Jika sebuah bidang bisnis sangat kuat pengaruhnya di suatu negara, maka kita dengan cepat akan menoleh pada industri minyak dan gas. Khususnya di negara-negara yang memiliki cadangan minyak, pemain dalam industri ini bahkan bisa mengendalikan kebijakan pemerintahnya dan bahkan menjadi ‘negara sendiri’ di dalam negara.
Dalam buku Ekonomi Migas (2012) karya Benny Lubiantara, dibahas betapa kuatnya industri migas di suatu negara, membuat industri ini paling banyak urusannya. Namun, tentu ini dibarengi dengan kontribusi hasil migas yang besar bagi negara-negara pemilik industrinya. Istilahnya high risk high return.
Pengelolaan industri migas, khususnya bagian hulu, tidak lepas dari empat faktor yakni pertama lamanya waktu antara waktu pengeluaran atau expenditure dengan pendapatan. Kedua, keputusan yang dibuat berdasarkan risiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih. Ketiga, sektor ini memerlukan investasi yang relative besar. Terakhir, dibalik semua risko tinggi itu, industri ini menjanjikan keuntungan yang sangat besar.
Yang membuat industri ini ‘spesial’ tentu kerumitan bukan hanya di dalam proses eksploitasi dan eksplorasi migas, tapi juga pada tahap perjanjiannya. Sebenarnya tidak banyak pihak yang terlibat, tapi karena besarnya kapital yang harus dikeluarkan dan juga besarnya keuntungan yang dihasilkan, sedikit pihak ini sering berselisih dan menjadikan industri ini selalu saja rumit.
Benny menjelaskan bahwa pengelolaan industri ini memiliki dua jenis yakni pemisahan dan penggabungan tiga fungsi utamanya yakni pengatur kebijakan, pelaksana regulasi dan pelaku bisnisnya.
Di negara-negara yang menerapkan pemisahan, fungsi kebijakan dijalankan oleh kementerian ESDM-nya, sementara fungsi regulasi dan bisnisnya dilaksanakan oleh masing-masing direktorat khusus dan perusahaan migas baik nasional maupun internasional. Ini seperti yang terjadi di Brazil dan Norwegia. Indonesia di atas kertas menerapkan fungsi ini. (Dengan berasusmsi SKK Migas hanya menjalankan fungsi regulasi. Sayangnya, investor banyak mengeluhkan peran SKK Migas yang juga campur tangan terlalu dalam soal bisnis)
Sementara yang menerapkan penggabungan seperti Arab Saudi dan Malaysia dimana pengelolaan fungsi kebijakan dan regulasi dilaksanakan oleh kementerian sementara bisnis diserahkan kepada perusahaan migas nasional dan atau bekerjasama dengan perusahaan migas internasional.
Buku ini juga menjelaskan mekanisme perjanjian migas dengan cukup detil dengan permasalahan-permasalahannya khususnya soal cost recovery. Di samping itu, banyak istilah-istilah dalam perjanjian migas yang membuat beberapa bagian buku terbaca sangat teknis.
Namun, buku ini memiliki cukup banyak ilustrasi tentang konsep yang di jelaskan penulis sehingga terasa sangat memudahkan pembaca yang kurang paham tentang detil industri migas menjadi mudah memahaminya.
Satu catatan juga, buku ini ditulis pada 2012 dimana SKK Migas belum terbentuk. Karena itu buku ini tentu perlu direvisi dan ditambah untuk membuat informasinya lebih lengkap. Apalagi, SKK Migas saat ini menjadi salah satu pusat ‘masalah’ dalam industri ini.
Jika ingin mempelajari aspek ekonomi dari industri migas, buku ini dapat menjadi salah satu referensi utama. Selain membahas tentang banyak mekanisme sistem kontrak migas, buku ini juga cukup dalam membahas isu cost recovery dan isu-isu terkini tentang arah perkembangan industri migas baik dalam dan luar negeri. (*)