Reformasi Tata Kelola ataukah Resentralisasi Kekuasaan Negara? Arah Perubahan UU Minerba di Indonesia

Bisnis/Felix Jody Kinarwan

Ahmad Khoirul Umam

Januari 2021

 

Di tengah kepanikan masyarakat Indonesia akibat pandemi Covid-19, pemerintah dan DPR RI telah mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (RUU Minerba). Setelah disahkan melalui Rapat Paripurna DPR RI pada 12 Mei 2020, UU Minerba yang baru tersebut kemudian ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Juni 2020, menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020.

Banyak kalangan masyarakat sipil yang terhentak oleh proses pembahasan dan pengesahan secara kilat hasil revisi UU Minerba tersebut. Sebab, pembahasan UU yang menyangkut kekayaan negara dan kepentingan besar masyarakat Indonesia ini seolah dijalankan secara senyap, minim sosialisasi, serta tidak didasarkan pada basis aspirasi publik.

Kondisi tersebut memunculkan sejumlah pertanyaan mendasar di kalangan masyarakat sipil, mengapa proses legislasi perubahan UU Minerba ini dilakukan secara tergesa-gesa, tidak melalui proses sosialisasi yang memadai, dan tidak didasarkan pada aspirasi masyarakat luas? Mengapa pihak-pihak yang seharusnya dianggap memahami betul seluk beluk persoalan akuntabilitas dan transparansi bisnis tambang nasional justru tidak banyak dilibatkan dalam proses perubahan UU Minerba ini? Adakah kelompok kepentingan yang sengaja mencoba memanfaatkan kelengahan masyarakat di tengah situasi pandemi, untuk menyukseskan agenda-agenda kepentingan ekonomi-politik di balik UU Minerba ini? Semua pertanyaan itu masih menyimpan misteri jawaban hingga kini.

Selain memunculkan pertanyaan pada aspek prosedur, pembahasan secara kilat revisi UU Minerba ini juga dipandang oleh kalangan masyarakat sipil telah menyisakan persoalan substantif yang sangat problematik. Secara general, revisi UU Minerba ini memuat perubahan yang cukup masif, dimana perubahan itu terjadi pada 143 pasal dari total 217 pasal, atau sekitar 80 persen dari jumlah pasal di Undang-Undang No.4/ 2009 tersebut. Secara lebih detail, setidaknya terjadi penambahan 51 pasal baru, 83 pasal diubah, dan 9 pasal dihapus. Setidaknya, terdapat lima hal mendasar yang dipandang menjadi persoalan utama di balik perubahan UU Minerba ini.

Pertama, debirokratisasi perizinan yang dimuat dalam revisi UU Minerba ini mengatur pencabutan keharusan pemerintah berkonsultasi dengan DPR mengenai pengendalian produksi dan ekspor. Dalam UU baru tersebut, ayat 3 (pasal 5) menyebutkan cukup Peraturan Pemerintah untuk mengatur mengenai hal teknis tersebut. Spirit debirokratisasi ini juga tampak dari penghapusan konsep dualisme Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah Eksplorasi dan Operasi (pada pasal 1 ayat 8 dan 9). UU baru ini hanya mengatur satu IUP saja. Demikian pula IUP Khusus (IUPK) yang tidak memiliki varian IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi. IUP memang menjadi lebih sederhana karena sudah mencakup dua aktivitas bisnis, yakni eksplorasi dan operasi produksi yang sebelumnya dipisahkan sehingga mengharuskan pengusaha tambang untuk mengurus dua jenis perizinan itu secara terpisah. Jika dulu dalam pengurusan IUP ada 24 deret meja yang harus dipenuhi persyaratannya, kini hanya tersisa 13 item saja (A sampai M), dan izin eksplorasi juga dapat diperpanjang selama 1 tahun, seperti yang diatur dalam pasal 42A.

Sementara itu, pemegang IUP juga diperkenankan memiliki lebih dari satu IUP dan IUPK dengan syarat pemegang IUP merupakan BUMN atau swasta yang memegang IUP komoditas non-logam dan mineral. Bahkan, persyaratan lahan bagi pemilik IUP mineral logam dan batu bara tak lagi dibatasi minimal 5.000 hektare (ha), yang artinya para penambang berskala kecil juga bisa mendapatkan IUP untuk eksplorasi di Wilayah IUP (WIUP) yang kecil. Hal ini berpotensi membuat aktor pertambangan menjadi kian menjamur di berbagai daerah. Selain itu, meskipun spirit debirokratisasi perizinan itu tampak di sebagian pasal, tetapi muncul juga beberapa izin baru berupa Izin Pengangkutan dan Penjualan dan Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) yang dimasukkan dalam ayat 13 pasal 1.

Kedua, revisi UU Minerba ini juga memangkas 19 pasal penting terkait peran dan kewenangan pemerintah daerah. Dalam perubahan UU, seperti yang termuat dalam pasal 4 ayat 2, pemerintah daerah tidak lagi masuk dalam konteks penguasaan Minerba. Di masa mendatang, kewenangan sepenuhnya ditarik oleh pemerintah pusat. Kewenangan pemerintah daerah dalam pemberian izin pertambangan dihilangkan dengan dihapusnya pasal 7 (kewenangan pemerintah provinsi) dan pasal 8 (kewenangan pemerintah kabupaten/ kota). Hak pelimpahan kewenangan penetapan Wilayah Usaha Penambangan (WUP) dari pemerintah pusat ke daerah yang sebelumnya diatur dalam pasal 15 juga dihapuskan, yang diikuti juga dengan penghapusan hak bupati/ walikota dalam penetapan Wilayah Penambangan Rakyat (WPR) di pasal 21 UU sebelumnya.

Demikian pula dengan otoritas penyelidikan dan penelitian pertambangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah, yang sebelumnya diatur dalam pasal 11, kini juga dihapus dan ditarik sepenuhnya oleh pemerintah pusat yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM). Dalam aturan baru ini, Kementerian ESDM tidak diarahkan untuk memonopoli mekanisme dan sistem penilaian dalam penyelidikan dan penelitian untuk menentukan WIUP, melainkan mekanisme tersebut bisa ditugaskan pada lembaga riset negara, BUMN, BUMD, atau lembaga swasta lainnya. Artinya, upaya swastanisasi kerja-kerja penelitian dan penyelidikan untuk mengetahui kuantitas dan kualitas sumber daya dan cadangan mineral di calon-calon areal tambang, yang memberi ruang bagi masuknya pihak swasta ini akan membuka ruang bagi terjadinya kolusi antara pemain bisnis tambang dan otoritas peneliti itu sendiri. Karena itu, perlu dipikirkan betul bagaimana prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan sistem baru ini.

Ketiga, revisi UU Minerba yang baru ini memberi ruang yang sangat lebar bagi para pelaku usaha untuk mengoptimalkan kapasitas perusahaannya. Jika tidak diimbangi dengan aturan yang kuat guna mengoptimalkan pendapatan negara, serta dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan dan mengprioritaskan kesejahteraan masyarakat lokal, maka UU baru ini tak ubahnya dengan aturan negara yang memfasilitasi kekuatan modal untuk mengeksploitasi kekayaan tambang nasional secara terstruktur dan masif. Misalnya, untuk Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), batasan cadangan primer logam dan batu bara diperluas, tidak hanya berkedalaman 25 meter, melainkan boleh sampai 100 meter. Demikian pula dengan luas maksimal WPR, dari 25 hektare diperluas menjadi 100 hektare. Aturan WPR yang semula harus sudah dikerjakan oleh rakyat minimal 15 tahun, kini diperlunak dengan ketentuan areal yang baru mau digarap juga sudah bisa dikategorikan WPR.

Artinya, kondisi ini akan berpotensi membuka ruang bagi masuknya kekuatan oligarki lokal maupun nasional, dengan membajak dan mengatasnamakan kelompok masyarakat lokal, untuk mengeksploitasi kekayaan alam. Modus operandi yang kemungkinan besar terjadi adalah pemecahan operasi sejumlah perusahaan tambang besar ke dalam usaha eksplorasi berskala lebih kecil tetapi dalam jumlah besar dan masif dengan memanfaatkan fleksibilitas aturan status WPR ini. Kendati demikian, untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebut, Pasal 17A telah dibuat untuk menjamin aturan agar pemerintah daerah tidak lagi mengubah peta Wilayah Izin Usaha Penambangan (WIUP) dan WPR, supaya tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pasca keluarnya revisi UU Minerba ini. Walau begitu, praktik kolusi oknum pemerintah, politisi dan pelaku usaha diyakini tetap bisa mengelabuhi aturan tersebut.

Keempat, semangat peningkatan daya saing, nilai tambah dan hasil usaha pertambangan juga terlihat dalam upaya hilirisasi berupa pemisahan kategori aktivitas pengolahan dan pemurnian hasil tambang tanpa mengubah sifat fisik dan kimiawinya, yang sebelumnya digabung menjadi satu. Aturan untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertambangan ini juga di-break down dalam komoditas tambang barang galian, ke dalam tiga jenis, yaitu pengolahan dan pemurnian komoditas tambang mineral logam; pengolahan mineral non- logam; serta pengolahan tambang batuan, yang kesemua fasilitas pengolahannya harus dilakukan di dalam negeri (Pasal 103).

Bab IVA UU baru ini juga mengatur tentang Rencana Pengelolaan Minerba yang mencoba untuk memunculkan insentif bagi para pelaku usaha untuk lebih banyak menggarap hilirisasi tambang. Jika hanya fokus pada penggalian dan penambangan saja, izin usaha hanya berlaku paling lama 20 tahun. Sedangkan jika perusahaan tersebut juga melakukan aktivitas pengolahan dan atau permurnian, maka jangka waktu izin operasinya bisa ditambah menjadi 30 tahun dan dijamin bisa diperpanjang lagi selama 10 tahun. Insentif itu bisa diberikan dengan catatan perusahaan dapat memenuhi kewajiban baru berupa penyediaan dana ketahanan cadangan mineral dan batu bara guna membiayai kegiatan reklamasi, kegiatan pasca- tambang, dan penemuan cadangan baru selanjutnya. Jika perusahaan mangkir, maka perusahaan tersebut diancam denda pidana 5 tahun penjara, dan harus membayar denda maksimal Rp 100 miliar. Meskipun terlihat lebih tegas, tetapi fakta di lapangan, seringkali kewajiban-kewajiban ini disalahgunakan dan tidak jelas transparansi pemenuhannya. Sehingga sering terjadi, perusahaan telah membayarkan dana reklamasi, tetapi upaya kerja reklamasinya tidak terlihat sama sekali.

Kelima, selain membuka ruang besar bagi kekuatan modal dalam negeri, UU ini juga membuka pintu bagi masuknya Perusahaan Modal Asing (PMA) untuk menggarap bisnis pertambangan nasional. PMA ini diharapkan untuk memperkuat hilirisasi laiknya gasifikasi batu bara akibat masih terbatasnya kapasitas teknologi di dalam negeri. Karena itu, sejumlah aturan mendasar dibuat terkait bisnis sejumlah perusahaan tambang raksasa asing yang memiliki Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan bekas pemegang Kontrak Karya (KK) atau pemegang Perjanjan Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B). Sejumlah perusahaan tersebut mendapatkan perlakuan khusus dibanding dengan pemilik IUPK biasa (pasal 35 ayat 3). Yang perlu diantisipasi, ayat 1 pasal 27 UU baru ini juga menghapus kewajiban pemerintah menetapkan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang menjadi tumpuan kebijakan konservasi alam dimana para pemegang KK dan PKP2B yang telah habis masa berlakunya harus mengembalikannya kepada negara sebagai WPN untuk selanjutnya dilelang dengan mengutamakan BUMN dan BUMD.

Implikasinya, area konsesi tambang para perusahaan raksasa tambang asing itu bisa diubah menjadi WUPK, tanpa harus kembali ke negara sebagai WPN dan dilelang terlebih dahulu. Untuk menetapkan WIUPK itu, semua otoritas daerah diambil alih oleh pusat, sehingga kementerian ESDM tidak lagi harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah, sementara pemerintah daerah sendiri diwajibkan untuk menjamin tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan (pasal 31A ayat 2). Bahkan, terkait divestasi 51 persen saham perusahaan asing tersebut, UU baru ini memberi fleksibilitas dengan mengatur bahwa divestasi saham langsung dilakukan secara berjenjang, tanpa ada aturan tegas divestasi harus dijalankan setelah beroperasi 5 tahun (pasal 112).

Hal ini mengindikasikan bahwa UU ini tak ubahnya hasil negosiasi ulang kepentingan politik-bisnis antara elit penguasa dan para perusahaan raksasa tambang tersebut. Artinya, jika ternyata dalam aturan pelaksana UU selanjutnya dibuat menjadi lebih fleksibel, sebenarnya UU Minerba yang baru ini mengungkap betapa pemerintah hanya memainkan gimmick politik yang mengelabuhi opini publik, dimana negara seolah-olah tegas dan berkuasa atas kekayaan tambang nasional di hadapan para korporasi besar tersebut.

Persistensi Korupsi Sektor Tambang & Rekomendasi

Hadirnya UU Minerba Baru yang disinyalir merupakan produk kompromi antara kekuatan oligarki dan kekuasaan diprediksi tidak akan membawa perubahan mendasar dalam akuntabilitas tata kelola bisnis Sumber Daya Alam (SDA), khususnya sektor tambang mineral dan batu bara di Indonesia. Padahal, selama ini, di antara luasnya sektor SDA, sektor pertambangan Minerba dianggap sebagai salah satu sektor yang masih ‘gelap’ dan rentan terhadap praktik korupsi (Trireksani dan Djajadikerta, 2012; Umam at all, 2020).

Karakter dan pola korupsi sektor pertambangan mencakup korupsi kecil (petty corruption) dan korupsi besar (grand corruption). Jika korupsi kecil seringkali hanya melibatkan pemain kecil terkait urusan administrasi dan sistem birokrasi, korupsi besar sektor pertambangan lebih bercorak state- captured corruption yang dikendalikan oleh pertemuan kepentingan antara kekuatan politik, birokrasi, penegak hukum dan pelaku bisnis itu sendiri (Quah, 2009; Umam, 2014; 2020; Bentzen, 2012, Blake and Martin, 2006; Choi dan Woo, 2011). Hal ini menyebabkan praktik korupsi sektor tambang acapkali melibatkan nama-nama besar (big fishes), uang besar (big money) dan juga terkait penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan yang juga besar (abuse of big power).

Sebagai bagian dari ikhtiar untuk memahami dan mengurai kompleksitas praktik korupsi sektor tambang tersebut, Tim Peneliti Anti-Korupsi Universitas Paramadina telah melaksanakan penelitian berjudul ‘Tantangan Pemberantasan Korupsi dan Persepsi Pelaku Bisnis terhadap Tranparansi Sektor Tambang di Indonesia” pada Februari-September 2019. Dalam pengambilan data kuantitatif maupun kualitatif, penelitian ini melibatkan 38 pihak direksi dan manajemen perusahaan-perusahaan tambang nasional, baik yang perusahaannya berskala besar dan telah terdaftar dalam dunia pasar modal di bursa efek Indonesia (listed-category) maupun perusahaan berskala kecil-menengah (non-listed category) yang kantornya tersebar di empat provinsi utama (targeted provinces), yakni Jakarta, Jawa Barat, Banten dan Sumatera Utara.

Temuan hasil penelitian Universitas Paramadina tersebut menggarisbawahi bahwa meskipun berbagai upaya penegakan hukum dan pencegahan korupsi sektor tambang telah dilakukan, tetapi praktik korupsi di sektor ini tetap persisten (KPK, 2014; KPK, 2018). Contoh reformasi sektor tambang itu antara lain, upaya pemindahan kewenangan perizinan tambang dari pemerintah daerah tingkat kabupaten atau kota kepada pemerintah daerah tingkat gubernur yang telah dilakukan melalui UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang disusul dengan penerbitan Permen ESDM 43/2015 untuk mencabut ribuan IUP palsu nonClean and Clear (non-CnC), yang diduga terkait tumpang tindih lahan, ketidaktepatan administrasi, laporan yang tidak sesuai, atau habisnya masa berlaku IUP. Tidak hanya itu, pemerintah juga telah berusaha melakukan harmonisasi 26 UU mengenai PSDA yang belum selesai hingga saat ini, untuk melancarkan upaya integrasi perizinan, memperbaiki sistem penerimaan negara, pemutakhiran data dan informasi berbasis spasial, koordinasi serta sinkronisasi sistem pengawasan dan monitoring, termasuk upaya sinkronisasi regulasi yang terkait. Kemudian, reformasi pengawasan juga dilakukan melalui peningkatan kerja-kerja penyelidikan dan penyidikan terkait pidana pertambangan.

Meskipun berbagai upaya itu telah dilakukan, praktik korupsi sektor tambang masih tetap menggurita. Selain karena masih terbukanya celah korupsi dalam sistem tata kelola pertambangan nasional, penyebab lainnya adalah karena rendahnya integritas sektor swasta. Hal itu dikonfirmasi oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pelaku usaha sektor tambang cenderung pragmatis dalam menyikapi praktik-praktik korupsi. Selama tidak mengganggu arus keuangan perusahaan (cash flow), tidak menutup margin profit yang diperhitungkan, dan diprediksi menghasilkan keuntungan besar, risiko besar melakukan praktik korupsi akan terus dilakukan. Praktik itu umumnya dimotivasi oleh kalkulasi ekonomis, mulai dari kepentingan izin dan aturan, manipulasi laporan, hingga praktik korupsi investif kepada elit politik, pemerintahan dan penegak hukum agar bisa diminta tolong di masa mendatang.

Selain itu, hal tersebut juga dikonfirmasi oleh masih tingginya sikap permisif para pelaku usaha pertambangan terhadap praktik suap, gratifikasi dan pemerasan. Sikap permisif juga ditemukan lebih besar dalam penyikapan mereka terhadap praktik kolusi dengan mengoptimalkan jejaring elit politik dan pemerintahan untuk mengamankan kepentingan bisnis di lapangan. Oleh karena itu, sebagaimana nature dari bisnis yang berlandaskan pada akar oligarki, sebagian besar korporasi pertambangan memiliki hubungan dekat dengan para elit politik dan pemerintahan (Kartodiharjo, 2019; Eng, 2007; Robison and Hadiz, 2004). Posisi mereka tersebar di posisi eksekutif, komisioner, pemilik saham mayoritas, hingga sekedar advisor perusahaan.

Kondisi inilah yang membuat pendekatan-pendekatan institusional dan reformasi administratif yang selama ini dijalankan tidak ada dampaknya. Dunia korporasi tambang yang memiliki kaitan erat dengan struktur relasi kuasa oligarki cenderung memiliki karakter “immunity to change” yang sangat kuat (Hadiz, 2003; 2013; Robison dan Hadiz, 2004; Winters, 2013). Merujuk pada hasil temuan data kuantitatif dan kualitatif dari penelitian ini, sejumlah rekomendasi kebijakan telah disampaikan.

Pertama, perlu secepatnya mendorong upaya harmonisasi 26 UU yang terkait dengan tata kelola SDA, khususnya terkait sektor tambang agar ruang transparansi lebih terbuka, khususnya informasi perizinan, peta wilayah tambang yang terintegrasi, keuangan perusahaan, status kepemilikan izin dan identitas perusahaan serta informasi lain yang dapat meningkatkan akuntabilitas pengelolaan tambang (KPK, 2014; Tarigan, 2013; GNP-SDA KPK, 2017).

Kedua, memperkuat kapasitas Korsup Minerba yang dikomandoi oleh KPK untuk mempercepat sinkronisasi paradigma antara kementerian, lembaga dan pemerintah daerah. Targetnya, menertibkan perusahaan berstatus non CnC yang harus segera diselesaikan dengan deadline kerja yang jelas, agar tidak tumpang tindih, dan bebas dari praktik monopolistik yang cenderung korup.

Ketiga, membangun kesamaan visi dan komitmen politik antara kementerian, lembaga dan pemerintah daerah untuk menjalankan beberapa target utama sebagai berikut; a). Evaluasi dan penataan sistem pengurusan WP, WIUPK, WIUP dan WIUPR agar sinkron dengan hak-hak sosial dan lingkungan hidup; b). Melakukan moratorium izin tambang baru hingga kajian dan telaah terhadap aspek-aspek sosial dan lingkungan hidup yang selama ini diabaikan menjadi jelas dan bisa terpetakan; c). Mempercepat proses kompilasi, integrasi dan sinronisasi data-data informasi geospasial tematik (IGT) berisi peta data wilayah kelola masyarakat adat, korporasi dengan perizinan yang tumpang tindih atau bahkan perizinan palsu sekalipun.

Keempat, institusionalisasi rantai proses pengelolaan sektor pertambangan dari hulu sampai hilir melalui integrasi data tata ruang dan lahan, sistem perizinan, pengawasan produksi dan penjualan, penerimaan negara, hingga pasca tambang dan rehabilitasi lingkungan yang selama ini sangat tercecer. Dengan mengintegrasikan seluruh aspek perizinan ke dalam sistem data online yang solid berbasis cloud server, pengelolaan sistem ini jauh lebih mudah, efektif dan bisa terkontrol dengan baik. Kelima, terus meningkatkan fungsi pengawasan yang berbasis pada partisipasi masyarakat untuk menyukseskan pelaksanaan reformasi tata kelola tambang ke depan. Usulan usulan GNP-SDA KPK (2017) tentang pentingnya membentuk Dewan Nasional Good Mining Practices (GMP) perlu dipertimbangkan, sebagai unit kepatuhan untuk pengawasan, mensertifikasi dan menegakkan kode etik inspektur tambang, memberikan sanksi atas pelanggaran, memutus sengketa atas konflik sosial dan lingkungan, sistem penanganan pengaduan masyarakat terkait implementasi kebijakan pertambangan, pengawasan nilai produksi dan penjualan, arus pendapatan negara dari sektor tambang, hingga perkembangan status kerja rehabilitasi dan reklamasi bekas tambang.

Keenam, revitalisasi kapasitas masyarakat sipil (civil society) sebagai pilar pengawasan yang paling sehat, hal ini penting untuk diperkuat guna membatasi ruang gerak kekuatan patronase politik lokal maupun nasional yang kini telah mengontrol kebijakan pertambangan di setiap wilayah. Ketujuh, perkuat sistem integritas swasta pertambangan agar beban kerja peningkatan transparansi dan akuntabilitas bisnis pertambangan tidak hanya dibebankan pada lembaga negara, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama di kalangan perusahaan dan pelaku usaha untuk menghadirkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sementara itu, lebih khusus dalam konteks penguatan integritas swasta sektor tambang, sejumlah rekomendasi juga telah diajukan. Pertama, perlunya pendekatan untuk mengubah pola pikir korporasi yang diawali dengan perubahan pola pikir sumber daya manusianya. Upaya internalisasi nilai-nilai integritas di internal perusahaan akan menghadirkan kualitas manajemen dan output kinerja yang lebih optimal. Selama ini, praktik korupsi sektor tambang sering dilakukan pihak swasta karena manajemen perusahaan umumnya berhitung untung dan rugi, di mana jika biaya suap yang dikeluarkan masih tetap bisa ditutup oleh nilai keuntungan (margin profit), maka praktik itu akan terus dilakukan. Selain itu, selama proses transaksi korup itu tidak mengganggu aliran dana (cash flow) perusahaan atau bahwa berpotensi meningkatkan arus modal dan keuntungan, maka segala risiko akan diambil oleh perusahaan. Pihak yang bisa mengubah mind set ini harus dari kalangan top management, sebagai wujud integritas korporasi yang akan berdampak positif bagi publik.

Kedua, merumuskan Standard Operating Procedure (SOP) baru untuk memfasilitasi sistem baru yang dijalankan. Dalam konteks ini, diperlukan aturan hukum melalui UU, Peraturan Menteri hingga Peraturan Daerah (Perda) yang mampu memaksa perusahaan untuk menjalankan pilar-pilar integritas di dalam perusahaannya. Untuk itu, perusahaan harus memiliki sistem pelaporan keuangan secara periodik, memiliki sistem pelaporan pelanggaran internal (whitsleblowing system), memiliki unit kepatuhan untuk menegakkan aturan, aturan tertulis yang memberikan perlindungan bagi karyawan yang menjadi pembuka informasi atas praktik-praktik korupsi yang dilakukan, dan lainnya. Selanjutnya, perangkat-perangkat ini harus dijalankan secara konsekuen oleh perusahaan untuk membantu setiap orang di perusahaan agar bisa menjalankan bisnis perusahaan sesuai dengan visi, misi, dan prinsip integritas yang ditetapkan (World Bank, 2019a, 2019b).

Ketiga, memastikan jalannya SOP dan instrumen integritas yang baru tanpa harus mengoyak soliditas dan stabilitas internal perusahaan. Untuk itu, unit kepatuhan atau komite etik yang diharapkan menjadi eksekutor bagi tegaknya aturan harus bisa dijaga kualitas, netralitas, bebas konflik kepentingan dan independensinya agar rasa keadilan bisa dirasakan semua pihak di internal perusahaan, tanpa ada rasa khawatir atas ancaman, intimidasi dan masa depan karir mereka masing-masing. Di atas semua itu, pimpinan puncak perusahaan harus mampu menjadi role model bagi terwujudnya nilai-nilai integritas di perusahaan. Sebagai role model, pimpinan perusahaan harus mampu menjadi teladan nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab terhadap semua stakeholder yang ada di perusahaan. Keteladanan itu akan menentukan daya saing, daya tahan, dan kualitas kinerja perusahaan di masa depan. Selain selalu berusaha menginternalisasi nilai, pedoman etika bisnis, code of conduct, peraturan dan kebijakan perusahaan yang berintegritas, perusahaan juga hendaknya memberikan penghargaan kepada unit kerja dan individu yang dinilai bisa menjadi role model, inspirator dan motivator yang baik dalam membudayakan nilai-nilai integritas dan prinsip-prinsip anti-korupsi di perusahaan.

Pandangan Civil Society terkait Implikasi UU No.3/ 2020 terhadap Arah Reformasi Tata Kelola Minerba di Indonesia

Setelah mencermati hasil temuan penelitian dan rekomendasi yang diajukan oleh tim peneliti Universitas Paramadina (2019-2020), maka perlu mencermati lebih lanjut bagaimana implikasi UU No.3/ 2020 tentang Minerba yang baru ini akan memberikan dampak terhadap upaya perbaikan kualitas transparansi dan akuntabilitas bisnis tambang di Indonesia.

Terkait dengan itu, mengingat besarnya dampak perubahan UU Minerba ini pada praktik transparansi dan akuntabilitas bisnis tambang nasional, maka pandangan masyarakat sipil (civil society) menjadi sangat penting untuk memahami detail aturan dan dampak pelaksanaan dari UU baru ini. Pada saat yang sama, pemahaman tersebut juga penting untuk mengantisipasi adanya perubahan mendasar dalam sistem pengelolaan bisnis tambang Minerba di tanah air. Hal ini sangat penting untuk dipahami mengingat amanah konstitusi Pasal 33 UUD 45, bahwa kekayaan alam Indonesia harus sebesar-besarnya dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, bukan justru untuk memfasilitasi kepentingan ekonomi-politik kaum elit serta pemilik modal.

Karena itu, buku ini hadir untuk menyajikan analisa yang memadai dari kalangan masyarakat sipil dan sejumlah stakeholders terkait mengenai bagaimana implikasi perubahan UU Minerba ini terhadap upaya peningkatan sistem transparansi dan akuntabilitas bisnis pertambangan nasional? Selain itu, buku ini juga akan menjawab pertanyaan terkait rekomendasi apa saja yang perlu diantisipasi dalam pelaksanaan UU Minerba yang baru ini untuk mengoptimalkan fungsi pemberantasan dan pencegahan korupsi nantinya?

Dengan menjawab dua pertanyaan mendasar tersebut, buku ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada masyarakat luas tentang bagaimana dinamika ekonomi-politik di balik perubahan UU Minerba ini; bagaimana struktur kepentingan yang berada di balik operasi legislasi revisi UU Minerba ini; serta langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan terus untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas dan transparansi bisnis tambang nasional pasca perubahan UU Minerba ini. Dengan demikian, pelaksanaan UU Minerba yang baru ini diharapkan tetap mampu menjawab ekspektasi publik terkait upaya penciptaan sistem bisnis pertambangan nasional yang bersih, berintegritas dan benar-benar mampu menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Untuk itu, melalui buku ini, terdapat sejumlah stakeholders yang memiliki kapasitas dan pemahaman yang memadai untuk memberikan menganalisa dampak perubahan UU Minerba ini terhadap kualitas transparansi dan akuntabilitas bisnis tambang nasional, misalnya Direktur Eksekutif Nasional WALHI Nur Hidayati yang hadir dengan artikel berjudul “Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020: Penderitaan Berkelanjutan bagi Rakyat dan Lingkungan Hidup”, yang mencoba menjelaskan bahwa UU Minerba ini tidak memiliki korelasi yang kuat dengan basis aspirasi masyarakat selama ini. Bahkan menurut Nur Hidayati, tak ubahnya dengan pembahasan UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja, pembahasan perubahan UU Minerba ini juga terkesan “kejar tayang” dan terlihat kepentingan sejumlah pihak yang berusaha memberikan “karpet merah” kepada investor, tanpa mempedulikan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan yang ditimbulkannya.

Dari sisi substansi, UU Minerba ini dinilai mengandung pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan kerusakan yang lebih masif lagi terhadap kehidupan rakyat serta lingkungan hidup. Potensi-potensi dampak tersebut dipaparkan lebih detil pada bagian lain dari tulisan ini. Melihat berbagai hal yang perlu dilakukan untuk menghentikan penghancuran alam dan kemanusiaan akibat eksploitasi bisnis tambang, UU No.3 tahun 2020 ini justru hadir untuk memutihkan dosa-dosa masa lalu para perusahaan tambang dan melestarikan kerugian finansial negara.

Selanjutnya, peneliti Transparansi Internasional Indonesia (TII) Ferdian Yazid yang hadir dengan artikelnya berjudul “Keleluasaan bagi Korporasi di Sektor Ekstraktif: Tantangan terhadap Agenda Penguatan Akuntabilitas Korporasi Tambang”, yang menilai bahwa bisnis tambang memiliki kontribusi besar bagi ekonomi Indonesia yang masih mengandalkan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) demi meningkatkan penerimaan negara. Ironinya, tingginya Natural Resource Curse Index (NRCI) di provinsi yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) seringkali menunjukkan fakta bahwa penerimaan negara dari sektor ekstraktif yang sangat besar terbukti gagal dalam mendorong kesejahteraan rakyat yang hidup di provinsi tersebut.

Praktik obral perizinan sektor ekstraktif yang dilakukan oleh pemerintah daerah memang menjadi salah satu modus korupsi yang jamak terjadi di daerah yang kaya akan sumber daya alam (SDA). Meskipun demikian, hal tersebut tidak bisa dijadikan justifikasi oleh pemerintah untuk melakukan sentralisasi kewenangan. Niat jahat untuk melakukan pembiaran terhadap praktik korupsi terlihat dalam bentuk penghapusan pasal di UU minerba lama yang mengatur tentang larangan penyalahgunaan penerbitan izin IUP, IUPR, dan IUPK.

Selain itu pemerintah juga dinilai belum melarang pejabat publik untuk memiliki perusahaan di sektor usaha yang bersinggungan dengan kewenangannya. Apabila pemerintah berkomitmen untuk melawan korupsi, maka seharusnya pemerintah mewajibkan transparansi data beneficial owner dari perusahaan ekstraktif kepada publik sehingga publik dapat melakukan pengawasan eksternal untuk memantau adanya konflik kepentingan di sepanjang rantai nilai bisnis ekstraktif.

Sementara itu, Prof. Hariadi Kartodihardjo dan Rina Kristanti dalam artikenya yang berjudul “Korupsi Perizinan Dan Reklamasi Paska Tambang” menyoroti tentang kuatnya korupsi dalam pemanfaatan sumberdaya alam dalam mempengaruhi kebijakan publik. Hal itu berpengaruh pula terhadap rendahnya pemulihan lingkungan hidup. Perizinan pemanfaatan sumberdaya alam sejak tahun 80an telah melahirkan kekuatan swasta yang terakumulasi menjadi semacam negara bayangan (shadow-state), yaitu meskipun kekuatan di luar pemerintahan, namun pengaruhnya mampu mempengaruhi lembaga-lembaga formal pemerintah, sehingga lembaga-lembaga yang menjadi tempat korupsi menjadi institusi hybrid, perpaduan kegiatan legal dan extra-legal. Dalam lingkungan korup tersebut, korupsi dipandang telah menjadi bagian dari struktur atau budaya kerja yang normal dalam tata kelola pemerintahan sehari-hari.

Kedua penulis ini juga mencermati pentingnya keterbukaan informasi publik terutama oleh lembaga-lembaga yang melayani perizinan, peran aktif masyarakat untuk dapat menghindari korupsi, melaporkan serta mendukung gerakan-gerakan anti korupsi, serta pengendalian korupsi oleh swasta. Dalam hal ini, perguruan tinggi dipandang mempunyai arti sangat penting, karena menjadi sumber keahlian dan pengetahuan, yang apabila tidak disertai dengan penguatan sistem nilai (value system), keahlian dan pengetahuan itu hanya akan dimanfaatkan justru untuk mendukung terjadinya state capture corruption.

Merespon situasi yang ada, kedua penulis ini berusaha mengarahkan fokus pemberantasan korupsi ke depan diorientasikan pada upaya pencegahan korupsi melalui segenap inovasi kelembagaan, bentuk-bentuk insentif atau disinsentif ekonomi yang dapat mengendalikan perilaku koruptif, serta manajemen informasi untuk mencegah terjadinya persekongkolan yang merugikan perekonomian negara dengan menggunakan instrumen kelembagaan negara dan merahasiakannya. Hal lainnya, dalam pengembangan strategi pembangunan ekonomi maupun bisnis, termasuk upaya-upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan, juga dipandang perlu membangun model-model pembangunan dengan basis good governance dan good corporate governance yang memadai.

Selanjutnya, Anggota Komisi VII DPR RI & Panja UU Minerba, Sartono, MM yang juga hadir dengan tulisannya berjudul “Membaca Ulang Arah Perubahan Undang-Undang Minerba” mencoba untuk memberikan penjelasan detail tentang proses legislasi yang berhasil mengubah UU Minerba ini. Sebagai bagian dari kekuatan politik yang menolak perubahan UU Minerba secara terburu-buru ini, Sartono mengusulkan beberapa hal. Yakni; pertama, izin usaha rakyat baiknya dikembalikan ke Pemerintah daerah (Provinsi) dan Kabupaten/Kota karena mereka paham betul wilayah yang akan dijadikan areal pertambangan, apakah masuk dalam kawasan lindung atau tidak, dan apakah melanggar lingkungan atau tidak. Kedua, UU Minerba harus ditarik keluar dari Pembahasan Racangan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law untuk menghindari terjadi tumpang-tindih aturan. Ketiga, Pasal 165, tentang sanksi bagi pejabat yang menyalahgunakan wewenang untuk mengeluarkan izin (IUPK, IUP, dan IPR) di UU Nomor 4 Tahun 2009 harus ada pada perubahan UU Nomor 3 Tahun 2020.

Keempat, pemerintah dan DPR-RI harus terbuka dalam membahas produk UU. Kelima, masalah lingkungan harus menjadi perhatian Pemerintah dalam memberikan izin usaha pertambangan, karena sejauh ini berdasarkan laporan lembaga swadaya masyarakat atau organisasi pemerhati lingkungan, pihak yang sering melakukan perusakan lingkungan atau alam adalah pertambangan. Keenam, pemerintah harus fokus menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi bangsa saat ini, yakni pandemi Covid-19, karena masalah ini sangat penting dan urgent dari pengesahan UU Nomor 3 Tahun 2020 atau RUU Cipta Kerja yang sedang dibahas.

Selanjutnya, Direktur Eksekutif Center for Energy Policy yang juga Pemohon Uji Materi UU No. 3/2020, M. Kholid Syeirazi dalam artikelnya berjudul “Resentralisasi Negara: Catatan Kritis Atas UU No. 3/ 2020 Tentang Minerba” memberikan catatan kritis tentang UU Minerba yang baru ini. Kholid berpandangan, alih-alih bertolak dari roadmap pengelolaan energi yang berkelanjutan dan mendukung agenda energy security, UU No. 3/2020 tentang Minerba ini justru dipandang sebagai skenario jangka pendek untuk menjamin kelangsungan investasi, khususnya dari operator tambang- tambang raksasa. Pemerintah Pusat mungkin dapat memperbaiki rezim IUP yang tidak terkendali. Tetapi, UU ini sama sekali tidak menyinggung keberadaan inspektur tambang. Tanpa aparatur pengawas yang efektif dari pusat, resentralisasi perizinan tidak menjamin penertiban minerba tanpa melibatkan partisipasi pemerintah daerah. Yang terjadi mungkin memindahkan ‘penyakit’ dari daerah ke pusat, dalam skala yang lebih besar.

Selanjutnya, Egi Primayogha dalam artikelnya berjudul “Revisi UU Minerba: Dalam Cengkeraman Oligarki dan State Capture”, mengelaborasi tentang peran kekuatan oligarki di balik perubahan UU Minerba ini. Pembahasan RUU Minerba dipandang telah dilakukan dengan cara tertutup dan terburu-buru. Fenomena ini diduga kuat terjadi akibat adanya kekuatan besar yang mendorong pengesahan RUU tersebut. Ini dikarenakan industri minerba diketahui dikuasai oleh para elit dengan kekayaan yang melimpah. Di balik itu, Egi menggarisbawahi, terdapat polemik perpanjangan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) bagi sejumlah perusahaan batu bara. Polemik tersebut telah menimbulkan ketidakpastian bagi perusahaan-perusahaan batu bara yang akan segera habis masa perjanjiannya. Tidak sedikit di antara perusahaan yang masa perjanjiannya akan habis tersebut dimiliki oleh elit-elit kaya. Guna mendapatkan kepastian, ditengarai para elit-elit tersebut mendorong agar revisi UU Minerba segera disahkan. Ketentuan tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara dalam UU nomor 4 tahun 2009 kini telah resmi digantikan oleh UU nomor 3 tahun 2020.

Dengan adanya pengesahan revisi UU Minerba, diduga kuat telah terjadi state capture atau pembajakan negara, dan para oligarki merupakan aktor utamanya. Pengesahan ini sekaligus menunjukkan bahwa kehadiran oligarki telah betul-betul menjadi ancaman. Oligarki telah mencengkeram demokrasi dan kehidupan publik kita, sehingga kebijakan tidak lagi berpihak pada kepentingan publik. Perlu dirumuskan strategi yang lebih tajam untuk menghadapi cengkeraman oligarki dalam kehidupan publik kita.

Sementara itu, Muhammad Ishak dalam artikelnya yang berjudul “Kebijakan Dan Dampak Ekonomi Sektor Pertambangan” mengupas banyak hal tentang peran BUMN dalam pengelolaan tambang nasional. Meskipun selama ini sektor tersebut telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perekonomian domestik, yakni sumber pertumbuhan ekonomi, pendapatan devisa, pendapatan negara, dan penyerap tenaga kerja, tetapi potensinya belum dikelola secara optimal. Sebagian besar komoditas masih diekspor dengan nilai tambah yang rendah. Di sisi lain, regulasi pemerintah relatif lemah untuk mendorong pengemban industri hilir di dalam negeri. Hal penting lainnya adalah posisi negara melalui BUMN dalam mengelola sektor tersebut yang sejajar dengan investor swasta dan asing, ditambah dengan kiprah mereka yang kurang agresif dibandingkan sektor swasta. Konsekuensinya, kontribusi sektor pertambangan terhadap penerimaan negara lebih banyak mengandalkan penerimaan melalui mekanisme perpajakan. Semua itu dipandang sebagai konsekuensi dari pilihan paradigma dan visi pemerintah dalam mengelola sektor pertambangan Indonesia. (*)

Ahmad Khoirul Umam, PhD – Dosen Ilmu Politik & International Studies, Universitas Paramadina & Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Jakarta.

Artikel ini merupakan prolog dari laporan riset berjudul KUASA OLIGARKI ATAS MINERBA INDONESIA?: Analisis Pasca Pengesahan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba. 

UNDUH laporan lengkapnya pada tautan berikut ini.