Pangan Lokal, Impor Beras, dan Gizi Masyarakat

Illustration (Tribunnews)

Muhamad Rosyid Jazuli

Jawa Pos, Opini, 27 March 2021

 

PEMERINTAH Indonesia sedang mendapat sorotan terkait kebijakan impor 1 juta ton beras. Kebijakan ini menuai polemik, utamanya karena muncul setelah Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya menjauhi produk asing demi menyukseskan pembangunan ekonomi Indonesia.

Dalam pernyataannya (Jawa Pos, 22/3), mantan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menekankan besarnya risiko dalam mengelola beras di Indonesia. Narasi terkait beras berpeluang memperburuk citra pemerintah jika tak dikelola dengan baik. Kekhawatiran ini tentu sangat beralasan. Sebab, beras telanjur menjadi sumber pangan paling utama bagi rakyat Indonesia.

Swasembada beras menjadi tolok ukur capaian dan janji politik. Di masyarakat, tertancap adagium, kalau belum makan nasi, belum makan. Prevalensi beras dalam hidup orang Indonesia, secara politik maupun sosial, menjadikannya bagian penting dari kepentingan umum (general interest). Konsekuensinya, reformasi terhadap kebijakan terkait beras, misalnya kenaikan harga ataupun importasi, hampir pasti menimbulkan perdebatan dan kegaduhan publik (Patashnik, 2003).

Beberapa tokoh, pimpinan daerah, dan politikus dari partai penguasa maupun oposisi sama-sama mengkritik rencana ini. Berbagai argumen muncul. Misalnya, impor beras menyengsarakan rakyat kecil dan petani. Yang paling kencang, kebijakan itu mengingkari imbauan Presiden Jokowi tentang cinta produk dalam negeri dan benci produk asing.

Selain argumen-argumen tersebut, boleh jadi perdebatan terkait rencana kebijakan impor beras ini politis dan ahistoris semata. Sebab, jauh sebelum isu importasi beras ini, kegaduhan serupa yang lebih berbobot pernah terjadi. Misalnya, soal penghitungan produksi beras. Produksi beras yang awalnya dikira mencapai 70 juta ton pada 2018, ternyata jumlahnya sekitar 30 juta ton, berkat digunakannya metode penghitungan yang lebih reliabel, yakni kerangka sampel area (KSA).

Selain itu, di masa reformasi ini, sebenarnya tak ada era pemerintahan yang tak impor beras. Jumlah impor tertinggi terjadi pada 2011, mencapai 2,8 juta ton. Selain untuk alasan cadangan, importasi beras ini adalah konsekuensi perjanjian perdagangan RI dengan negara lain. Melihat kenyataan-kenyataan tersebut, seharusnya kegaduhan impor beras kali ini tak perlu terjadi.

Meski demikian, isu beras ini baik untuk menjadi pemantik momentum perenungan bersama, mengapa kita begitu bergantung pada beras. Sesempit itukah pilihan pangan kita hanya pada beras? Sehingga ketika harganya berfluktuasi dan ada rencana reformasi kebijakan terhadapnya, kita bereaksi sedemikian gaduh.

Padahal, konsumsi beras kita telah berlebihan dan dapat berakibat buruk pada pembangunan SDM Indonesia. Upaya menciptakan SDM berkualitas ini jelas tak bisa mengandalkan konsumsi beras. Keseimbangan dan kecukupan asupan gizilah yang jauh lebih mendesak (Khomsan, 2016).

Berbagai hasil penelitian menyatakan bahwa asupan gizi yang seimbang dengan penekanan pada pangan hewani sangat diperlukan untuk mendorong perbaikan kesehatan masyarakat. Seperti pertumbuhan bebas risiko stunting dalam membangun SDM berkualitas (Fahmida dkk, 2015). Karena itu, fokus perhatian para tokoh dan masyarakat seharusnya bukan pada isu beras, melainkan pada pemenuhan gizi seimbang.

Sejak 2003, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa pemenuhan gizi perlu memperhatikan potensi penggunaan makanan yang tersedia secara lokal. Studi Southeast Asian Ministers of Education Organization Regional Center for Food and Nutrition pada 2015 menunjukkan bahwa pangan lokal, yakni sumber pangan yang tersedia secara lokal –bukan makanan khas daerah, dapat meningkatkan asupan zat gizi masyarakat.

Sebagai negara tropis dan vulkanis, Indonesia dianugerahi lahan luas dan subur sehingga dapat memproduksi berbagai pangan lokal nonberas. Sejatinya, Indonesia sejak lama dikenal kaya akan sumber pangan lokal yang cukup murah. Di antaranya, pangan nabati seperti ubi, singkong, dan kacang-kacangan. Juga, pangan hewani seperti telur atau ikan.

Studi di atas menghasilkan panduan gizi seimbang berbasis pangan lokal atau PGSPL yang sempat diujikembangkan di Kabupaten Sambas. Masyarakat di daerah tersebut didorong untuk mengonsumsi pangan lokal. Hasilnya, keragaman makanan dan asupan gizi mereka meningkat signifikan.

Perdebatan terkait impor beras bukannya tak perlu karena ini adalah bagian dari demokrasi. Akan tetapi, lokus urgensi pangan kita terletak pada kerentanan akses masyarakat terhadap pangan yang terjangkau dan bergizi.

Meski demikian, rencana kebijakan impor beras telah menjadi desas-desus nasional. Pemerintah perlu serius memperbaiki pola komunikasi dalam pembuatan kebijakannya sehingga tak perlu ada konflik narasi antar pemangku kepentingan. Masyarakat seharusnya dapat terhindar dari tontonan kegaduhan dan saling bantah antar pemimpin, misalnya antara kepala Bulog, beberapa gubernur, dan menteri perdagangan.

Dalam Visi Indonesia 2045, Presiden Joko Widodo menekankan, arah kemajuan Indonesia harus dimotori oleh SDM berkualitas. Dalam hal pangan, bukan konsumsi beras, melainkan keragaman pangan dan kecukupan gizilah yang membantu tercapainya visi ini.

Untuk hal itu, berbagai inisiatif pemenuhan pangan bergizi, apalagi yang bersumber dari pangan lokal, bagi rakyat Indonesia perlu didorong dan difasilitasi pemerintah. Panduan berbasis pangan lokal seperti PGSPL di atas dapat dijadikan alternatif acuan dalam perencanaan sistem pangan kita, misalnya membantu Kementerian Pertanian dalam mendorong produksi pangan lokal yang berfokus pada protein hewani dan sayuran.

Inisiatif ini juga dapat membantu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta berbagai kelompok masyarakat dalam mengenali dan mempromosikan indikator ketahanan pangan serta status gizi lokal lewat komunitas dan sekolah di berbagai daerah.

Harapannya, inisiatif tersebut dapat benar-benar membantu upaya pemerintah mengatasi inti permasalahan pangan dan pembangunan ekonomi. Bukan soal beras saja, melainkan pada akses dan pemenuhan makanan lokal bergizi di masyarakat. (*)


*) Muhamad Rosyid Jazuli, Peneliti di Paramadina Public Policy Institute dan mahasiswa doktoral di University College London

Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam Rubrik Opini Koran Jawa Pos, 27 Maret 2021