Meninjau Kembali Arah Purna Tugas Anggota TNI

ilustrasi purnawirawan. (Infopublik.id)

Muhamad Rosyid Jazuli

detikcom, Kolom, 17 Maret 2022

 

Sorotan publik terhadap Tentara Nasional Indonesia (TNI) menanjak drastis akhir-akhir ini. Sebagian melihat adanya niat TNI menggalang kekuatan politik untuk kembali ke era dwifungsi-nya. Yang mutakhir, TNI dimejahijaukan di Mahkamah Konstitusi karena berencana menaikkan batas usia pensiunnya (detikcom, 10/2).

Di sisi lain, TNI sering menyampaikan bahwa sebagai organisasi mereka telah melakukan reformasi internal besar-besaran. Di antaranya, sistem personalia yang telah dilaksanakan secara lebih transparan dan meritokratik. TNI juga berhasil membangun kerja sama dengan berbagai organisasi baik di dalam dan luar negeri.

Namun, bahwa ada beberapa purnawirawan yang kini menjabat sebagai pejabat negara seolah menyanggah segala argumen terkait reformasi di tubuh TNI. Kita dengan mudah dapat menemukan purnawirawan TNI yang melanjutkan karier di arena politik, misalnya, sebagai anggota legislatif maupun eksekutif, seperti Menko Marves Luhut Pandjaitan.

Purnawirawan TNI juga sering dikaitkan dengan bidang-bidang bisnis yang erat kaitannya dengan konsesi lahan. Sebagian memiliki dan mengoperasikan tambang-tambang. Sebagian lain di industri perkebunan dan migas.

Fakta di atas kemudian dianggap sebagai bukti bahwa ada dominasi TNI di pengambilan keputusan di pemerintah.

Kritik publik terhadap gerak para purnawirawan tersebut tentu perlu diapresiasi sebagai bagian dari demokrasi. Tetapi, harus dilihat juga bahwa nyatanya banyak purnawirawan TNI yang tak ‘seberuntung’ itu. Segera setelah melepas baju dan regalia kemiliterannya, mereka tak punya ‘karier kedua’, sementara kehidupan terus berlanjut.

Gudang Sumber Daya

Situasi sulit ini tak terbatas hanya mereka yang memulai karier dari bintara; para punawirawan jenderal TNI pun punya masalah yang sama. Sebagian berjuang dengan membuka bisnis kecil-kecilan. Sebagian memilih untuk memperdalam sipiritualitas mereka. Sebagian bilang, “Mau ngemong cucu saja.”

Di satu perspektif, ini tentu dilihat sebagai sifat kelegawaan dalam melepas semua atribut kemiliteran dan kembali ke masyarakat. Sebab, bagi sebagian ahli, tak layak bagi purnawirawan untuk masuk ke politik karena dianggap akan muncul remiliterisasi pemerintah (Soesilo, 2014). Tetapi di perspektif lainnya, ‘memudarnya’ peran para purnawirawan ini merefleksikan ‘ketersia-siaan’ talenta.

Begini. Selama para anggota TNI ini aktif, tentu telah banyak pelatihan dilaksanakan dan diupayakan untuk mereka. Sebagian mencicipi pelatihan dan sekolah komando, di dalam negeri maupun luar negeri. Mereka nendapatkan privilese untuk memiliki ketrampilan manajemen militeristik di berbagai bidang. Di antaranya, bidang logistik, pengelolaan sumber daya manusia, analisis isu-isu pertahanan dan strategis, yang tentu bukan hanya persoalan perang dan senjata.

Kini, kita bisa mudah menemui perwira dan bintara TNI yang dapat mengenyam pendidikan tinggi. Sebagian bahkan sampai studi pada level doktoral, bukan hanya di dalam tapi juga di luar negeri. Karenanya, dalam perspektif kedua tersebut, TNI adalah gudang sumber daya manusia andal di Indonesia. Mereka kaya dengan pengetahuan dan keterampilan yang jika terus dikaryakan seharusnya dapat memberikan kontribusi positif bagi negara.

Sayangnya, pengetahuan dan ketrampilan para anggota TNI ini terlalu fokus pada perihal yang mereka bisa lakukan selama aktif di militer. Misalnya, dalam hal logistik, TNI fokus pada proses logistik militer dengan segala protokol militernya. Selama mereka aktif sebagai tentara, tentu keterampilan ini bisa diaplikasikan. Nah, ketika sudah purnawirawan, kemampuan ini tentunya jadi kurang relevan.

Irelevansi keterampilan dan pengetahuan inilah yang kemudian menjadi satu sumber masalah ketika mereka purna tugas. Hal ini tentu tak berlaku bagi sebagian yang kini ‘sukses’ di bidang lain. Di luar politik, seperti Menko Luhut, beberapa purnawirawan TNI nyatanya sukses menjalankan ‘karier kedua’ mereka. Misalnya, Doni Monardo.

Selepas pensiun, mantan Ketua BNPB dan Satgas Covid-19 itu langsung aktif menjadi aktivis lingkungan. Bersama koleganya, Egy Massadiah, Doni membentuk Yayasan Kita Jaga Alam yang bergerak mengampanyekan penyelamatan lingkungan dan penanaman pohon. Ia juga aktif menjadi pembicara di berbagai forum untuk membagikan pandangannya, misalnya dalam hal kompleksitas upaya pembersihan sungai dari limbah.

Gerak aktif para purnawirawan TNI ini tentunya bukan dibangun pascapensiun. Misalnya, Doni telah aktif melakukan penanaman pohon sejak berpangkat letnan. Ketika bertugas di Jawa Barat, ia aktif menggerakkan timnya untuk membersihkan Kali Citarum. Ketika bertugas di Maluku, ia aktif melakukan penanaman pohon dan kampanye makan ikan.

Sayang sekali, pengayaan keterampilan dan pengetahuan non-militer ini sepertinya belum terlembagakan di tubuh TNI. Hingga menjelang pensiun, para anggota TNI hidup dan bekerja dengan doktrin dan pengetahuan militernya. Dampaknya, ketika purna tugas, mereka pun harus belajar dari nol untuk menjalani hidup pasca karir militer mereka.

Peluang Karier

Upaya baru-baru ini untuk menambah batas usia pensiun TNI jelas patut dikritisi serius. Sebab, alih-alih memperbaiki sistem pendidikan dan pelatihannya, TNI malah menambah masalah baru dan makin membebani keuangan negara. Pasalnya, telah banyak biaya dikeluarkan oleh negara untuk menyekolahkan dan melatih para tentara tersebut.

Hal tersebut perlu menjadi perhatian serius para pimpinan negara khususnya di tubuh TNI. Urgen untuk melihat bahwa TNI adalah sumber talenta terbaik untuk berkontribusi bagi negara. Untuk itu, kelembagaan program pelatihan dan pendidikan di tubuh TNI perlu ditinjau kembali. Karena, terdapat banyak potensi pilihan ‘karier kedua’ bagi para purnawirawan TNI ini selain di bidang politik atau bisnis berbasis konsesi lahan.

Para purnawirawan ini, di bidang akademik misalnya, bisa menjadi pengajar di universitas atau penasihat di lembaga-lembaga penelitian dan kajian strategis. Mereka bisa membuka bisnis, di bidang kopi misalnya. Namun, jelas semua itu tak bisa dibangun dari nol sejak mereka pensiun.

Yang ingin mengajar, diberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas umum baik di dalam negeri maupun luar negeri. Yang memang passionate berbisnis, diberikan eksposur lebih dini terkait bagaimana menjalankan bisnis profesional.

Perlu diperhatikan, bahwa berbagai upaya tersebut harus dilakukan dil uar pendidikan dan pelatihan kemiliteran yang wajib.

Ke depan, munculnya lebih banyak tokoh lingkungan, pendidikan, sains, dan bidang-bidang lainnya dari latar purnawirawan militer adalah sangat mungkin. Namun hal itu perlu direkayasa dengan baik sehingga ketokohan mereka berujung pada kontribusi pada negara.

Untuk itu, kerja sama dengan aktor non-militer penting untuk diupayakan. Misalnya, bisa bekerja sama dengan Kamar Dagang Indonesia untuk untuk berbagi ide dan ilmu bisnis profesional sejak lebih awal—khususnya bagi yang memang berminat.

Selain itu, berbagai organisasi purnawirawan seperti Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) dapat aktif dilibatkan untuk berbagi gambaran lebih nyata dan lebih dini kepada para para anggota TNI aktif terkait perihal kehidupan masa pensiun tanpa regalia militernya.

Segala upaya di atas adalah prevensi sekaligus persiapan yang perlu dimiliki setiap insan militer Indonesia. Dengan ini, pensiun bagi TNI bukan akhir sebuah perjalanan hidup, tetapi momentum emas untuk berkarier dan berkontribusi secara lebih luas kepada masyarakat dan negara.

Jika upaya preparatif dan preventif di atas efektif, segala perdebatan perihal perpanjangan masa pensiun anggota TNI menjadi kurang relevan. Sebab, kapan pun mereka bisa pensiun dan siap ‘tancap gas’ dengan karier-karier dan kegiatan-kegiatan lain selanjutnya, yang tentunya diarahkan untuk berkontribusi positif bagi negara dan bangsa. (*)

Muhamad Rosyid Jazuli, peneliti di Paramadina Public Policy Institute

Artikel Kolom ini pertama kali dipublikasikan di detiknews.