Media Indonesia, Opini, 31 Juli 2021
MESKI berada jauh dari episentrum dan lahirnya Islam, Indonesia menjadi tuan rumah umat muslim terbesar di dunia. Sekitar 13% penduduk muslim dunia bermukim di Indonesia. Sementara itu, Arab Saudi yang jamak dianggap sebagai pusat Islam, menyumbang tak lebih dari 2% jumlah muslim di dunia.
Karenanya, secara de facto, seharusnya Indonesia menjadi pusat keislaman dunia. Pandangan ini sudah sering disampaikan berbagai ulama Indonesia, seperti Quraish Shihab, Nazaruddin Umar, Azyumardi Azra, (alm) Nurcholish Madjid, dan (alm) Abdurrahman Wahid. Keyakinan tersebut lekat dengan kenyataan bahwa Islam di Indonesia merupakan Islam yang relatif moderat. Idealnya, Islam Indonesia mudah menyerap ide-ide baru yang mengarah pada kemajuan.
Dalam konteks sosial budaya, narasi ‘Islam Indonesia’ pun sering kali ‘berdampingan’ dengan istilah-istilah non-Arab, misalnya Islam toleran dan Islam Nusantara. Umum terdengar di Indonesia, umat Islam membantu kegiatan umat lain dan sebaliknya. Secara budaya, Islam Indonesia erat dengan festival lokal, misalnya, Grebek Maulud dan juga berbagai ritual selamatan. Juga, ia erat dengan narasi dan diskusi lintas iman dan lintas etnis.
Dari sisi pendidikan, Indonesia kaya akan pesantren. Hingga 2020, jumlah pesantren mencapai hampir 30 ribu dengan 5 juta santri mukim. Jumlah santri bisa mencapai hampir 20 juta jika termasuk yang tak mukim dan yang belajar di taman pendidikan Alquran dan madrasah (Ashari, 2020).
Indonesia juga memiliki berbagai universitas Islam. Yang mutakhir, Universitas Islam Internasional Indonesia. Baru-baru ini, kesempatan studi di kampus tersebut menarik ribuan pelamar yang hampir setengahnya dari luar negeri. Di level dunia, muslim Indonesia telah aktif, salah satunya dalam upaya perwujudan perdamaian di Afghanistan. Sejak 2017, telah terjadi proses aktif dialog dan silaturahim antara berbagai ulama dan perwakilan faksi di Afghanistan dengan ulama dari Indonesia, khususnya dari Nahdlatul Ulama (NU).
Para ulama Afghanistan mengapresiasi peran NU dalam membangun rasa cinta umat muslim Indonesia pada negara–notabene bukan negara Islam–berbasis wawasan keagamaan yang moderat, toleran, dan humanis (Misrawi, 2019). Sebagai kelanjutannya, para ulama tersebut mendirikan Nahdlatul Ulama Afghanistan (NUA). Pada medio 2019, NUA telah menjangkau 22 dari 34 provinsi di Afghanistan. Pada tahun yang sama, beberapa perwakilan Taliban hadir di Indonesia, bertemu dengan pimpinan NU untuk membicarakan berbagai hal, salah satunya potensi peran NU dalam proses perdamaian di Afghanistan.
Perlu amplifikasi
Uraian di atas memberikan gambaran positif dan optimis bahwa Indonesia punya potensi menjadi pusat Islam di dunia. Namun, sayangnya referensi Islam yang ditemui, khususnya di dunia Barat, masih memusat pada Islam ala Timur Tengah dan Afrika Utara. Jika pun ada referensi lain, di urutan selanjutnya ialah negara-negara Asia Selatan seperti Pakistan.
Beberapa ulama akhir-akhir ini sebenarnya telah berupaya mempromosikan Islam Indonesia lewat karya ilmiah berkaliber internasional. Faried Saenong (2021), misalnya, menulis terkait moderasi Islam oleh NU di Indonesia dan Eva Nisa (2021) menulis tentang peran perempuan dalam gerakan Islam di Indonesia. Akan tetapi, upaya-upaya serupa di atas belum optimal teramplifikasi. Padahal, gaung dari warna Islam Indonesia di dunia luar sangat krusial sebab jika tidak, dampaknya akan buruk bagi umat muslim Indonesia. Ketika narasi bahwa Islam lekat dengan eksklusivisme dan terorisme mencuat, umat muslim Indonesia tak bisa mengelak.
Tentu kita ingat seorang muslim Indonesia jadi korban penembakan yang menargetkan umat muslim di sebuah masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru, Maret 2019.
Terlepas dari hal tersebut, instabilitas di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara tentu membuat umat muslim di sana, khususnya para ahli dan ulamanya, sibuk membereskan permasalahan di dalam negerinya. Hal ini memunculkan momentum bagi umat muslim Indonesia untuk mengambil peran lebih signifikan di dunia internasional.
Kemauan
Terkait momentum tersebut, kemauan umat muslim Indonesia untuk membuka diri terhadap pertarungan gagasan dan budaya menjadi krusial. Tentu kita bisa saksikan berbagai ulama aktif di forum internasional, seperti Komaruddin Hidayat, Yahya Staquf, dan Nadirsyah Hosen. Namun, jumlah mereka masih terbatas.
Hadirnya para ulama di atas tentu angin segar bagi upaya ini. Para ulama tersebut memainkan peran penting di level gagasan, misalnya, kampanye di media massa dan forum-forum resmi internasional. Para ulama ini pun sudah banyak menelurkan berbagai karya pemikiran dan hukum Islam, baik dalam bahasa Indonesia, Inggris, maupun Arab. Namun, perjuangan untuk mengampanyekan Islam Indonesia juga harus kuat di level akar rumput. Artinya, diperlukan lebih banyak warga Indonesia yang tinggal di luar negeri yang memahami Islam Indonesia dengan karakternya dan dapat mengampanyekannya ke masyarakat sekitar. Ini termasuk di tempat kerja maupun studi, khususnya bagi mereka yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri.
Di Inggris Raya, contohnya, narasi terkait Islam masih erat dengan Islam Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan. Warga muslim di Inggris pun mayoritas berasal etnis dari tiga kawasan tersebut. Alhasil, di level akar rumput, corak Islam yang tampak ialah Islam dari kawasan tersebut. Imam-imam berbagai masjid di Inggris Raya sebagian besar berasal atau beretnis dari kawasan-kawasan tersebut, baik berstatus imigran maupun sudah warga negara Inggris. Masih sangat jarang ditemui, misalnya, imam masjid yang bersarung, berbatik, dan berpeci ala imam-imam di Indonesia.
Tentu ini bukan untuk dimaknai bahwa Islam dari daerah tertentu lebih baik atau lebih buruk. Namun, perlu menjadi perhatian bahwa masih terdapat ruang yang luas bagi umat muslim Indonesia untuk menambahkan warna Islam Indonesia ke dunia internasional. Dengan kemauan kuat, momentumnya terbuka luas.
Kesiapan
Umat muslim Indonesia yang bermukim di luar negeri sebenarnya dapat ditemui hampir di semua negara. Ini dapat dilihat dari adanya berbagai cabang organisasi Islam Indonesia yang ada di luar negeri. Organisasi cabang istimewa NU dan Muhammadiyah, misalnya, dapat ditemui di berbagai negara, termasuk di Inggris Raya. Diaspora umat muslim di luar negeri ini termasuk para santri, seperti guru/ustad ataupun lulusan pesantren, yang sedang melanjutkan studi, baik tingkat sarjana, magister, maupun doktoral.
Sebagian menggunakan dana pribadi. Namun, sebagian besar dibiayai oleh program beasiswa, termasuk dari pemerintah Indonesia, seperti beasiswa Kemenang RI dan LPDP baik yang reguler maupun khusus untuk santri. Namun, Indonesia tak bisa berharap para diaspora muslim Indonesia tersebut otomatis akan mengampanyekan Islam Indonesia. Tentu sebagian telah berinisiatif, tetapi sporadis, misalnya, dengan menjadi imam sebuah masjid di luar negeri, seperti Imam Shamsi Ali di New York. Namun, upaya ini akan kurang berkembang jika tak digerakkan oleh program yang matang dari sisi perencanaan hingga pelaksanaannya, termasuk sisi pendanaannya.
Untuk memastikan kesiapan para diaspora ini dalam mengampanyekan Islam Indonesia, diperlukan kebijakan dan program yang didesain dan direncanakan dengan matang.
Kebijakan politik luar negeri pemerintah Indonesia perlu memberi perhatian lebih pada isu agama, terkhusus Islam. Diskusi di atas menunjukkan bahwa isu ini adalah keniscayaan bagi Indonesia. Karenanya, pelibatan tokoh agama atau ulama perlu menjadi pertimbangan dalam paket-paket kebijakan diplomasi yang digawangi Kemenlu RI. Kerja sama dengan aktor nonpemerintah tentu sangat diperlukan. Dalam hal ini, NU dan Muhammadiyah dapat memainkan peran penting karena setidaknya dua alasan berikut; pertama, dua organisasi ini menjadi ujung tombak pembudayaan keislaman Indonesia. Meski punya perbedaan pendekatan, misalnya, Muhammadiyah lebih ke pendidikan dan NU lebih ke kebudayaan, dua-duanya sama-sama memiliki misi untuk memajukan dan menyejahterakan umat muslim Indonesia. Mereka paham betul bagaimana Islam di Indonesia berkembang dan bertransformasi sehingga dapat memastikan umat Islam dapat hidup damai dengan umat-umat lainnya.
Kedua, NU dan Muhammadiyah memiliki cabang di berbagai negara. Selain menunjukkan luasnya jangkauan mereka, hal ini menunjukkan potensinya untuk membantu pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan terkait kampanye Islam Indonesia tersebut. Berbekal eksposur dunia internasional, para cabang istimewa ini dapat membantu, misalnya, menyusun narasi dan mendiseminasikannya ke publik dan media lokal di negara-negara tersebut.
Sebagai rekomendasi, dengan dukungan kantor-kantor Kedutaan Besar RI (KBRI), mereka dapat membantu menyelenggarakan kegiatan capacity building untuk diaspora muslim Indonesia. Salah satu tujuannya, contohnya, mendorong diaspora santri untuk mengabarkan Islam Indonesia lewat penulisan liputan atau opini baik di media maupun partisipasi di kegiatan masyarakat lokal, seperti pameran dan bazar.
Melalui KBRI, pemerintah juga dapat memberikan dukungan baik administratif, legal, maupun finansial, misalnya, untuk pendirian masjid maupun madrasah yang bernapaskan Islam Indonesia di luar negeri. Momentum untuk mengampanyekan Islam Indonesia yang ramah dan toleran sedang terbuka lebar. Dengan kemauan yang kuat dan kesiapan sebagaimana dibahas di atas, Indonesia harapannya benar-benar, cepat ataupun lambat, dapat menjadi episentrum Islam dunia.
Muhamad Rosyid Jazuli – Pengurus PCINU United Kingdom, Peneliti di Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Mahasiswa studi doktoral di University College London
Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam Rubrik Opini Media Indonesia, 31 Juli 2021.