Mengulas Dialektika Gagasan dan Perjalanan Hidup Gus Yahya Lewat Buku Biografi

Bedah buku biografi Gus Yahya dengan judul ‘Biografi KH. Yahya Cholil Staquf: Derap Langkah dan Gagasan yang ditulis oleh Septa Dinata berlangsung di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas Paramadina Jakarta pada, Minggu (19/12/2021). Tribunnews.com

PPPI News, Tribunnews 20 Desember 2021

 

Bedah buku biografi calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya dengan judul ‘Biografi KH. Yahya Cholil Staquf: Derap Langkah dan Gagasan’ yang ditulis oleh Septa Dinata berlangsung di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas Paramadina Jakarta pada, Minggu (19/12/2021).

Buku itu dibedah oleh empat narasumber, yakni Septa Dinata selaku penulis, Pengamat NU sekaligus Sosiolog Dr. La Ode Ida, Ahli Pemikir Islam Dr. M. Subhi Ibrahim dan Pengamat Politik Dr. Muhammad Qodari.

Buku tersebut mengupas soal perjalanan Gus Yahya sejak masih kecil hingga gagasan-gagasan untuk memajukan organisasi NU lebih maju dan modern.

Dalam setiap lembar halamannya, para pembaca akan menemukan banyak sekali pembahasan menarik yang tidak hanya terpaku pada satu tema stagnan.

Beragamnya tema yang dibahas, tentu saja berporos pada satu titik temu, yaitu seluk beluk kehidupan KH Yahya Cholil Staquf dan hal-hal yang mengiringinya.

Sebagai penulis buku tersebut, Septa Dinata mengakui tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang lebih akrab disapa Gus Yahya ini, menarik untuk diikuti perjalanan hidup dan intelektualnya.

Sebab pada dirinya, tersimpan pola pikir yang progresif, yang kerap kali sukar dimengerti oleh mayoritas individu, walau sejatinya ide yang dibawa relevan dengan semangat dan tantangan zaman yang ada.

Dalam buku tersebut dijelaskan sosok Gus Yahya merupakan pewaris dari seorang ulama besar. Nama ayahnya adalah KH Cholil Bisri, anak dari KH Bisri Mustafa (kakek Gus Yahya). KH Bisri Mustafa adalah founder dari pesantren Raudlatut Thalibin, salah satu pondok pesantren NU yang begitu dihormati hingga kini.

Fakta ini menunjukkan kepada kita bahwa Gus Yahya lahir dari keluarga yang tak abai terhadap ilmu pengetahuan. Utamanya yang menyangkut nilai-nilai Islam.

“Gus Yahya tumbuh dan besar dalam lingkungan pesantren. Selain ayahnya dikenal sebagai ulama besar, ia juga sangat diuntungkan dengan sosok lain dalam keluarganya yaitu kakeknya, KH. Bisri Mustofa dan pamannya, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) yang turut serta membentuk dirinya. Dalam diri Gus Yahya mengalir darah ulama-ulama besar,” ujar Septa, Minggu (19/12/2021).

Menurut Sapta, menariknya dari Gus Yahya selain lahir sejak kecil bahkan sejak dalam kandungan sudah hidup dalam tradisi pesantren, juga kemudian belajar di sekolah umum, di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta di jurusan sosiologi.

“Ini saya kira menjadi kelebihan tersendiri dari Gus Yahya, Kalau bicara secara sosiologis, interaksi secara struktur dan aktor ini, nah inilah yang mempertajam dan membentuk sosok yang kita kenal sebagai Gus Yahya,” ucapnya.

Septa menambahkan ada hal yang unik hubungan antara Gus Yahya dengan ayahnya, sebagaimana kebiasaan yang ada dilingkungan pesantren di mana hubungan antara kiai dan anaknya sangat kaku.

Hal itu juga yang dialami Gus Yahya sewaktu menempuh Pendidikan di perguruan tinggi di UGM Yogyakarta ia tidak begitu akrab atau tidak terlalu dekat dengan ayahnya. Gus Yahya mengaku lebih dekat dengan pamannya yaitu Gus Mus.

Namun, berkat dorongan dari Gus Mus juga, Gus Yahya dapat kembali menjadi akrab bersama ayahnya.

“Gus Mus mengisahkan kepada Gus Yahya bahwa ayah Gus Yahya, kakak dari Gus Mus Kiai Cholil juga memiliki hubungan yang kaku dengan ayahnya, Kiai Bisri. Ketika kiai Bisri wafat, Kiai Cholil adalah yang paling syok di antara anak-anak yang lain,” ujar Septa.

Oleh sebab itu sejak mendengar kisah tersebut dari Gus Mus, Gus Yahya memberanikan diri untuk berinteraksi dengan ayahnya hingga akhirnya menjadi baik dan menjadi akrab.

Gus Mus, kata Septa, juga berperan penting dalam menghubungkan Gus Yahya dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Berkat interaksinya dengan Gus Dur baik secara formal saat menjadi juru bicara Kepresidenan di era Presiden Gus Dur maupun sebelumnya, telah memberikan kontribusi pemikiran yang cukup luas dan matang.

“Kalau kita lihat peran beliau (Gus Yahya) di dunia internasional itu juga banyak peran dari pamannya (Gus Mus) yang banyak memberikan ruang itu, dan juga berjasa besar dalam menghubungkan beliau dengan Gus Dur dan belakangan intensitas beliau berinteraksi dengan Gus Dur, di sini sebetulnya ada fase penting dalam kehidupan Gus Yahya di mana ada intensitas interaksi beliau dengan Gus Dur ini yang menghasilkan apa yang kita kenal apa yang kita lihat dalam sosok Gus Yahya,” katanya.

Di sisi lain, Septa menerangkan alasannya menulis biografi seorang Gus Yahya karena kakak kandung dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas itu merupakan sosok yang menarik sebagai penerus pemikiran Gus Dur.

“Gus Dur pernah berkunjung ke Israel dan beliau (Gus Yahya) adalah orang kedua setelah Gus Dur ini bukan sembarang orang yang berkunjung Israel ini. Sempat saya juga membaca makalah beliau saat beliau melakukan presentasi di Kuala Lumpur di Islamic Liberty Forum saya kira sosok seperti ini kosong di NU dan beliau bisa mengisi kekosongan itu,” ucapnya.

Lanjut Septa, melihat pemikiran-pemikiran Gus Yahya dari beberapa buku yang ditulisnya, memiliki pisau analisis yang luar biasa tajam.

“Analisis sosiologisnya ini sangat kuat, beliau ini kalau dalam tradisi sosiologi ini bisa dibilang sangat Weberian, jadi beliau sangat percaya bahwa realitas sosial itu tidak hanya dibentuk oleh pikiran, bukan hanya normatifitas pikiran saja, bukan hanya filsafat saja, tetapi dibentuk oleh kompleksitas kenyataan yang ada di situ bahkan dorongan-dorongan yang membuat seseorang melakukan sesuatu itu lebih banyak faktor-faktor yang bersifat materiil dibandingkan dengan imateriil,” ujarnya.

Selain itu, pemikiran Gus Yahya sangat luas dalam melihat tatanan global ini dan tantangan jaman ke depan serta memberikan sumbangsih atas permasalahan dan tantangan yang dihadapi.

“Secara gagasan sebetulnya yang menarik dari Gus Yahya ini adalah kemampuan beliau dalam meneropong dalam melihat perubahan global tatanan global ini, ada kesadaran penting di situ kalau kita ingin bicara apa yang perlu dilakukan oleh NU lebih besarnya umat Islam atau Bangsa Indonesia dan lebih besarnya lagi komunitas global,” ulasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menilai kehadiran Gus Yahya di bursa pencalonan Ketua Umum PBNU sangat tepat, di mana dia bisa memberikan warna baru bagi NU dalam menyelesaikan masalah dengan konektivitasnya, serta bisa memodernisasi organisasi Islam ini ke depan.

“Nah itu juga membuat dia bisa lebih berkomunikasi dengan berbagai macam kelompok yang berbeda. Kalau nanti Gus Yahya jadi ketua Tanfidz PBNU, saya lihat yang akan dilakukan oleh Gus Yahya ini pertama-tama tentu bagaimana bisa membuat organisasi NU ini menjadi lebih modern, sistematis lebih maju dibanding dengan sebelumnya,” kata Qodari dalam bedah buku.

Selain itu, kata Qodari, dalam buku biografi ini, Gus Yahya menerangkan bahwa dalam agama harus beradaptasi karena perjalanan hidup manusia itu akan selalu mengalami perubahan zaman, hingga adaptasi itu sangat penting bagi organisasi NU.

“Gus Yahya itu dalam buku ini mengatakan kita sebagai orang beragama harus melakukan adaptasi. Kenapa, ini yang paling menarik dari buku ini, dia mengatakan bahwa masyarakat itu berubah komposisi, demografi berubah, mobilitas berubah dan norma itu berubah,” ujarnya.

Lebih lanjut Qodari, dalam pikiran Gus Yahya ada pikiran-pikiran Abdurahman Wahid alias Gus Dur hingga kehadiran Gus Yahya sangat dibutuhkan sebagai penghubung antar umat beragama dan antar bangsa.

“Yang kedua mudah-mudahan Gus Yahya itu menjadi the next Gus Dur, apa the next Gus Dur? Orang yang menjadi jembatan kebangsaan, yang mayoritas dan minoritas, Islam dengan Kristen, antar negara di dunia internasional,” ujarnya.

“Memang kita memerlukan figur yang bisa mempertemukan satu kelompok dengan kelompok yang lain pada masa sekarang ini, karena masa di mana politik identitas makin kuat, polarisasi semakin kuat dan orang pun semakin berkomunikasi satu dengan baik, dan saya kira potensi itu ada,” tandasnya. (*)

Artikel ini pertama kali tayang di Tribunnews.com.