Paramadina Public Policy Institute, 15 Januari 2015
Saya pernah menemukan kasus yang cukup menarik ketika memproses seseorang yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena menggunakan uang yang bukan haknya meskipun nilainya relatif tidak signifikan. Teknik yang digunakan untuk mengambil uang adalah dengan melakukan lapping, yaitu menyalahgunakan penerimaan kas untuk sementara waktu atau permanen. Hal ini terjadi karena tidak adanya pemisahan tugas antara penerimaan dan pencatatan piutang pelanggan.
Penyebab kasus tersebut antara lain adalah karena lemahnya pengendalian internal organisasi selain tentu juga ada isu integritas di tingkat individu. Selanjutnya, selang beberapa tahun kemudian, saya juga ditugaskan untuk melakukan audit investigasi di salah satu Bank yang memperoleh Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang antara lain menjadi salah satu penyebab krisis ekonomi tahun 1998.
Apabila dilihat jumlah kerugian negaranya, sangatlah fantastis bahkan dengan nilai uang sekarang. Apabila ditelisik lebih jauh, penyebab dari kasus tersebut juga antara lain adalah lemahnya pengendalian tetapi tidak hanya di tingkat organisasi tetapi juga di tingkat sistem pengawasan perbankan nasional. Selain masalah pengendalian juga ada isu integritas di tingkat organisasi.
Setelah hampir dua puluh tahun berlalu, seringkali pengalaman tersebut sekilas terngiang kembali di dalam pikiran saya. Isu integritas tidak hanya menjadi isu di tingkat individu, tetapi juga di tingkat organisasi, dan juga di tingkat nasional. Orasi ini akan mencoba melihat isu integritas di tingkat organisasi dan di tingkat nasional. Terlebih menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada bulan Desember 2015, Indonesia menghadapi peluang sekaligus tantangan untuk meraih keuntungan dari MEA. Belum ada cerita sukses dari Indonesia terkait dengan MEA (ASEAN, 2014).
Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi tahun 2014 dari Transparency International, Indonesia menduduki peringkat ke-5 di ASEAN di bawah Singapura, Malaysia, Philipina, dan Thailand. Keempat negara tersebut memiliki Gross National Income (GNI) per kapita di atas Indonesia kecuali Philipina untuk tahun 2013. OECD (2014) menyebutkan bahwa terdapat hubungan negatif yang kuat antara persepsi korupsi dengan tingkat produksi yang merupakan bukti pengaruh negatif korupsi terhadap penciptaan nilai (value creation). Sehingga, perlu upaya serta strategi bagi pemerintahan baru untuk memerangi korupsi guna meningkatkan produksi serta mendorong penciptaan nilai bagi perekonomian Indonesia.
ASEAN awalnya dibentuk terutama untuk tujuan politik guna mendukung perdamaian dan stabilitas regional. Dalam perkembangannya, ketegangan regional menurun intensitasnya sehingga ASEAN lebih fokus kepada tujuan ekonomi.
Menurut Worldbank (2014), pada tahun 2013 ekonomi ASEAN memiliki kontribusi 6 (enam) persen terhadap PDB global, yang menjadikan ASEAN blok ekonomi terbesar kelima di dunia setelah NAFTA (20 persen), EU (17%), China (16%), dan India (7%). Indonesia dengan penduduk hampir setengah dari populasi ASEAN dan 40% dari PDB ASEAN merupakan pemangku kepentingan kunci dalam proses yang sedang berlangsung ini.
Salah satu ketakutan dalam menghadapi MEA adalah bahwa Indonesia akan dibanjiri oleh pekerja terampil dari negara ASEAN yang lain. Global Migration Database dalam Worldbank (2014) menyebutkan bahwa tahun 2007 Singapura dan Malaysia menerima lebih banyak pekerja terampil dari Indonesia dibandingkan sebaliknya. Hampir 11.000 pekerja terampil Indonesia pindah ke Singapura dan sekitar 6.500 ke Malaysia, sementara hanya sekitar 100 warga negara Singapura dan kurang dari 400 warga negara Malaysia pergi ke Indonesia. Sehingga tantangan Indonesia adalah justru bagaimana menyerap tenaga kerja terampil dan tidak terampil di Indonesia.
Untuk menyediakan lapangan kerja bagi 126 juta angkatan kerja diperlukan percepatan pertumbuhan ekonomi (Worldbank, 2014). Pemerintahan Indonesia yang baru memiliki target pembangunan yang cukup ambisius seperti pembangunan infrastruktur dan program-program sosial. Perlambatan pertumbuhan dalam negeri, perlambatan ekspor akibat penurunan harga komoditas merupakan tantangan yang harus diselesaikan. Sehingga untuk merealisasikan target-target yang ambisius tersebut pemerintah harus mendorong penerimaan negara yang lebih besar serta membelanjakannya dengan lebih baik. Mendorong penerimaan negara dan membelanjakannya dengan lebih baik memerlukan perubahan mendasar dalam mengelola kehidupan bernegara dan berbangsa.
Widodo (2014) menulis tentang “Revolusi Mental” di dalam harian Kompas sebelum Pemilihan Presiden tahun 2014. Joko Widodo, saat ini Presiden Joko Widodo, menyatakan “Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental”.
Pertanyaan selanjutnya memang dari mana kita mulai. Beliau juga menyampaikan bahwa “Jawabannya dari masing-masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara.” Joko Widodo menyebutkan satu kata kunci yaitu integritas. Apabila dilanjutkan, pertanyaan berikutnya adalah “Bagaimana?”.
Tulisan ini meruakan kutipan pidato Bima P Santosa, Managing Director Paramadina Public Policy Institute pada kegaitan Dies Natalis Universitas Paramadina, 15 Januari 2015 berjudul “Mendorong Integritas Bangsa untuk Memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015”
Tulisan lengkapnya bisa diunduh di sini.
Sumber gambar: Wikipedia