Media Indonesia, Opini, 6 Juni 2023
PEMILU merupakan ajang konflik politik yang bersifat legal dan konstitusional untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Pemilu yang adil akan menjadi sistem manajemen konflik yang efektif untuk meredam gejolak, instabilitas, dan kekacauan sosial-politik akibat benturan antarkekuatan.
Sebaliknya, jika dijalankan dengan cara-cara yang tidak adil, pemilu bisa memantik terjadinya konflik baik di tingkat elite maupun akar rumput. Karena itu, dibutuhkan netralitas kekuasaan untuk mewujudkan pemilu yang adil dan demokratis.
Menjelang Pemilu 2024, sejumlah pihak mengkhawatirkan potensi terjadinya ketidakadilan berdemokrasi akibat keberpihakan kekuasaan negara. Persepsi itu salah satunya dipicu sikap dan statement politik Presiden Joko Widodo, yang dinilai sering memberikan dukungan terbuka (political endorsement) kepada pihak-pihak tertentu untuk maju menjadi kontestan Pilpres 2024. Presiden juga melakukan konsolidasi bersama para pemimpin partai politik (parpol) di Istana Negara, yang notabene merupakan ‘simbol politik kebangsaan’ yang seyogianya menaungi semua elemen kekuatan politik di Tanah Air.
Merespons kekhawatiran itu, Presiden Jokowi, Kamis (4/5), menegaskan dirinya tidak cawe-cawe (ikut campur) dalam urusan Pilpres 2024. Namun, belakangan Presiden Jokowi, Senin (29/5), menyatakan dirinya akan ikut cawe-cawe dalam Pemilu 2024. Meskipun pernyataan cawe-cawe presiden yang mutakhir diklaim sebagai komitmen untuk tidak ikut berpolitik praktis, sejumlah kalangan justru mempertanyakan komitmennya dalam menjaga netralitas kekuasaan negara itu sendiri.
Pertanyaan kritis publik itu semakin kuat, ketika Presiden Jokowi dinilai telah melangkah lebih terlalu jauh. Ia dengan intens mengorkestrasi dan mengonsolidasikan berbagai kekuatan parpol serta jaringan relawan, yang diarahkan untuk menyukseskan pasangan capres-cawapres tertentu.
Esensi pembatasan
Secara legal formal, individu presiden memiliki hak politik, baik untuk memilih maupun untuk dipilih kembali di periode kedua pemerintahan. Karena itu, Pasal 299 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjelaskan dengan tegas bahwa presiden dan wakil presiden memiliki hak untuk melaksanakan kampanye.
Dalam konteks itu, kampanye bagi presiden memiliki pengertian berkampanye bagi dirinya sendiri baik sebagai calon presiden (capres) selanjutnya maupun berkampanye untuk pihak lain, baik untuk parpol, calon anggota legislatif (caleg), maupun capres lain yang ia dukung.
Kendati demikian, UU Pemilu juga mengatur larangan tegas bagi presiden dan wakil presiden, agar dalam menjalankan kampanye tidak menggunakan berbagai fasilitas negara yang dibiayai APBN, kecuali fasilitas yang sifatnya melekat, seperti pengamanan, kesehatan, dan protokoler. Penjelasan itu tertuang secara jelas di Pasal 304 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 UU Pemilu, meskipun di dalam teknis pelaksanaannya sering kali tidak diatur secara rinci dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Memang, batasan-batasan itu hanya mengatur ruang gerak presiden dan wakil presiden pada masa kampanye. Namun demikian, esensi pembatasan itu menyiratkan pesan kuat agar presiden dan juga wakil presiden baik selaku pemimpin negara maupun pemimpin politik-pemerintahan, benar-benar bisa membedakan antara domain privat dan domain publik.
Dalam konteks ini, Presiden harus bisa memilah secara arif dan bijaksana, mana agenda kerja baik yang merujuk pada kepentingan kolektif pemerintahan, kebangsaan, maupun kenegaraan (public domain), dan mana agenda kerja yang ditujukan untuk kepentingan politik pribadi, kelompok, golongan, dan partainya (private domain).
Ketika Presiden tengah bergerak dalam domain publik, kekuasaan negara dan fasilitas yang menyertainya bisa dimanfatkan secara optimal, dan vice versa. Ketika Presiden sedang bergerak dalam ranah domain privat, seyogianya tidak menggunakan kekuasaan negara, termasuk fasilitas dan logistik yang dibiayai negara.
Tidak sedikit pihak di lingkaran kekuasaan yang bisa menjustifikasi dengan mengeklaim bahwa kerja-kerja politik privat yang presiden jalankan juga bertalian dengan domain kepentingan umum dan kenegaraan. Karena itu, dibutuhkan kesadaran moral dan rumusan moral-etik yang tinggi untuk mengantisipasi ‘ruang abu-abu’ yang sering menjadi ruang perdebatan akibat pencampuradukan domain privat dan domain publik tersebut. Karena itu, orientasi tugas politik kebangsaan yang diemban presiden harus senantiasa mengedepankan akal budi dan hati nurani, untuk memastikan kepentingan umum berada di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Dampak
Dalam konteks Pemilu 2024, dukungan Presiden Jokowi terhadap capres-cawapres tertentu tentu memiliki bobot politik yang patut diperhitungkan. Selain karena tingkat kepuasan publik (approval rate) pemerintah yang relatif terjaga, dukungan politik Presiden Jokowi juga berpeluang disalahtafsirkan dan disalahgunakan pihak-pihak tertentu untuk memobilisasi instrumen dan sumber daya negara yang seharusnya independen dan netral.
Jika kekuasaan negara tidak netral, politisasi lembaga-lembaga negara, seperti lembaga penegak hukum, jaringan militer, lembaga intelijen, lembaga penyelenggara pemilu, hingga aparatur sipil negara bisa disalahgunakan untuk menjadi ‘alat pemenangan politik’. Tidak netralnya kekuasaan negara bisa memfasilitasi terjadinya konflik kepentingan dan juga penyalahgunaan kekuasaan dalam skala besar.
Belajar dari riset Alyena Batura (2022) di sejumlah pengalaman demokrasi mutakhir di Aljazair, Belarusia, Serbia, Tunisia, Kenya, Venezuela, dan Zimbabwe, ketika netralitas kekuasaan negara dipertanyakan, hal itu bisa memantik persepsi adanya pemilu yang tidak adil (unfair election). Situasi yang selanjutnya memicu ketidakpercayaan politik publik (political distrust), membuka potensi chaos, serta melemahkan legitimasi kekuasaan pemerintahan yang terpilih.
Untuk menghindari itu, penting bagi kekuasaan negara untuk senantiasa berada di tengah. Hak politik presiden seyogianya bisa tetap dijalankan secara terukur, di atas basis kesadaran bahwa presiden juga berkewajiban menjaga kepercayaan publik pada hadirnya kekuasaan negara yang netral.
Sebagai pemimpin negara, Presiden diharapkan bisa menjadi orangtua yang adil dan bisa mengayomi semua anak bangsa yang tengah berkompetisi dan berikhtiar untuk ikut melanjutkan pembangunan bangsa. Netralitas kekuasan negara merupakan salah satu kunci bagi hadirnya proses demokrasi yang kompetitif, berintegritas, dan adil. Itulah amanah konstitusi yang tertuang dalam Pasal 22E ayat 1 UUD 1945.
Huntington (1991) dalam The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century mengingatkan, jika prinsip dasar keadilan berdemokrasi tidak dirawat dengan baik, proses pemilu justru berpeluang mengonsolidasikan prasangka dan ketidakpercayaan politik publik, yang notabene menjadi akar pembelahan, konflik, dan perpecahan di tengah masyarakat. Menuju Pemilu 2024, rakyat membutuhkan kearifan dan kebijaksanaan pemimpin untuk menjaga netralitas kekuasaan negara. (*)
Ahmad Khoirul Umam Dosen Ilmu Politik & International Studies Universitas Paramadina, Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs Jakarta, Managing Director Paramadina Public Policy Institute
Artikel opini ini pertama kali terbit di Media Indonesia Selasa, 6 Juni 2023.