Menghidupkan Pancasila sebagai Realitas, Bukan Dogma

Aksi massa tolak RUU HIP di berbagai daerah (Foto: M. Sholihin/detikcom)

Muhamad Rosyid Jazuli

16 Juli 2020

 

Jakarta – Publik jelas merasa lega atas penundaan pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Masuknya RUU tersebut dalam Program Legislasi Nasional 2020 bisa jadi sah secara prosedural. Namun secara kontekstual dan fundamental, upaya tersebut pantas menuai kritik publik.

Sebagai ideologi negara, Pancasila akan terus dikontestasikan makna dan implementasinya. Pancasila tak bisa tiba-tiba “hidup” dan diyakini oleh masyarakat. Ia perlu mesin kepemerintahan untuk mewujudkannya dalam bentuk kebijakan publik yang menyejahterakan masyarakat.

Pada era Presiden Sukarno, Pancasila yang digagasnya hidup berdampingan dalam ideologi nasionalisme, agama, dan komunisme. Pancasila kemudian erat dengan otoritarianisme, anti-komunisme, militerisme, dan sentralisasi pembangunan dan politik pada era Presiden Suharto.

Pancasila kini telah makin demokratis, berwarna, dan terbuka pemaknaannya pada era Reformasi ini. Masyarakat Indonesia yang multikultur dan multidimensi memiliki kesempatan luas untuk menentukan makna Pancasila bagi mereka.

Atas nama Pancasila, siapapun saat ini, umumnya, bisa menyampaikan pendapatnya. Asal memenuhi syarat administratif yang ditentukan, pada era Reformasi ini siapapun bisa mendirikan organisasi, baik sosial maupun politik.

Pancasila Multikultur

RUU HIP terkesan ingin mengunci Pancasila menjadi dogma yang statis. Inisiatif ini jelas bertentangan dengan perjalanan mutakhir Pancasila yang cair, inklusif, dan kontekstual. Di dalam Indonesia yang kepulauan, multikultur, dan masih berkembang politik dan ekonominya, fluiditas penerjemahan Pancasila menjadi keniscayaan.

Menurut Prof. Kuntowijoyo, perlu konsistensi, koherensi, korespondensi dalam memaknai Pancasila sebagai ideologi negara (2001). Perspektif tersebut merefleksikan bahwa Pancasila hadir mengakomodasi kemajemukan Indonesia dan sekaligus menolak paham yang tidak sesuai karakter Bangsa Indonesia, seperti komunisme.

Dalam kacamata perspektif tersebut, penyederhanaan Pancasila menjadi tri atau ekasila, seperti yang diusulkan dalam RUU HIP, adalah inkonsistensi, yang bisa jadi mengarah pada komunisme. Bahwa menciptakan sentralisasi dan oligarki politik dan ekonomi adalah inkorespondensi.

Karena itu, Pancasila tidak bisa mewujud pada kebijakan publik yang procrustean atau one-size-fits all. Menghadirkan Pancasila dalam kebijakan kongkret yang menyejahterakan rakyat Indonesia sesuai karakter dan kultur kedaerahannya adalah urgen ketimbang mengekangnya dalam kerangka hukum yang ketat dan dogmatis.

Tentu, menghidupkan Pancasila lewat kebijakan-kebijakan nyata tentu akan menguras energi pemerintah. Tetapi, tanpa ada kebijakan publik yang berdampak nyata, utak-atik Pancasila sebagai doktrin lewat RUU HIP secara kontekstual jelas tak ada manfaatnya dan hanya berbuah kritik dan polemik.

Dalam isu separatisme di Provinsi Papua, misalnya, pemerintah mudah melabeli mereka yang tak setuju kebijakan pusat sebagai pro-separasi, sehingga tidak Pancasilais. Padahal, protes-protes publik, seperti minimnya akses sekolah dan layanan kesehatan yang memadai dan berkualitas di Papua, adalah benar demikian faktanya.

Terlepas dari masifnya pembangunan infrastruktur di sana, Papua masih menjadi daerah paling miskin di Indonesia (BPS, 2019). Jika demikian, bisa dimengerti mengapa masih ada masyarakat, di Papua khususnya, yang gamang akan identitas keindonesiaannya, yakni karena Pancasila belum hadir mewujudkan kesejahteraan di sana.

Kebijakan Publik Nyata

Karenanya, Pancasila perlu hadir untuk memungkinkan kolaborasi antara pusat dan daerah untuk menentukan kebijakan bersama. Dalam isu ekonomi, contohnya, pemerintah perlu menghadirkan Pancasila melalui kebijakan seperti pemberdayaan masyarakat dan pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya di berbagai daerah sesuai potensi masing-masing.

Hadirnya Pancasila di Jawa, contohnya, perlu mewujud pada kebijakan pemberdayaan petani-petani agar lebih optimal mengolah lahan pertanian yang ada. Sementara di Papua, Pancasila harus hadir dalam kebijakan penjagaan hutan dan kelestariannya untuk kesejahteraan masyarakat di sana.

Agaknya tidak adil jika pemerintah membatas-batasi pemahaman masyarakat atas Pancasila, sementara masalah-masalah sosial belum teratasi. Pada masa pandemi Covid-19 saat ini, misalnya, hampir semua negara termasuk Indonesia menghadapi ketidakpastian penyelenggaraan pendidikan, disrupsi layanan kesehatan, dan naiknya angka pengangguran dan kemiskinan. Seharusnya energi lembaga tinggi negara difokuskan pada menangani permasalahan tersebut ketimbang berpolemik soal RUU HIP.

Dalam isu lain, seperti terorisme, pemerintah sering menyampaikan narasi bahwa para teroris itu melawan konstitusi dan Pancasila. Narasi teroris itu anti-Pancasila tentu tidak salah. Tetapi, pemerintah seharusnya juga menjadikan Pancasila sebagai semangat berkolaborasi lintas departemen dan elemen masyarakat untuk menghadirkan kebijakan pendidikan berkualitas dan berkarakter. Tujuannya, intervensi regenerasi teroris sejak dini.

Saat ini, alih-alih program pendidikan berkualitas, kebijakan peningkatan kualitas dan kesejahteraan para guru kita masih belum optimal. Angka putus sekolah juga masih mengkhawatirkan.

Oleh sebab itu, Pancasila perlu bermanifes dalam kebijakan yang memastikan generasi muda Indonesia punya kesempatan berpartisipasi memajukan negara berbekal pendidikan berkarakter dan bekerja pada lapangan-lapangan pekerjaan yang telah diupayakan pemerintah.

Pancasila perlu melompati (leapfrogging) perdebatan dogmatis. Pancasila perlu nyata hadir dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik yang dapat mengintervensi arus suplai masalah sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, dan putus sekolah.

Menghafal Pancasila bukan hal sulit sebab memang pendek teksnya. Karena itu, hidup-matinya Pancasila bukan bergantung pada seberapa banyak masyarakat yang hafal sila-silanya, tapi pada bagaimana pemerintah yang berkuasa dapat menghadirkannya dalam kebijakan publik yang membawa kesejahteraan bagi rakyat. Kritik tajam publik pada RUU HIP menjadi bukti bahwa secara fundamental, Pancasila perlu hadir dalam realitas, bukan dogma.

Muhamad Rosyid Jazuli, MPP peneliti di Paramadina Public Policy Institute

Esai ini pertama kali dipublikasikan di Kolom Detik, 16 Juli 2020.