Diplomasi dan Perang Global Melawan Korona

Sumber: Tribunnews

Ahmad Khoirul Umam

Jawa Pos, 25 Maret 2020

 

Pandemi Covid-19 yang kini telah tersebar ke 196 negara menghadirkan ancaman serius terhadap stabilitas keamanan dan ekonomi internasional.

Jika tidak tertangani secara cepat dan tepat, persebaran penyakit yang dipicu SARS CoV-2 atau yang biasa disebut virus korona itu berpotensi memunculkan gelombang krisis global dengan kesehatan dan keselamatan manusia sebagai taruhan. Dampaknya juga bisa menghancurkan tatanan fondasi ekonomi negara-negara di dunia.

Dalam menghadapi situasi krisis ini, sikap negara-negara di dunia cenderung terbagi menjadi dua. Pertama, cenderung menutup diri dan fokus pada keamanan dan keselamatan dirinya. Kedua, mengoptimalkan langkah untuk keamanan dan keselamatan internal sembari meningkatkan kerja sama dan diplomasi untuk saling membantu dan mendorong percepatan penanganan virus korona di tingkat global.

Langkah pertama itu cenderung dipengaruhi tradisi realis dalam studi hubungan internasional yang menempatkan kepentingan nasional (national interests) dan kekuatan negara sebagai aktor utama untuk melindungi warga sendiri, sembari mengambil jarak dari komunitas global.

Saat menutup diri (hedging strategy), negara cenderung tak hirau terhadap langkah-langkah kerja sama multilateral yang berusaha menghadapi krisis global ini. Pilihan kebijakan seperti itu belakangan dilakukan secara vulgar oleh Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump. Sedari awal, dengan mendasarkan pada jargon politik ”America First”, Presiden Trump lebih memilih untuk membatasi diri dalam membantu dunia guna menghentikan pandemi Covid-19. Trump lebih fokus pada upaya penyelamatan internal negaranya melalui penutupan wilayah perbatasan dengan Meksiko dan Kanada; larangan perjalanan ke luar negeri, terutama ke Eropa dan Asia Timur; serta peringatan pembatasan aktivitas luar rumah (social distancing dan stay at home) di sejumlah negara bagian seperti New York, New Jersey, California, Connecticut, serta Illinois.

Selain itu, Trump lebih memilih untuk mengalokasikan logistik dan kekuatan finansial negaranya guna mempersiapkan fasilitas kesehatan publik serta menyelamatkan industri manufaktur dan jasa. Itu demi menjaga pertumbuhan ekonomi nasional Amerika.

Menurut Trump, semua pilihan kebijakan itu diambil untuk menghindarkan ketergantungan Amerika terhadap negara lain, utamanya Tiongkok, yang belakangan dianggap relatif berhasil menjinakkan pandemi Covid-19 di negaranya. Implikasinya, Amerika tidak mengeluarkan upaya signifikan untuk menolong dunia.

Tentu tidak keliru apa yang dilakukan Trump terhadap negara yang dipimpinnya. Semua negara juga mengambil langkah taktis maupun strategis untuk mengimplementasikan protokol korona dan menyiapkan penyelamatan ekonomi negara masing-masing. Tetapi, Amerika tidak boleh menutup mata. Negara-negara di dunia ini memiliki kapasitas dan kemampuan yang berbeda. Tidak semua negara memiliki fasilitas, kekuatan logistik, instrumen penangkal, dan kualitas riset medis serta kesehatan publik yang memadai seperti yang dimiliki Amerika. Karena itu, peran negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat, dalam konteks ini, sangat dibutuhkan dunia. Sikap acuh dan angkuh negara-negara besar justru akan mendatangkan malapetaka yang lebih besar.

Perang Semesta

Perang melawan virus korona adalah perang semesta yang harus melibatkan partisipasi semua pihak. Baik kekuatan negara maupun non-negara, untuk menghentikan tingkat persebaran dan menemukan cara yang tepat untuk meningkatkan potensi kesembuhan dan menekan tingkat potensi kematian akibat virus ganas ini ke depan.

Pandemi Covid-19 harus menjadi tanggung jawab bersama masyarakat dunia. Karena itu, dibutuhkan upaya kerja sama dan diplomasi secara intensif antarnegara, terutama bantuan dan dukungan negara maju kepada negara miskin dan berkembang agar masyarakat internasional mampu memenangkan perang melawan virus mematikan ini.

Efektivitas kerja sama dan diplomasi internasional dalam melawan korona ini sangat dirasakan pemerintah Tiongkok. Presiden Xi Jinping mengatakan, selama krisis di Wuhan terjadi, pihaknya terus berkoordinasi secara intensif dengan WHO (Badan Kesehatan Dunia) dan negara-negara mitra. Bersama-sama mereka secara intensif menggerakkan para ilmuwan dan pakar teknologi kesehatan untuk menemukan langkah-langkah mitigasi yang tepat berbasis pengalaman empiris dan ilmiah yang mereka temukan di lapangan.

Kerja sama internasional juga harus difokuskan pada upaya pengadaan dan mobilisasi alat-alat tes deteksi dini, generator oksigen, baju pelindung tenaga kesehatan, masker wajah, dan persediaan obat-obatan yang memadai kepada negara-negara yang membutuhkan. Di tengah situasi krisis ini, upaya mengambil keuntungan di tengah keterbatasan negara-negara yang membutuhkan merupakan tindakan yang tidak etis dan melecehkan nilai-nilai dasar diplomasi internasional.

Untuk itu, kerja-kerja diplomasi internasional harus diarahkan untuk memudahkan langkah-langkah mitigasi. Termasuk di dalamnya adalah mendorong dan mempercepat kerja-kerja para ilmuwan, peneliti, dan pakar teknologi kesehatan. Agar mereka bisa menghasilkan riset yang produktif untuk mengembangkan vaksin, obat-obatan khusus, termasuk terapi obat tradisional yang tepat, serta menemukan mekanisme yang tepat dan cepat untuk deteksi dini, pelaporan, karantina, dan penanganan pasien-pasien terinfeksi virus korona. Tentu berdasarkan standar operasi yang cepat, efektif, dan tepat.

Di tengah ketidakpastian global ini, negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, juga harus membuka pintu komunikasi lebar-lebar pada dunia global. Terbukti, berkat kerja sama dan bantuan internasional, Tiongkok berhasil menurunkan tingkat persebaran yang semula pada momentum puncak terjadinya persebaran bisa mencapai 10.000 kasus per hari menjadi 100 kasus per hari dalam beberapa hari terakhir ini.

Pandemi Covid-19 yang mengancam keamanan global ini seolah mengingatkan kembali kepada dunia akan pentingnya kerja-kerja multilateral. Juga, peningkatan hubungan persahabatan antarnegara dalam mengembangkan dan memperluas hubungan-hubungan strategis, termasuk dalam riset dan pengembangan ilmu pengetahuan. (*)

Artikel ini pertama kali terbit di Jawa Pos, 25 Maret 2020

Baca versi Bahasa Inggrisnya di sini