Robohnya Moral Negeri Kami

(istockphoto/Olivier Le Moal)

Wijayanto Samirin

PPPI Blog, 8 Agustus 2024

 

Tim ekonomi Pemerintah sedang pusing tujuh keliling memikirkan defisit anggaran yang makin menganga. Pemerintah harus gali lubang tutup lubang untuk membiayai roda pemerintahan.

Sayangnya, lubang yang digali semakin dalam; utang pun semakin melejit dan Indonesia mulai memasuki perangkap utang. Perangkap ini memaksa generasi mendatang bekerja keras dan rajin membayar pajak hanya untuk memenuhi komitmen Pemerintah kepada para kreditur; janji kepada rakyat akan kesejahteraan pun terpaksa dinomorduakan.

Defisit anggaran sebenarnya hanya hal kecil jika dibandingkan dengan masalah lain yang sedang dihadapi, yaitu defisit moral. Defisit akut ini, membuat bangsa Indonesia menganggap penting hal-hal remeh dan menganggap remeh hal-hal penting. Benar dan salah tidak diukur menggunakan moral compass, tetapi diukur berdasarkan selera kelompok yang sedang berkuasa.

Menomorsatukan kepentingan pribadi dan golong dengan mengubah aturan dan mengorbankan kepentingan khalayak adalah hal yang dianggap normal. Kebohongan publik seolah menjadi budaya baru. Perjalanan bangsa pun berbelok arah, menjauh dari tujuan bersama yang menjadi alasan mengapa bangsa Indonesia ada.

Negara adalah rumah

Negara ibarat rumah yang memiliki kamar-kamar dimana tiap kamar mempunyai fungsi berbeda. Ada kamar tamu, tempat dimana hal-hal baik dan sopan dibicarakan. Ruang ini biasanya nyaman, bersih, tertata rapi dan wangi. Dalam konteks bernegara, ia diwakili oleh dunia akademik dan masyarakat sipil, yaitu institusi-institusi yang secara konsisten membahas hal-hal ideal, luhur dan mulia; yang berujung pada lahirnya karya dan pemikiran brilian.

Ada kamar makan, tempat dimana makanan disajikan untuk dinikmati seluruh anggota keluarga. Ruang ini biasanya relatif bersih, walau terkadang ada remah dan sisa makanan yang tercecer. Dalam konteks bernegara, ruang ini diwakili oleh dunia usaha, tempat dimana transaksi ekonomi terjadi, pekerjaan tercipta, dan pendapatan terdistribusi. Ia mengedepankan prinsip efisiensi dan kompetisi.

Rumah juga dilengkapi dengan dapur, tempat dimana menu disusun, bahan makanan disimpan lalu diracik dan diolah menjadi makanan yang siap disantap. Ruang ini umumnya relatif kotor; dengan mudah dapat ditemukan percikan minyak goreng, cipratan air, asap dan ceceran sisa bahan makanan. Dalam konteks bernegara, ruang ini diwakili oleh sektor publik atau pemerintahan, dimana kebijakan dibahas, diperdebatkan dan diratifikasi. Ruang ini mengedepankan prinsip pemerataan dan keadilan.

Rumah tidak akan berfungsi dengan baik tanpa kehadiran WC, tempat dimana hal-hal yang tidak pantas dilihat terjadi. WC pada umumnya lembab, basah, kotor dan bau. Dalam konteks bernegara, ruang ini diwakili oleh dunia politik; arena dimana negosiasi dan lobi dilakukan, yang seringkali menghalalkan segala cara.

Rumah Indonesia kotor dan bau

Analogi di atas nampaknya tidak berlaku bagi Indonesia saat ini, sebuah negara yang akhir-akhir ini penuh dengan anomali. Kasus pelanggaran etika dan moral makin sering terjadi, baik itu di dunia politik, pemerintahan, dunia bisnis, bahkan di dunia akademik yang selama ini diyakini merupakan benteng terakhir penjaga moral.

Di Rumah Indonesia, ruang tamu pun mulai kotor dan bau, tiada beda dengan WC. Integritas akademik merosot jauh, tradisi dunia politik yang transaksional, menghalalkan jalan pintas dan pragmatis sangat mewarnai dunia akademik.

Mimbar akademik dibatasi, seringkali para akademisi mengorbankan kebebasan berekspresi demi mengejar posisi. Manipulasi akademik terjadi hampir di semua lini, dari mereka yang ingin sekadar memperoleh ijazah sarjana dengan cara membeli, hingga para tokoh yang menghalalkan segala cara untuk mengumpulkan kredit demi kenaikan kepangkatan akademik.

Studi oleh Machacek dan Srholec baru-baru ini menunjukkan bahwa 16,73% jurnal ilmiah Indonesia terindikasi sebagai Jurnal Predator, yaitu jurnal abal-abal. Dengan skor tersebut, Indonesia menjadi yang terburuk kedua di dunia di bawah Kazahktan (17%), diikuti oleh Irak (12,94%) diposisi terburuk ketiga, lalu Albania (12,08%), Malaysia (11,60%), dan India (9,65%).

Kondisi makin memprihatinkan karena menurut Scimago Journal and Country Rank, Indonesia, dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia, selama 1996-2022 hanya memproduksi 311 ribu jurnal ilmiah, atau berada pada urutan ke-39 dunia, bahkan di bawah Malaysia dan Singapura yang berpenduduk jauh lebih sedikit. Jika jurnal Predator dikeluarkan dari perhitungan, maka peringkat Indonesia dipastikan jauh lebih terpuruk lagi.

Isu terkait professor abal-abal yang melibatkan para tokoh nasional membuat kegelapan dunia akademik tersebut makin sempurna. Lebih menyedihkan lagi, pelanggaran akademik ini terjadi secara sangat sistimatis dan terorganisir layaknya organized crime; tidak beda dengan jaringan narkoba, prostitusi, investasi bodong, judi online dan pinjol illegal.

Gelar professor ditukar dengan keuntungan materi, jabatan, back up politik, perlindungan hukum, pemberian status WTP atau dengan penghentian kasus hukum yang melilit petinggi perguruan tinggi.

Tragisnya, otoritas pendidikan dan para tokoh yang bertanggung jawab menjaga marwah dunia akademik tetap diam seribu bahasa, seolah segalanya baik-baik saja. Bahkan sebagian dari mereka justru ikut aktif memfasilitasi terjadinya kerusakan ini; fenomena pagar makan tanaman yang sempurna.

Momentum bersih-bersih rumah

Membersihkan rumah yang sudah terlalu kotor memang bukan pekerjaan mudah, tetapi jika tidak dibersihkan maka kerusakan akan menjadi semakin sempurna sehingga semakin sulit untuk dibersihkan. Pertanyaan besarnya, dari mana akan dimulai, dan siapa yang akan menjalankannya?

Oktober 2024, Indonesia akan memasuki babak baru. Sangat disayangkan jika ini tidak dijadikan momentum untuk bersih-bersih. Pemerintahan Prabowo akan mewarisi situasi yang serba sulit: kondisi fiskal buruk, pertumbuhan ekonomi rendah dan tidak berkualitas, daya saing industri melemah, lapangan kerja sangat terbatas, ketahanan pangan rentan, pasar modal lunglai, Rupiah bergejolak, korupsi semakin merajalela dan situasi dunia yang semakin tidak pasti.

Berbagai rencana dan strategi untuk memperbaiki tidak akan menghasilkan apa-apa, jika defisit moral tidak dicarikan solusi. Tanpa basis moral dan etika yang memadai, berbagai rencana dan solusi untuk bangsa dengan mudah dikonversi menjadi rencana dan solusi untuk keluarga.

Pemerintahan Prabowo harus memberikan contoh sejak detik pertama memimpin, action speaks louder than words. Pastikan kepentingan rakyat dinomorsatukan, pastikan pemerintahan diisi oleh sosok-sosok berintegritas, dan pastikan nepotisme tidak mendominasi pembentukan kabinet.

Yang teramat penting, pastikan ruang tamu rumah kembali bersih dan wangi; akhiri praktik buruk di dunia Pendidikan, termasuk merebaknya profesor abal-abal; hanya dengan begitu moral compass bangsa Indonesia akan kembali berfungsi, sehingga negeri ini tidak salah jalan. (*)

Wijayanto Samirin, Ekonom, Co-Founder & Advisor Paramadina Public Policy Institute (PPPI)