Tantangan industri jasa di Indonesia selama COVID-19

Pengemudi ojek daring menunggu orderan di kawasan Tanah Kusir, Jakarta, Selasa (7/4/2020). Berlakunya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah DKI Jakarta mulai 7 April 2020, pemerintah melarang transportasi daring khususnya sepeda motor untuk mengangkut penumpang.(ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI)

Adrian A Wijanarko

Paramadina Public Policy Review – 19 Juni 2020

 

Peraturan Gubernur Jakarta nomor 33 tahun 2020 tentang pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta. Ini sedikit banyak menjadi sinyal babak baru era pemberantasan COVID-19 di Tanah Air sebab pusat ekonomi negeri ini memang masih di Jakarta.

Disahkan pada 9 April 2020 lalu, aturan tersebut mengatur tentang pembatasan aktivitas sosial yang cukup luas di masyarakat.

Menurut Pasal 5 Ayat 4 dari Pergub ini, pembatasan tesebut termasuk pelaksanaan pembelajaran di sekolah dan/atau institusi pendidikan lainnya, aktivitas bekerja di tempat kerja, kegiatan keagamaan di rumah ibadah, kegiatan di tempat atau fasilitas umum, kegiatan sosial dan budaya dan pergerakan orang dan barang menggunakan moda transportasi.

Pembatasan tersebut pada dasarnya memiliki maksud baik. Kesehatan dan nilai nyawa warga negara Indonesia menjadi prioritas, mengingat COVID-19 memiliki tingkat penyebaran yang tinggi. Namun peraturan PSBB jelas memiliki dampak yang besar dan langsung terhadap ekonomi Indonesia.

Menelaah komponen ekonomi Indonesia

Sebelum membahas langsung tentang dampak COVID-19 terhadap ekonomi, kita perlu mengetahui komposisi dari gerak ekonomi Indonesia khususnya dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia. PDB menggambarkan total pembelanjaan nasional seluruh komponen, public dan swasta, dari suatu negara dalam kurung waktu, umumnya satu tahun.

Dari PDB ini, akan terlihat industri apa saja yang memiliki tingkat kontribusi terhadap pendapatan negara. Menurut laporan Badan Pusat Statistik, kategori industri lainya (umunya merujuk pada insdustri jasa) masih mendominasi tingat pendapatan negara dengan rata-rata presentse 42,87% (tahun 2015-2018).

Sementara, industri pengolahan hanya menyumbang rata-rata sebesar 20,38% (tahun 2015-2018), industri pertanian 13,38% (tahun 2015-2018), industri perdagangan dan reparasi 13,13 (tahun 2015-2018) dan industri konstruksi 10,37%.

Artinya, komposisi industri di Indonesia masih didominiasi oleh sektor yang diluar dari industri pengolahan, pertanian, perdangangan dan reparasi serta industi konstruksi. Tidak lain, pendorong ekonomi terbesar di Indonesia adalah dari sekor jasa.

Sektor Jasa

Konstribusi sektor jasa pada PDB di Indonesia disumbangkan oleh industri ritel, industri transportasi, industri media, industri telekomunikasi (ICT), industri keuangan, industri perhotelan dan industri pariwisata. Jumlah karyawan yang dipekerjakan pada bulan Febuari 2015 dalam sektor tersebut 54.9 juta.

Pada tahun 2016 saja Information and communications technology (ICT) tumbuh sebesar 17% dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan industri ICT telihat dari perkembangan ojek daring, food delivery dan marketplace yang ada di pasar. Selain itu hospitality industry, seperti akomodasi hotel tumbuh sebesar 4,5% pada tahun 2016 dari tahun sebelumnya.

Walaupun jumlah kontribusi sektor jasa pada PDB Indonesia cukup tinggi, namun penyerapan tenaga kerja yang memiliki skill kemampuan tinggi masih sangat rendah. Menurut Mantan Menteri Perdangangan, Mari Elka Pangestu, industri jasa di Indonesia masih didominasi oleh tenaga kerja informal yang memiliki skill kemampuan yang rendah.

Industri Jasa pada masa PSBB

Pembatasan fisik yang diatur oleh pemerintah memiliki dampak langsung terhadap industri Jasa di Indonesia mengingat bahwa industri ini labor intensive. Artinya kontribusi tenaga manusia beserta pikiran, gerak, dan interaksinya sangat penting bagi sektor ini. Karenanya, pembatasan social sangat berpengaruh terhadap perpindahan jasa itu sendiri.

Menurut ahli pemasaran Philip Kotler, karakteristik jasa adalah kegiatan, manfaat atau performance yang ditawarkan satu pihak kepada pihak lain yang bersifat intangible serta tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan apapun yang mana dalam produksinya terikat maupun tidak dengan produk fisik.

Perpindahan jasa yang tidak tergantung pada produk fisik (goods) menyebabkan karateristik jasa mengandalkan penawar jasa untuk kedekatan kontak fisik yang dekat kepada pengguna jasa. Apalagi melihat dari komponen PDB Indonesia, industri transportasi, media, keuangan, perhotelan dan pariwisata menggunakan tingkat interaksi yang tinggi antara penawar jasa dengan pengguna jasa.

Hal ini berbeda dengan industi barang jadi (goods) yang tidak perlu melakukan kontak fisik yang dekat antara penjual dan pembeli. Karakteristik barang jadi yang dapat disimpan dan dikonsumsi kemudian hari menyebabkan kontak fisik antara pembeli dan penjual dapat diatur seperti jasa.

Akhirnya, industri jasa terdampak secara signifikan oleh PSBB tersebut. PSBB yang diatur oleh pemerintah dikhawatirkan akan terus menurunkan tingkan permintaan (demand) dari sektor jasa. Warga Jakarta tidak dapat berlibur di Bali akan berdampak langsung pada tingkat occupancy hotel di Bali. Pembatasan jam operasional ojek daring di Jakarta tentu berdampak langsung oleh penghasilan penyedia ojek daring.

Celakanya, karakteristik pekerja di industri jasa adalah tenaga kerja informal dan skill rendah. Pengurangan penghasilan ojek daring, misalnya, tidak memberikan kesempatan pekerja untuk bekerja dalam sektor industri lain.

Kemampuan skill yang rendah pekerja ojek daring akhirnya memaksa untuk memperketat pengeluaran sehari hari. Hal ini merupakan gambaran besar yang terjadi pada pekerja di sektor industri jasa selama masa PSBB.

Intervensi pemerintah

Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan pemerintah untuk melakukan intervensi untuk menyelamatkan industri jasa pada masa PSBB.

Pendekatan pertama adalah pendekatan langsung ke masyarakat yang terkena dampak PSBB. Bantuan seperti pemberian sembako adalah salah satu cara untuk membantu masyarakat untuk mendapatkan bahan pokok yang tidak bisa didapatkan sekama masa PSBB.

Tentu hal ini tidak akan memberikan solusi secara komprehensif. Pendekatan ini juga memiliki risiko yang tinggi, seperti penyelewengan, dan tidak juga menjadikan masyarakat lebih produktif.

Bantuan kedua adalah pendekatan langsung ke industri jasa itu sendiri. Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) terdapat beberapa tipe pendekatan bantuan pemerintah dalam membantu bisnis.

Bantuan tersebut adalah mempermuda jaminan perusahaan untuk melakukan hutang ke bank, bantuang langsung (funding) kepada industri yang terdampak, dan penanaman dana perusahaan untuk dijadikan investasi kegiatan industri antara pemerintah dan swasta.

Peringanan pajak juga menjadi alternatif yang dapat digunakan kepada swasta. Namun pajak dapat dijalankan apabila perusahaan masih bisa survive selama masa PSBB.

Tentunya kedua cara ini harus digunakan secara bersama sama. Pendekatan langsung kepada masyarakat akan membantu langsung masyarakat yang terdampak selama PSBB. Selain itu pendekatan kepada industri harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan secara makro.

Hal ini juga menjadi perhatian kepada pemerintah dalam industri jasa di Indonesia apabila masa PSBB dan COVID-19 telah berakhir. Karakteristik industri jasa di Indonesia yang beragam membuat pemerintah harus membuat penanganan yang berbeda di setiap industri jasa.

Seperti misalnya penguatan skill kepada karyawan di industri ICT. Sektor ICT yang menjadi kontribusi PDB Indonesia dalam dimasa mendatang, mengingat tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi, harus diperkuat dengan skill sumber daya manusia. Infrastruktur IT juga harus diperkuat.

Pendekatan tersebut tentu tidak one-size-fits-all. Perenungan, analisis dan tawaran kebijakan yang berbeda perlu pemerintah siapkan, misalnya, untuk industri pariwisata, transportasi dan industri yang lain di sektor jasa. (*)