the great leap forward (Lompat Jauh Kedepan) dicanangkan sendiri oleh Ketua Mao.

Namun pada era Kepemimpinan Deng Xio Ping pasca Mao antara tahun 1980-2010, RRT mampu mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata 10% per tahun. Rakyat Tiongkok mampu membuktikan bahwa sebuah negara yang besar serta kompleks dapat terus tumbuh hingga dua digit selama dua puluh tahun. Walaupun kini, perekonomian Tiongkok mengalami penurunan tajam pertumbuhan ekonomi dibanding dekade lalu namun tetap tinggi sekitar 7%.

Pada pemilihan Presiden 2014 lalu, kita mulai mendapati perubahan, yang semoga saja semakin menghilangkan mentalitas 7 persen ini. Bahkan salah satu kandidat yang tidak terpilih berani menjanjikan pertumbuhan dobel digit (Double Digit Growth-DDG). Walau tidak jelas apa yang akan dikerjakannya untuk mencapai DDG? DDG dapat dikatakan mulai muncul sebagai standar baru guna memberikan penilaian bagi calon pemimpin Republik ini.

Mungkin saja muncul dibenak pembaca pertanyaan, apa jadinya bila pertumbuhan ekonomi kita hanya bisa menggapai 5% per tahun? Jawabnya sangat pahit, angka pertumbuhan ekonomi yang 5% itu tidak membawa kita kemana-mana.

Analisis komparasi telah dilakukan Wijayanto (2011) menghasilkan temuan yang menarik. Asumsi dasar analisisnya bahwa Indonesia perlu sebanding (at par) dengan negara-negara lain minimal dengan Negara tetangga terdekat seperti Thailand dan Malaysia. Tabel di bawah ini mengilustrasikan waktu untuk menjadi sebanding (at par) dengan negara Pembanding:

GDP
Sumber: Bak Dunia 2008, Analisis Wijayanto. Asumsi Indonesia tumbuh 5% dan sisa dunia 0% per tahun

Secara hipotetis, bila ekonomi Indonesia tumbuh 5% per tahun sementara negara-negara lain tidak tumbuh (0%), maka kita memerlukan waktu 29 tahun untuk mencapai Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita 9,054 USD (rata-rata dunia/world average). Artinya, perbedaan PDB per kapita akan semakin melebar karenya faktanya negara-negara lain sangat mungkin tumbuh lebih cepat dari Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi hanya 5% per tahun, dapat disebut Pemerintah menjalankan strategi bisnis seperti biasa (business as usual). Studi terkini yang dilakukan 3 ekonom yaitu Gustav Papanek, Raden Pardede dan Suahasil Nazara, menegaskan business as usual memang strategi yang lebih realistis digapai, namun berakibat merugikan bagi kita. Hal ini karena Indonesia akan kehilangan peluang untuk mencapai pertumbuhan lebih tinggi, yang mungkin saja tidak terulang kembali.

Selain itu, “bonus demografis” Indonesia akan terbuang sia-sia. Alih-alih menggunakan sekumpulan pekerja produktif guna meningkatkan ouput, hampir separuh dari 10 juta pekerja yang bergabung dengan angkatan kerja dalam lima tahun mendatang, tidak dapat menemukan pekerjaan yang layak dan produktif (Papanek, Pardede, dan Nazara, 2014). Kita telah mengetahui bahwa pertumbuhan ekonomi perlu melebihi tingkat yang saat ini bisa dicapai, bahkan perlu melampaui mentalitas ekonomi masa lalu. Pertanyaan paling mendesak tentunya kebijakan ekonomi seperti apa yang bisa membawa Indonesia terbang lebih tinggi?

Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi

Di tengah belum pulihnya ekonomi global, terutama rekanan perdagangan Indonesia seperti RRT, Jepang dan Uni Eropa, hanya AS yang mencatatkan pertumbuhan ekonomi relatif tinggi dari perkiraan. Pemerintah membuat asumsi pertumbuhan ekonomi 5,5-6,3% untuk tahun 2015, cukup ambisius dibandingkan dengan estimasi beberapa Lembaga Donor seperti Bank Dunia/WB (5,6%), Bank Pembangunan Asia/ADB (5,6%). Hanya estimasi pertumbuhan ekonomi dari Dana Moneter Internasional/IMF (5,8%) yang in-line dengan target Pemerintah.

Walaupun begitu, Pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wapres JK memang perlu tetap bekerja keras, guna mencapai target lebih baik dari pertumbuhan ekonomi 2014 ini. Komitmen Pemerintahan baru dapat dilihat dari Kabinet Kerja yang terbentuk. Kombinasi nama-nama pembantu Presiden mencerminkan perpaduan antara Menteri yang berpengalaman seperti Menko Ekonomi Sofyan Djalil, Menteri BUMN Rini Sumarno, Menteri Keuangan Bambang PS Brojonegoro. Mereka dipadukan dengan orang baru semisal Kepala Bappenas Andrinof Chaniago, Menteri Perindustrian Saleh Husin, dan Menteri Perdagangan Rahmat Gobel.

Apa yang sudah diputuskan Presiden Jokowi berupa pengurangan subsidi BBM (1 November 2014) untuk kemudian dialihkan kepada sektor-sektor ekonomi produktif patut diapresiasi. Namun patut dicatat, kebijakan yang tidak populis dan memicu pertentangan itu tidak lah cukup. Ia hanya berfungsi sebagai sinyal terpenting bahwa Pemerintah sekarang merubah kebijakan fundamental ekonomi, dari distortif menjadi produktif. Pemilihan pengalihan subsidi di tahun pertama Pemerintahan baru, selama masa bulan madu ini, cukup masuk akal (common sense).

Studi Bank Dunia (2006) telah memberi bukti valid bahwa kelompok berpenghasilan tinggi menjadi kelompok yang paling diuntungkan dari subsidi BBM selama ini. Sejumlah 40% penduduk terkaya menerima 60% manfaat dari subsidi BBM. Kita bisa bandingkan pada tahun-tahun terakhir, Pemerintah hanya mengalokasikan kurang dari 1% PDB untuk infrastruktur, sementara subsidi BBM memperoleh alokasi mencapai 3,5% PDB.

Bila masih ada pihak yang meragukan urgensi pengurangan subsidi, maka kebijakan mengurangi subsidi energi ditambah kompensasi yang memadai bagi masyarakat miskin dan paling rentan tidak lain metode jangka pendek yang perlu ditempuh. Pahit memang seperti obat, namun harus diminum demi kebaikan masa mendatang.

Agar dapat ekonomi kita bertumbuh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya maka Pemerintah perlu melakukan pembenahan (reformasi) struktural, mencakup reformasi penerimaan pajak, efisiensi dan efektivitas belanja publik, maupun upaya menarik invetasi langsung berupa Penanaman Modal Asing (Foreign Direct Investment/FDI) sehingga dapat menutup ketimpangan neraca pembayaran saat ini. Reformasi struktural memang membutuhkan waktu untuk dapat terlaksana full speed. Dengan reformasi struktural maka proyeksi pertumbuhan ekonomi dobel digit akan mungkin dicapai pada tahun 2019, tentunya perlu disokong oleh perbaikan ekonomi global

Seperti pesan bernas dari Jenderal Charles De Gaulle, “To govern is to always choose among disadvantages”, memerintah artinya selalu memilih di antara keburukan-keburukan. Sudah berlalu zaman Pemerintah ragu dan indecisive terhadap tantangan-tantangan ekonomi terkini. Pemerintah juga perlu memberikan kepercayaan kepada publik bahwa pilihan kebijakan adalah yang paling sedikit membawa keburukan kepada rakyat.

Muhammad Iksan, Dosen Tetap Universitas Paramadina Program Studi Manajemen, Peneliti Senior Paramadina Public Policy Institute. Ia dapat dihubungi melalui muhamad.ikhsan@policy.paramadina.ac.id



Author: Muhamad Ikhsan
Senior Researcher at Paramadina Public Policy Institute

Leave a Reply