Sebuah catatan tilang elektronik (ETLE) di Jakarta

credit: Kompas.com

Adrian Wijanarko

Paramadina Public Policy Review – 11 Februari 2020

 

Sistem tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) mulai diterapkan di Jakarta. Sistem penidakan hukum ini baru saja diterapkan pada 1 Febuari 2020. Hinggal awal 2020 ini, titik tilang elektronik hanya ada pada 26 titik di ruas kota besar saja. Hal ini tentu perlu diapresiasi. Walaupun ada beberapa catatan yang perlu menjadi bahan evaluasi Polda Metro Jaya.

Benarkah mengurangi birokrasi?

Salah satu pelayanan publik ETLE ini diklaim oleh Polda Metro Jaya memiliki proses yang cepat. Pelanggaran yang direkam oleh kamera, diolah oleh tim petugas yang berwenang. Setelah data diklarifikasi, surat tilang akan dikiriman ke pelanggar kendaraan bermotor. Pelanggar langsung membayarkan denda ke bank yang ditunjuk.

Proses ini tentu dapat mengurangi birokrasi yang sudah dikenal sangat panjang. Birokrasi yang panjang akhirnya berpotensi terhadap potensi korupsi yang dapat muncul. Dengan memotong birokrasi yang panjang, tentu langkah ini merupakan kemajuan yang diterapkan oleh Polda Metro Jaya.

Upaya pemberantasan korupsi tidak hanya dapat dinilai dari langkah korektif saja yaitu menghukum tersangka dengan jeratan hukum. Akan tetapi, tindakan preventif dengan pencegahan potensi pelanggaran hukum yang dapat berakibat kerugian negara sama pentingnya untuk dilaksanakan. Perlu adanya pola manajemen yang baik, khususnya pada bidang pelayanan publik dimana masyarakat berkaitan erat dengan pemerintah dalam melaksanakan pelayanan umum.

Petty Corruption

Pada umumnya, praktik korupsi yang terjadi di lembaga pelayanan publik adalah korupsi kecil. Bentuk perilaku korupsi kecil atau juga petty corruption dalam pelayanan publik memang tidak sebesar korupsi besar dan tidak juga masuk media masa seperti Operasi Tangkap Tangan KPK pada umumnya. Namun korupsi kecil dapat berdampak terhadap nilai integritas penyelenggaraan pelayanan publik.

Menurut Wijayanto (2009) korupsi kecil dapat menghasilkan 3 efek yang berdampak dasyat. Pertama adalah karena sering dilakukan jika diakumulasi kerugian negara bisa berdampak besar. Kedua adalah apabila tidak ditangani, maka masyarakat akan menganggap korupsi menjadi keseharian mereka dan menciptakan budaya permisif dan toleran terhadap korupsi. Dan terakhir adalah dengan mentolerir korupsi kecil maka akan menciptakan probabilitas untuk melakukan penelitian besar dikemudian hari.

Celakanya kegiatan petty corruption dalam pelayanan publik masih dianggap sebagai kegiatan yang wajar oleh masyarakat. Pula, inisiatif untuk melakukan korupsi datang baik dari masyarakat atatupun okmum pelayanan publik. Anggapan bahwa terdapat perbedaan pelayanan oleh petugas pelayanan apabila terdapat tips atau imbalan masih tertanam dalam benak masyarakat. Selain itu motif seperti apabila tidak diberikan biaya tambahan membuat petugas mempersulit pengurusan pelayanan masih terjadi pada sistem pelayanan publik.

Oleh karena itu, proses penyingkatan birokrasi sangat perlu dilakukan. Dengan adanya pembaharuan strukturisasi kelembagaan, kegiatan operasional diharapkan dapat lebih maksimal. Selayaknya sebuah pelayanan publik, pembaharuan sebuah organisasi perlu dilaksanakan untuk dapat melayani masyarakat dalam ruang lingkup masing-masing fungsinya. Reformasi birokrasi pada pelayanan publik sejatinya dapat menekan bibit bibit korupsi baik dari oknum petugas maupun masyarakat.

Tidak hanya jargon

Penerapan sistem teknologi dalam cakupan pemerintahan atau juga disebut electronic government (e-government) merupakan langkah yang sesuai untuk memotong birokrasi. Tanpa adanya persetujuan dari ‘banyak meja’, kinerja pelayanan publik dapat membaik. Nahasnya, kegiatan pelaksanaan e-government masih bersifat jargon beberapa instansi saja. Acap kali pelayanan e-government masih belum dirasa maksimal oleh masyarakat. Beberapa ketidaksiapan teknis lembaga, seperti tidak merubah alir operasional sampai dengan ketidak siapan sistim informasi teknologi menjadi batu sandungan dalam pelaksanaan e-government.

Penerapan ETLE saat ini masih sekedar penerapan kamera oleh Polda Metro Jaya. Pengawasaan pelanggaran dari kemera sayangnya masih dianalisis oleh petugas yang berjaga pada command center. Implikasinya dari sistem manajemen hal ini akan menimbulkan dua hal. Pertama adalah bottle neck operation yang muncul. Jumlah titik ETLE yang masih berada di 25 titik mungkin saat ini tidak menjadi masalah. Namun apabila sistem ini dikembangkan di lebih banyak titik, keterbatasan sumber daya manusia akan menjadi halangan dalam penerapan ETLE.

Kedua adalah human error. Penerapan ETLE akhirnya hanya bersifat ‘setengah hati’. Analisis yang dilakukan petugas di command center tentunya tidak lepas dari human error. Masih krusial nya peran petugas dalam ini menjadi catatan bagi Polda Meto Jaya. Oleh karena itu menjadi sangat baik apabila tilang elektronik menjadi sebuah sistem otomatisasi yang lebih menyeluruh dengan meminimalisir peran petugas, dalam hal ini sumber daya manusia, dalam penerapan ETLE.

Kemitraan dalam pelayanan publik

Padahal, dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 25 Pasal 12 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, menjelaskan kerjasama antarpenyelenggara atau kemitraan dapat dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan efesiensi dan efektifitas pelayanan. Penyelenggara pelayanan publik dapat melakukan kerja sama dalam bentuk penyerahan sebagian tugas pelayanan publik kepada pihak lain.

Sebenarnya peran kemitraan bukan merupakan sesuatu yang baru lagi. Peran kerjasama antar lembaga pemerintah dan swasta memberikan nafas efisiensi, pengukuran manajemen risiko, dan memberikan semangat untuk melayani konsumen dalam kelembagaan pemerintah yang kaku. Sumber daya yang terbatas dalam pelayanan publik dapat diimbangi oleh peran swasta sehingga dapat memberikan energi ‘costumer orientation’.

Di Inggris Raya, contoh kerjasama kemitraan pemerintah dan swasta diterapkan di banyak sektor mulai dari pelayanan rumah sakit, sekolah, membangun jalan sampai dengan mengelola narapidana dalam penjara (Metcalfe & Lapenta, 2012).

Diharapkan dengan melakukan peran kerjasama kemitraan, kualitas pelayana publik ETLE dapat semakin meningkat. Pengambil kebijakan, khususnya di dalam tubuh POLRI perlu mempertimbangkan potensi dan manfaat dari ide kemitraan ini. Harapannya, penyakit budaya ‘mewajarkan korupsi’ dapat ditiadakan. Dengan berawal dari yang kecil, masyarakat diajak untuk berperilaku jujur dan berintegritas.

Adrian Wijanarko adalah dosen Jurusan Manajemen Universitas Paramadina dan juga research fellow di Paramadina Public Policy Institute

photo credit: Kompas.com