Kontinuitas IKN, Momentum Penguasa Berbenah

ilustrasi IKN (detikcom)

Muhamad Rosyid Jazuli

Koran Sindo, Opini, 18 April 2022

 

Ditargetkan rampung 2045, implementasi yang konsisten dan berkelanjutan tentu akan menjadi kunci suksesnya proyek Ibukota Negara (IKN). Namun, potensi ketidakpastian dan kegagalannya sangat besar, khususnya ketika berhadapan dengan gejolak politik dan pergantian kekuasaan. Perdebatan tersebut mengindikasikan kompleksitas IKN dan agaknya perlu untuk meninjaunya dari kacamata kebijakan publik.

Teknis dan politis

Pembuatan kebijakan tak punya pakem sebab target masalah publik yang ingin dipecahkannya acapkali kompleks dan multitafsir (Scott & Baehler, 2010). Di samping itu, kebijakan publik pada dasarnya sangat politis (deeply political). Melepaskannya dari politik akan berujung nihil hasil dan dampak (Ferguson, 1994). Selain perencanaan teknis yang baik, pembuatan kebijakan perlu ditopang mandat politik secara sah. Tanpa itu, sebuah kebijakan dipastikan menuai kegagalan, bahkan sebelum ia direncanakan (Kingdon, 2014).

IKN, tak terkecuali, adalah sebagai sebuah kebijakan yang teknis dan politis. Ia ditargetkan untuk menyelesaikan sekelompok masalah publik yang kompleks. Di antaranya, perlunya desentralisasi dan de-jawanisasi pusat pengambilan keputusan. Mengurangi bias Jawa, begitu sebagian berargumen.

Dalam jangka dua dekade lebih implementasi IKN, akan ada setidaknya tiga-empat pemilu yang harus dilalui. Dengan iklim pemilu yang rentan kegaduhan, utamanya sejak 2014, jelas IKN akan menghadapai disrupsi akbar berkali-kali. IKN juga terus dapat tentangan dari para ahli terkait legitimasi perencanaannya, termasuk dianggap kurang berbasis bukti dan sarat bias politik pemerintah pusat (Kodir, 2022). Selain itu, isu-isu sosial terkait kebijakan ini terus bermunculan, termasuk nasib warga lokal yang tanah dan kehidupannya terimbas IKN.

Tantangan dan momentum

Secara politik, terlepas dari berbagai pro dan kontranya, keberlanjutan kebijakan IKN ada di tangan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) sebagai partai penguasa. Sebab kepemilikan kebijakan (policy ownership) IKN ini bertumpu pada partai ini. Selama ini juga PDIP-lah yang paling rajin berjuang mempertahankan diskursus IKN. Tanpa PDIP sebagai partai penguasa, kebijakan IKN agaknya akan segera menjadi ‘dongeng’.

PDIP berpotensi besar mengawal implementasi IKN dengan beberapa alasan berikut. Dari sisi basis massa, partai ini memiliki kelompok pemilih yang paling loyal dan jumlah relatif paling banyak. Partai ini, misalnya, mendominasi hasil pilkada serentak 2020 lalu. Sekitar 17 calonnya terpilih di Jawa Tengah, dan 11 di Jawa Timur. Hal ini sekaligus menginikasikan bahwa partai Banteng Moncong Putih ini memiliki stok kader pemimpin relatif lebih melimpah dan loyal ketimbang partai-partai lain.

Meski demikian, beberapa tantangan berikut perlu mendapat perhatian serius. Pertama, saat ini adalah periode terakhir Presiden Joko Widodo menjabat. Keberadaan Badan Otorita IKN jelas membantu koordinasi kebijakan ibukota baru ini. Tetapi kewenangannya pada akhirnya ditentukan oleh presiden yang berhak mengganti kepalanya sewaktu-waktu.Akan ada figur presiden baru yang akan bertanggung jawab atas IKN. Belum tentu ia punya perhatian selevel yang dimiliki Presiden Jokowi.

Kedua, jamak dipahami bahwa partai-partai politik besar di Indonesia relatif dinastik atau oligopolistik. Trah atau golongan tertentu mendominasi, jika bukan satu-satunya, jalan regenerasi kepemimpinannya. Harus diakui, PDIP masih kental dengan nuansa dinastik itu. Dwi-dekade pelaksanaan IKN adalah momentum pelecut partai penguasa ini untuk berbenah. Para pimpinan partai ini perlu lebih serius menyiapkan kader pemimpinnya dengan memperluas kolam talenta (pool of talent) mereka. Terlalu fokus pada trah tertentu akan menyulitkan diri partai itu sendiri.

Reformasi meritokratik dan kolaboratif

Publik tentu mengapresiasi sikap reformatif PDIP, sebagai partai penguasa, menolak tegas perpanjangan masa jabatan presiden dan pengunduran jadwal pemilu. Nah, IKN meningkatkan urgensi penguasa arena politik Indonesia tersebut untuk mereformasi dirinya secara lebih fundamental. PDIP perlu bertransformasi dari dinastik menjadi lebih meritokratik dan kolaboratif.

Bukan hanya loyalitas, kualitas kader atau talenta partai juga perlu dinilai dari aspek-aspek yang lebih substantif. Dengan sistem partai yang meritokratik, siapapun, dari latar manapun, perlu diberi kesempatan untuk memimpin partai ini. Tentu, dengan syarat mereka berkinerja bagus, berkapasitas politik mumpuni, dan loyal terhadap kepentingan nasional, wa bil khusus mau mengawal kebijakan pembangunan IKN hingga selesai.

Di sisi lain, PDIP perlu membuka diri untuk aktif berkolaborasi dengan aktor-aktor non-partai. Kerjasama dengan universitas dan lembaga riset, dikomandoi Megawati Institut misalnya, perlu lebih digiatkan untuk menelurkan masukan-masukan berkualitas bagi pemerintah. Dengan Nahdlatul Ulama (NU), sebagai contoh, PDIP dapat menyusun peta-jalan kehidupan beragama di IKN. Lagipula, telah banyak kepala daerah dari partai ini yang nyatanya juga kader NU.

Besarnya potensi PDIP memimpin Indonesia dalam jangka panjang akan menjadi hal aneh (peculiar) dan menantang demokrasi kita khususnya era Reformasi. Hal ini akan menantang pendapat umum bahwa dua periode adalah cukup untuk sebuah kelompok memimpin negeri ini. Namun, sepanjang penguasa memiliki kepemilikan terhadap sebuah kebijakan, keberlanjutannya akan relatif terjamin. Implementasi IKN akan membutuhkan komitmen sekaligus atmosfer politik yang stabil.

Terlepas dari pro dan kontranya, sebagai sebuah kebijakan publik, implementasi IKN akan relatif terjamin kontinuitasnya jika PDIP memimpin dan mengawalnya hingga rampung. Tetapi, jika sang partai penguasa tak berbenah, akan sia-sia belaka momentum ini dan IKN pun bisa segera jadi sejarah bahkan sebelum ia dibangun. (*)

Muhamad Rosyid Jazuli, Pengurus PCI NU UK, Mahasiswa Doktoral University College London, dan peneliti Paramadina Public Policy Institute

Artikel opini ini pertama kali dipublikasikan di Koran Sindo.