22 Februari 2020
Hingga saat ini gejolak akan diterapkannya kebijakan-kebijakan ‘Mas’ Menteri tentang Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka telah ‘menyibukkan’ berbagai kalangan mulai dari orang tua, sekolah, guru, akademisi dan pihak-pihak terkait yang akan melakukan ‘turunan’ dari kebijakan itu.
Beragam saran, usulan, komentar, dan kritikan dari tokoh-tokoh pendidikan di Indonesia terhadap rencana pemberlakuan kebijakan tersebut merupakan kepedulian terhadap arah pendidikan kita.
Mau dibawa ke mana pendidikan kita? Bagaimana cara menuuju arah tersebut? Siapa yang akan menjadi ‘nahkoda’-nya? Bagaimana kesiapan sumber dayanya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul karena hingga saat ini, pendidikan kita masih terus mencari pola atau bentuk untuk dapat menemukan yang sesuai dengan kondisi di tanah air.
Hingga usia negeri ini menjelang 75 tahun, masih banyak yang perlu dibenahi. Salah satu hal yang hingga saat ini terjadi di Indonesia, kita masih melihat dari kaca mata negara lain dalam pengelolaan pendidikan dan belum dapat mencoba untuk menggali lebih dalam pola dan bentuk yang sesungguhnya ada di depan kita.
Pendidikan di Indonesia adalah pendidikan yang multikultural. Tidak bisa disamakan dengan pendidikan di negara seperti Finlandia, Singapura, USA atau negara-negara lain yang terlihat lebih dan lebih dalam banyak hal terutama pendidikan.
Padahal sesungguhnya mereklah yang harus belajar dari Indonesia yang multikultural dan memiliki variasi dalam berbagai bidang. Saat ini Indonesia, berdasarkan Programme For International Assessment (PISA), ada di peringkat 72 dari 77 negara. Memang jauh tertinggal dari negara-negara seperti Malaysia dan Brunei.
Setidaknya data tersebut menjadi tantangan buat pemerintah dan kita semua. Apakah pendidikan kita akan terus menerus mengejar ranking tanpa menelisik lebih dalam apa yang sesungguhnya dibutuhkan dan diperlukan dalam pelaksanaannya?
Subjek pendidikan (pendidik dan peserta didik) ‘terpontal-pontal’ untuk mengejar demi ranking personal, ranking sekolah, ranking kota, rangking provinsi, hingga negara. Kita semua disibukkan dengan pencarian dan pencapaian peringkat sehingga terkadang melupakan apa yang sesungguhnya diperlukan oleh pendidik dan peserta didik.
Arogansi dari berbagai pihak telah menjadikan arah pendidikan membuat peserta didik, guru, sekolah dan orang tua berpacu untuk mencapai kepentingannya sendiri-sendiri. Di sinilah perlunya peran sentral pendidik yang sesungguhnya, bukan hanya mematuhi dan bertindak sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang ada.
Pengaruh Besar
Berkembangnya ilmu dan teknologi memang akan mengubah proses dalam pelaksanaan pendidikan. Namun, pendidik dan guru tetaplah menjadi sentral dalam memberikan arah pembelajaran dan pendidikan.
Pendidik memiliki pengaruh besar dalam membentuk karakteristik peserta didik. Kesiapan pemerintah untuk dapat memiliki pendidik yang mumpuni perlu diawali dengan siapa sosok yang akan menjalankan tugas membimbing peserta didik di sekolah? Bagaimana perekrutan untuk menjadi pendidik yang dapat memahami dan mampu menjalankan arah pendidikan ke depannya? Bagaimana pola pendidikan bagi pendidik itu sendiri? Apakah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) telah mempersiapkan calon-calon pendidiknya?
Dalam UU No 14/2005 tentang Guru aan Dosen disebutkan pada pasal 1 ayat 14, LPTK adalah perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga pendidikan (guru) dan tenaga kependidikan yang diberi tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menegah serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan non-kependidikan.
Dari hasil penelitian Paramadina Public Policy Institute (2017) menunjukkan kurangnya motivasi mahasiswa menempuh pendidikan keguruan di LPTK PGSD. Mahasiswa calon pendidian bukan berasal dari top students dan bukan sebagai pilihan utama yang benar-benar ingin menjadi seorang pendidik.
Temuan lain adalah bentuk tes masuk menjadi mahasiswa LPTK tidak ada standar khusus yang mempertimbangkan ciri-ciri dan karakter tertentu dari calon guru. Tes masuk atau penerimaan masih menyamaratakan semua jurusan pada umumnya.
Kedepannya untuk menghasilkan pendidikan yang berkualitas, LPTK tidak hanya perlu memperbaiki proses input dengan melakukan seleksi ketat bagi calon mahasiswanya namun perlu mengutamakan syarat dosen LPTK yang memiliki karakter keahlian, kompetensi sehingga dapat menghasilkan SDM, pendidik yang unggul.
Terkait hal tersebut ‘pekerjaan rumah’ pendidikan kita perlu secara terus menerus dievaluasi mulai dari ‘hulu’ hingga ke ‘hilir’ untuk kebaikan di masa mendatang.
Tantangan bahwa untuk melalukan inovasi perubahan dalam pendidikan, tidak semudah menekan tombol apps dan semua langsung jadi dan tersedia.
Namun diperlukan kerja keras dan kerja Bersama dengan berbagai pihak karena yang dihadapi adalah manusia yang meiliki karakter yang unik dengan segala kelebihan dan kekurangan. Peringkat akan mengikuti bila peran pendidik sebagai sentral dalam pendidikan telah berjalan sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya dan sesuai dengan arah pendidikan yang akan dituju. (*)
Fatchiah E. Kertamuda adalah Dosen Psikologi dan Wakil Rektor Universitas Paramadina Jakarta
Artikel ini pertama kali terbit di Harian Bisnis Indonesia edisi 22 Februari 2020.