KOMPAS.id, Opini, 5 April 2023
Meski menjanjikan pembangunan nihil karbon, pendekatan transisi energi berkeadilan di Indonesia baru-baru ini, khususnya yang diprakarsai Just Energy Transition Partnership (JETP), masih cenderung top-down. Padahal, berbagai riset menunjukkan bahwa pendekatan bottom-up untuk transisi energi adalah keniscayaan.
Disetujui di sela-sela penyelenggaraan G20 Bali 2022, Pemerintah Indonesia dengan sekelompok negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris, menyepakati JETP tersebut. Pendanaan ”hijau” fantastis, mencapai 20 miliar dollar AS, dijanjikan untuk ekonomi berkelanjutan di Indonesia. Diresmikannya Sekretariat JETP di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 17 Februari 2023, menunjukkan keseriusan inisiatif ini.
Target kesepakatan ini cukup ambisius, yaitu meningkatkan produksi energi terbarukan dan ”menyuntik-mati” pembangkit-pembangkit listrik bertenaga batubara di Indonesia, yang jelas diklaim tak ramah iklim dan tak berkelanjutan.
Namun, target-target besar tersebut dihadapkan dengan beberapa tantangan. Nyatanya, produksi energi terbarukan masih seret. Secara rerata, produksinya belum sampai 2 persen dari total potensinya (Rahman, et al, 2020). Sementara, industri batubara saat ini sedang dalam level primanya, menyumbang 5-6 persen PDB nasional (ESDM, 2022), sebuah angka yang jelas bukan main-main. Bahkan, batubara memang masih jadi ekspor primadona Indonesia (Kemenkeu, 2022).
Selain merefleksikan ambivalensi kebijakan, pendekatan JETP lebih cenderung top-down. Terlepas dari perlunya menyelaraskan sikap dan kebijakan pemerintah dalam isu energi, sinyal keterlibatan masyarakat umum dalam skema JETP belum terlihat. Isu ini masih menjadi perbincangan elite pembuat kebijakan dan organisasi donor.
Berbagai riset, sementara itu, menunjukkan bahwa kesuksesan transisi energi secara global karena pendekatan bottom-up-nya. Riset dari Akizu et al (2018) di Jerman dan Pellicer-Sifres (2020) di Spanyol, misalnya, menunjukkan perkembangan positif transisi energi di negara-negara tersebut karena didukung terutama oleh kemauan dan aksi nyata masyarakat akar rumput (grass-root).
Mereka dengan kesadarannya mau mengurangi konsumsi listrik dan panas perumahan serta meningkatkan permintaan suplai energi terbarukan. Perhatian masyarakat secara komunal dan partisipatif berhasil mengarusutamakan isu penciptaan sistem energi baru yang berkelanjutan.
Saya pun menyaksikan situasi yang serupa di Inggris. Manajemen kompleks tempat tinggal saya misalnya memutuskan melakukan pembaruan akomodasinya meski tak terlihat ada hal yang relatif perlu dibenahi. Contohnya, mereka mengganti jendela yang lebih bisa menahan panas di dalam ruangan. Katanya, mereka ini berkontribusi pada ekonomi berkelanjutan di Bumi Raja Charles ini dengan mengurangi konsumsi energinya.
Tantangan Indonesia
Tentu, krisis energi dan perubahan iklim kian menjadi tantangan nyata, berbahaya bagi kehidupan umat manusia di sejumlah negara, tak terkecuali Indonesia. Hadirnya JETP dan berbagai inisiatif terkait menghadirkan harapan besar bagi Indonesia agar sukses menavigasi tantangan tersebut. Namun, perlu menjadi perhatian bahwa agenda ini perlu ditransformasi menjadi kebijakan yang jangkauannya sampai ke level masyarakat akar rumput.
Para elite pemangku kepentingan, khususnya di berbagai partai politik, kementerian/lembaga, dan organisasi donor internasional terkait JETP perlu serius merumuskan proses pelibatan masyarakat ini, misalnya lewat kelompok berpengaruh seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Organisasi-organisasi tersebut terbukti pengaruhnya dalam menyukseskan (dan menggagalkan) berbagai kebijakan pemerintah di Indonesia. Sebagian pendanaan JETP perlu dimanfaatkan untuk peningkatan partisipasi masyarakat umum, di antaranya dengan memfasilitasi pembentukan koperasi listrik desa bersumber energi terbarukan.
Sebagai contoh, koperasi Som Energia di wilayah Girona, Spanyol, yang berhasil mengembangkan sumber-sumber terbarukan (tenaga matahari, angin, dan air). Inisiatif ini sukses menunjukkan kepada masyarakat di sana bahwa energi terbarukan itu dekat dan mudah diakses (Pellicer-Sifres, 2020).
Di Indonesia, pendekatan koperasi listrik ini bukan hal baru. Dapat dikatakan, koperasi listrik desa telah menjadi kearifan lokal di sejumlah daerah di Indonesia. Namun, ia tak berkembang dengan baik karena berbagai permasalahan teknis dan manajerial sehingga tak kompetitif.
Namun, dengan didukung pendanaan dan berbagai potensi bimbingan dari JETP, koperasi ini bisa menjadi salah satu pendekatan akar rumput yang bisa dieksplorasi. Secara umum, berbagai inisiasi berbasis kearifan lokal untuk transisi energi perlu didukung dan direalisasikan.
Lewat simpul-simpul atau organisasi masyarakat di atas, masyarakat bukan hanya penonton ataupun target dari kebijakan ini. Namun, mereka dilibatkan sebagai aktor yang perlu punya kepemilikan terhadap kebijakan (policy ownership) ini sehingga upaya transisi energi ini. Pendekatan-pendekatan berbasis kearifan lokal di atas harapanya dapat membuat transisi energi benar-benar membumi dan adil.
Muhamad Rosyid Jazuli, Peneliti Paramadina Public Policy Institute; Kandidat Doktor University College London
Artikel Kolom ini pertama kali tayang di Rubrik Opini KOMPAS.id, 5 April 2023.