UU KIP, Tujuan, Mekanisme dan Kenyataan di Lapangan

Leadership 

UUD 1945 pasal 28F menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Beberapa tahun lalu, Koalisi  Masyarakat Sipil mulai mengusulkan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik dan meskipun sempat “berproses” cukup lama ditataran eksekutif dan legislatif (sebelum disahkan) akhirnya RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik menjadi UU no. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan disahkan pada tanggal 30 April 2008 oleh Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono.

 UU no.14 tahun 2008 yang sekarang disebut juga UU KIP, merupakan hasil dari usaha-usaha yang dilakukan oleh semua pihak yang mendukung tata pemerintahan yang baik di Indonesia, meskipun ada beberapa pengecualian informasi yang  dapat dibuka, Badan Publik yang terdiri dari Lembaga Eksekutif, Legislatif, Yudikatif dan badan lain yang tupoksinya terkait dengan penyelenggaraan negara dan didanai sebagian atau seluruhnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) wajib membuka diri untuk menyampaikan informasi kepada publik.

Menurut UU KIP, yang dimaksud dengan Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai dengan Undang-undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Masih menurut UU KIP, ada 3 (tiga) kriteria pengelompokan informasi publik, yaitu 1. Penginformasian secara Berkala (Pasal 9), 2. Secara Serta Merta (Pasal 10), 3. Informasi yang wajib Tersedia Setiap Saat (Pasal 11), informasi mengenai kinerja dan laporan keuangan  Badan Publik diatur dalam kriteria informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala.

Selain 3 (tiga) kriteria informasi dalam UU KIP ada pula Informasi yang dikecualikan (telah diatur dalam pasal 17 UU KIP), contohnya informasi yang menghambat proses penegakan hukum dan membahayakan pertahanan dan keamanan negara.

 

Tujuan dibuatnya UU KIP

 

Seperti halnya amanat UUD 1945 pasal 28F diatas, UU KIP dibuat dengan maksud;

a. Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana, program, proses, serta latar belakang pembuatan sebuah kebijakan publik yang mempengaruhi kepentingan masyarakat,

b. Mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik (bottom up),

c. Mewujudkan tata kelola negara yang transparan dan akuntabel,

d. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa,

e. Mendorong peningkatkan kapasitas pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik.

f. Menjamin kepastian hukum masyarakat dalam memperoleh informasi.

 

Pasal 12 menyebutkan, setiap tahun Badan Publik wajib mengumumkan layanan informasi yang meliputi, jumlah permintaan informasi yang diterima, waktu yang diperlukan Badan Publik dalam memenuhi setiap permintaan informasi, jumlah pemberian dan penolakan permintaan informasi dan atau alasan penolakan permintaan informasi.

Hak memperoleh informasi merupakan bagian dari hak asasi selain itu dengan keterbukaan informasi maka masyarakat dapat turut mengontrol , mengawasi kinerja dan juga dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan oleh Badan Publik selain mendorong terwujudnya pelayanan pemerintah yang transparan dan akuntabel.

Mekanisme memperoleh dan meminta informasi publik

Selain 3 (tiga) kriteria informasi publik diatas yang harus disediakan oleh Badan Publik melalui berbagai media, masyarakat juga dapat meminta informasi yang belum disediakan dengan cara mengikuti mekanisme sesuai UU KIP.

Mekanisme untuk memperoleh informasi didasarkan pada prinsip cepat, tepat waktu dan biaya ringan (pasal 21) adalah sebagai berikut:

1.       Memohon informasi kepada Badan Publik dengan cara tertulis (surat manual dan/atau surat elektronik) maupun tidak tertulis.

2.       Badan publik mencatat indentitas pemohon informasi dan memberikan tanda bukti penerimaan permintaan informasi.

3.       Untuk permohonan informasi yang tidak tertulis, Badan Publik wajib mencatat permintaan tersebut.

4.       Dalam waktu 10 hari setelah diterimanya permintaan, Badan Publik wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis yang berisi:

a.       Apakah informasi yang diminta ada dalam penguasaannya atau tidak

b.      Jika informasi yang diminta tidak dalam penguasaannya, maka Badan Publik yang menerima permintaan memberitahukan Badan Publik yang mana yang menguasai informasi  yang diminta.

c.       Badan Publik wajib memberikan alasan penerimaan atau penolakan permintaan mengacu pada pasal 17.

d.      Jika informasi yang diminta ada dalam penguasaannya dan tidak merupakan informasi yang dikecualikan, Badan Publik wajib memberitahukan apa saja informasi yang akan diberikan.

e.      Jika suatu dokumen mengandung informasi yang dikecualikan dalam pasal 17, maka informasi tersebut dapat dihitamkan dengan memberikan alasan.

f.        Alat apa yang digunakan untuk menyampaikan informasi yang diminta

g.       Biaya serta cara pembayaran untuk memperoleh informasi.

 

 

Perjalanan Penerapan UU KIP Hingga Saat Ini

Dari langkah tersebut diatas, seharusnya tidak sulit untuk meminta informasi kepada Badan Publik, akan tetapi sayangnya, sampai 4 tahun sejak disahkannya UU KIP (2008 ke 2012), menurut FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) sebuah LSM lokal, dalam buku yang terbit tahun 2012 (disupport oleh USAID dan Kemitraan) berjudul 10 Facts About Public Access to Budgetary Information,  dari 118 Badan Publik yang dimintai informasi mengenai Anggaran dan Rencana Kerja,  Penerapan DIPA 2011 dan Laporan Penggunaan Anggaran 2010  hanya 54 Badan Publik (45,7%) yang dapat memberikan informasi yang diminta. 26 Badan Publik memberikan informasi dalam waktu 1 sampai 17 hari kerja, 15 Badan Publik memberikan informasi setelah dikirimi surat komplain,  13 Badan Publik memberikan informasi setelah dimediasi oleh Komisi Informasi Pusat.

Penerapan UU KIP yang “kedodoran” di tingkat praktek, mencerminkan hanya sebagian kecil dari Badan Publik yang mau dan mampu menerapkan amanat UU KIP.  Sebagian lagi masih tampak belum memiliki kemauan, mekanisme penyediaan informasi publik yang handal ataupun kapasitas pengelola yang mumpuni. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi Badan Publik yang ada di Indonesia untuk sadar dan mau memahami bahwa informasi itu untuk dibagikan sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja dan bukan disimpan menjadi dokumen mati atau tidak diumumkan.

Menurut penulis, salah satu cara yang termudah untuk penerapan UU KIP adalah menyediakan website yang informatif, transparan, akuntabel, lengkap dan mudah dipahami.  Mengingat jenis-jenis informasi baku yang harus disediakan berdasarkan UU KIP, sepertinya perlu dukungan dari berbagai pihak untuk membuat dan menentukan template website yang memenuhi kriteria diatas termasuk apa saja yang harus ditampilkan, agar informasi sebanyak-banyaknya dapat mudah di akses dan diketahui masyarakat.

Apabila mungkin, Penulis mengusulkan agar diadakan lokakarya nasional dengan mengundang para webmaster beserta (tentunya) Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dari Kementerian dan Lembaga Negara untuk bersama merumuskan template website dan informasi-informasi apa saja yang harus ditampilkan dari setiap Kementerian dan Lembaga Negara.

Ir. Wijayanto MPP,  dari Paramadina Public Policy Institute pernah menyampaikan,  akan sangat baik apabila setiap tahun diadakan penghargaan atas website terbaik dan terburuk dari setiap Kementerian dan Lembaga Negara (sesuai kriteria informatif, transparan, akuntabel, lengkap dan mudah dipahami).

Jika menuruti UU KIP seharusnya Badan Hukum yang tidak menyediakan informasi dikenai sangsi sesuai pasal 52, akan tetapi  entah kurangnya pengetahuan Penulis atau memang belum pernah ada, sampai saat ini penulis belum membaca dan atau  mendengar ada pengelola Badan Publik yang dikenai sangsi hukum karena melanggar UU KIP.  Aparat penegak hukum dan masyarakat tampaknya belum menganggap hal ini penting untuk diperhatikan.

Seperti halnya meminimalisir korupsi, kerja untuk membangun kesadaran dan penerapan UU KIP sesuai maksud dan tujuannya di beberapa Badan Publik, tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga saja, seluruh elemen masyarakat termasuk Akademisi, Media, Dunia Usaha, Praktisi hukum, Pemerintah, Legislatif, Penegak hukum  dan organisasi masyarakat sipil harus bahu membahu membantu kapasitas dari dalam dan atau “menekan” dari luar Badan Publik yang tidak atau belum mau menyediakan informasi sesuai UU KIP agar “Terpaksa” maupun “Sukarela”  mau memberikan informasi, sehingga fungsi citizen control terhadap kinerja serta arah penyimpangan dapat diketahui sejak dini, pada akhirnya setiap Badan Publik melaksanakan amanat UU KIP dan masyarakat mendapatkan kesejahteraan yang didambakan.

Wallahu alam.



Author: adi prasetya
Project Manager

Leave a Reply