Ketidakpastian Koalisi Produk Orkestrasi

Ilustrasi (HERYUNANTO/KOMPAS)

Ahmad Khoirul Umam

KOMPAS, Opini, 18 April 2023

 

Terhitung sepuluh bulan menjelang Pemilu 2024, konfigurasi koalisi antarpartai politik belum menunjukkan tanda-tanda kepastian.

Sejumlah koalisi yang tergolong paling awal dideklarasikan sekalipun akhirnya mengalami stagnasi dan diselimuti ketidakpastian dalam finalisasi koalisi, khususnya dalam menentukan skema calon presiden dan calon wakil presiden masing-masing.

Bahkan, dua kekuatan besar koalisi yang relatif sudah baku, yakni Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), kini mewacanakan peleburan kekuatan yang diklaim atas restu dan orkestrasi kekuasaan Istana Presiden.

Ketidakpastian dinamika koalisi itu tidak semata-mata dipengaruhi oleh tidak adanya dominasi elektoral para kandidat presiden, tetapi juga dipengaruhi tidak adanya ide dan gagasan besar yang mampu mengikat agenda kepentingan setiap partai.

Geoffrey Pridham (1983) secara sederhana membagi faktor terbentuknya koalisi menjadi tiga. Pertama, faktor historis-ideologis. Kedua, faktor kesamaan visi, misi, dan platform kinerja pemerintahan. Ketiga, faktor pragmatisme yang berorientasi jabatan di pemerintahan (office-seeking).

Jika merujuk pada logika Pridham (1983) yang didasarkan pada konteks politik Inggris pasca-Perang Dunia II tersebut, dinamika koalisi antarpartai di Indonesia saat ini lebih menunjukkan orientasi kepentingan pragmatis semata.

Dengan demikian, wajar jika proses negosiasi pembentukan koalisi berjalan alot dan tidak mudah menemukan titik kompromi. Sebab, komunikasi politik yang dibangun hanya didasarkan pada tarik ulur kepentingan dan ”negosiasi kompensasi” dari aktor-aktor multipartai yang mayoritas berorientasi office-seeking semata.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/-Cznj4pB-nMe3Hj3PcY3jk6WixM=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F22%2Fdda5c325-44f0-47f1-b1a5-b6dc21239c9b_jpg.jpg
Ilustrasi (KOMPAS)

Faksionalisme partai pemerintah

Selanjutnya, kuatnya akar politik pragmatisme itu mendorong terjadinya faksionalisme di dalam koalisi partai-partai pemerintahan.

David Altman (2015) menjelaskan, terbentuknya atau bubarnya koalisi dalam pemerintahan demokrasi multipartai yang dilandaskan pada sistem presidensial umumnya dipengaruhi oleh lima faktor utama.

Pertama, pertalian ideologis (ideological affinity) di antara kekuatan politik. Kedua, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja presiden (president’s approval rate). Ketiga, besar atau kecilnya kekuatan politik yang berafiliasi dengan presiden. Keempat, kedekatan waktu menjelang pemilu selanjutnya. Kelima, keadilan dalam perjanjian koalisi.

Dari lima faktor tersebut, pemerintahan periode kedua Joko Widodo (Jokowi) saat ini masih bisa menjaga faktor pertama hingga keempat, di mana soliditas pemerintahan Jokowi tampak masih terjaga karena diisi oleh partai-partai yang memiliki kesamaan ideologis, ditopang kepuasan publik yang terjaga, memiliki dukungan besar hingga 70 persen kursi parlemen. Semua itu masih terjaga menjelang Pemilu 2024 ini.

Namun, terkait faktor kelima, secara tak kasatmata, terdapat indikasi komunikasi yang merenggang di antara lima partai yang tengah mewacanakan koalisi besar dengan PDI Perjuangan (PDI-P) selaku ”pemilik saham politik” tertinggi dalam pemerintahan Jokowi ini. Sejumlah informasi spekulatif menduga, kerenggangan itu berakar dari adanya perasaan di kalangan partai-partai pemerintah bahwa peran PDI-P dinilai terlampau mendominasi dalam pembagian kue kekuasaan selama ini.

Bahkan, santer dikabarkan, terdapat ketua umum dari salah satu partai politik di koalisi besar yang mengampanyekan secara terselubung untuk melakukan kontrastrategi guna memastikan PDI-P tidak lagi menjadi ”pemegang saham politik utama” di pemerintahan 2024-2029.

Persepsi tentang peran dominan dan ketidakadilan dalam pembagian kue kekuasaan itu seolah menegaskan cara pandang kolektif bahwa koalisi pemerintahan saat ini dipertahankan dalam kerangka kerja yang tidak setara (unequal basis). Kondisi ini secara natural memunculkan upaya partai-partai lain di pemerintahan saat ini untuk mencari titik keseimbangan baru (new political equilibrium).

Itulah sebabnya, partai-partai pemerintahan Jokowi, seperti Partai Golkar, PKB, PAN, dan PPP, hingga kini belum ada yang tampak pernah menunjukkan keinginannya secara terbuka untuk mendekat atau membangun koalisi bersama PDI-P. Bahkan, dalam perspektif realis, sikap enggan itu juga bisa dimaknai sebagai tendensi perlawanan terhadap PDI-P meskipun tidak pernah ditunjukkan secara terbuka oleh mereka.

Per hari ini, dari partai pendukung pemerintah, tercatat baru Nasdem yang berani menunjukkan perlawanan pada PDI-P. Sementara Partai Gerindra yang telah intens mengonsolidasikan basis kekuatan koalisi besar tampak masih berharap bisa menjalankan negosiasi dan kompromi politik bersama PDI-P.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/iamVLAEDv3gsGHnboDbm6LPfk8Q=/1024x1077/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F17%2F4dc09092-2322-4fd1-8c5a-42652a304802_jpg.jpg
Ilustrasi (Didie SW/KOMPAS)

Dengan demikian, wacana koalisi besar ini tampaknya menjadi ”langkah terakhir” dari partai-partai pemerintah untuk mencoba sekali lagi membangun potensi kebersamaan dengan PDI-P. Namun, niat itu dijalankan dengan basis harapan, di mana posisi capres ditentukan oleh koalisi besar besutan Istana Presiden yang memiliki agregat kekuatan 49,3 persen.

Dengan kata lain, wacana koalisi besar merupakan ”strategi pengepungan” untuk memaksa PDI-P agar bersedia menyerahkan golden ticket-nya sekaligus memengaruhinya agar berpuas diri menerima posisi cawapres dalam skema proposal ”koalisi superbesar”.

Koalisi miskin ide dan solusi

Kendati demikian, tidak mudah mempertemukan berbagai ego kekuatan politik besar. Negosiasi posisi capres hampir pasti diikuti oleh perebutan posisi cawapres. Benturan kepentingan dan ego elite akan mengancam soliditas koalisi besar. Jika tidak diikat dengan visi besar, bersatunya banyak kekuatan politik besar hanya akan menghadirkan pola relasi yang tidak sehat, saling curiga, hingga saling mengincar.

Koalisi yang didasarkan pada kalkulasi kepentingan pragmatis cenderung rapuh (fragile). Karena itulah, pelajaran terpenting dari kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Pilpres 2004 dan Joko Widodo di Pilpres 2014 adalah besarnya ukuran sebuah koalisi sama sekali tak menjamin kemenangan seorang kontestan capres-cawapres dalam pilpres di Indonesia pasca-Reformasi.

Karena itu, hiruk pikuk pembahasan koalisi saat ini hendaknya mulai digeser dari sekadar didasarkan pada logika dangkal terkait politik dendam atau kalkulasi untung rugi secara ekonomi-politik menjadi model koalisi yang betul-betul berorientasi pada pengembangan ide-ide substantif yang diejawantahkan melalui koreksi sekaligus tawaran kebijakan baru yang didasarkan pada kajian dan evaluasi pemerintahan yang masih berjalan.

Slogan ”keberlanjutan” ataupun ”perubahan” harus dijelaskan secara lebih konkret agar rakyat bisa menunjukkan kuasanya dalam memilih siapa pemimpin yang layak bagi mereka.

Sejarah membuktikan, koalisi yang mampu membangun narasi, gagasan, dan juga judgement kuat, yang mudah diterima nalar dan akal sehat, akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk memenangi hati, pikiran, dan suara rakyat sebagai legitimasi untuk melanjutkan mandat kepemimpinan nasional pasca-Pemilu 2024.

Ahmad Khoirul Umam Dosen Ilmu Politik & International Studies Universitas Paramadina, Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs Jakarta, Managing Director Paramadina Public Policy Institute

Artikel ini telah diterbitkan di Rubrik OPINI KOMPAS, 18 April 2023.