PPPI News, Kompas.com, Republika.co.id, 19 April 2022
Managing Director Paramadina Public Policy Institute Ahmad Khoirul Umam menilai, sebagaimana ditulis Kompas.com, bahwa partai-partai politik berlatar belakang Islam belum mampu memimpin koalisi partai pada Pemilihan Presiden 2024 mendatang.
“Partai politik Islam belum siap menjadi “imam” dan tetap berada di posisi “makmum” menuju terbentuknya poros koalisi di pemilu 2024,” kata Umam dalam acara diskusi Paramadina Democracy Forum, Selasa (19/4/2022).
Umam beralasan, hingga saat ini belum ada satu pun tokoh dari partai berbasis Islam yang memiliki daya tawar yang kuat dalam peta politik nasional.
Menurut Umam, jika ingin memimpin sebuah koalisi, mesti ada tokoh dari partai politik Islam yang dapat menyatukan seluruh kekuatan untuk setidaknya memenuhi ambang batas pencalonan presiden.
“You name it, ketua umum partai mana, tokoh yang mana, belum ada,” ujar dia.
Umam menambahkan, dalan konteks pilpres, partai politik Islam juga mesti mengatasi dan mengantisipasi terjadinya split ticket voting, yakni situasi ketika pilihan basis pemilih loyal sebuah partai berbeda dengan dukungan yang diberikan elite partai politik kepada calon presiden tertentu.
Ia mencontohkan, hal itu dialami oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mendukung pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin tetapi basis pemilih loyal PPP cenderung tidak memilih Jokowi-Ma’ruf.
Akibatnya, terjadi split ticket voting yang membuat partai berlambang kabah tersebut tidak menikmati efek ekor jas dari proses Pilpres 2019 yang dimenangkan Jokowi-Ma’ruf.
“Maka di 2024, partai politik Islam kalau mau survive maka harus betul-betul mempertimbangkan apakah calon yang didukung itu betul-betul diterima oleh basis pemilih loyal mereka atau tidak,” kata Umam.
Sebagaimana ditulis Republika, Umam menjelaskan bahwa partai Islam selalu tergerus suaranya di setiap pemilihan umum (Pemilu). Untuk Pemilu 2024, partai Islam setidaknya memiliki empat tantangan yang harus diantisipasi.
Pertama adalah ketidakmampuan partai politik Islam mengubah ideologinya menjadi platform politik. Pasalnya, menjadikan agama sebagai ideologi partai politik berarti harus memanfaatkan nilai-nilai fundamental agama untuk mendapatkan popularitas dan dukungan politik.
“Kedua adalah masih adanya faksionalisme, konflik internal dan krisis kepemimpinan di partai politik Islam,” ujar Ahmad dalam sebuah diskusi daring, Selasa (19/4/2022).
Ia menjelaskan, empat partai politik Islam yang saat ini berada di parlemen telah mengalami konflik internal yang berimbas kepada turunnya perolehan suara. Tak jarang dari mereka justru terbelah, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan Partai Gelora dan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan Partai Ummat.
“Ketiga, krisis identitas dan kecenderungan pragmatisme politik. Seperti money politics, post truth politics, dan swing voters,” ujar Ahmad.
Terakhir adalah sumber daya yang terbatas, khususnya yang terkait dana untuk mengarungi kontestasi nasional yang membutuhkan uang yang besar. Empat hal tersebutlah yang menjadi kendala besar partai-partai Islam di Indonesia untuk menghadapi Pemilu 2024.
Ia menilai, saat ini hanya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang memiliki perolehan suara terbesar ketimbang partai-partai Islam lainnya. Sedangkan PKS, dilihatnya memiliki momentum untuk terus meningkatkan suaranya.
Kesulitan akan dihadapi oleh PAN dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk menghadapi Pemilu 2024. Mengingat suara dari Muhammadiyah mulai tersebar ke partai lain dan ceruk pemilih Islam yang berpotensi berbelok.
Dalam diskusi Paramadina Democracy Forum seri-3 ini, selain Umam, hadir pembicara lain yakni Fachry Ali, Intelektual & Cendekiawan Muslim, Achmad Baidowi, Wakil Sekretaris Jenderal PPP. Memoderatori diskusi tersebut adalah Septa Dinata, Program Director of Paramadina Public Policy Institute. (*)
Artikel ini merupakan gavungan dari dua artikel yang pertama kali tayang di Kompas.com dan Republika.co.id.