Menakar Ketajaman Strategi Misi Perdamaian RI

Sumber: https://kemlu.go.id/

Ahmad Khoirul Umam

Koran Sindo, Opini, 06 Juli 2022

 

KUNJUNGAN Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia memunculkan harapan baru bagi hadirnya perundingan gencatan senjata dan perdamaian di tengah kecamuk konflik Rusia-Ukraina yang berjalan lebih dari 3 bulan terakhir. Kendati demikian, harapan ideal itu tentu tidak mudah diwujudkan.

Pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan juga Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy, seolah hanya menghadirnya jeda tempur semata. Sebab, pasca rangkaian pertemuan para pemimpin negara tersebut, kecamuk konflik semakin menggila yang ditandai kian intensifnya serangan rudal Rusia yang menyasar sejumlah titik aktivitas warga sipil di Mykolaiv, Odesa, Kremenchuk, dan beberapa kota lain di Ukraina.

Memang, langkah pemerintah Indonesia patut diapresiasi. Kunjungan Presiden Jokowi ke pusat konflik di Ukraina menunjukkan keberaniannya mengambil risiko besar di tengah kecamuk perang yang masih intensif terjadi. Namun segala potensi risiko itu tentu telah diperhitungkan. Informasi rencana kedatangan Presiden Jokowi ke Rusia dan Ukraina yang dipublikasikan terlebih dulu di pertemuan puncak (KTT) G7 di Jerman, dapat dijadikan sebagai early warning system bagi masing-masing armada tempur kedua negara untuk mengatur ulang momentum serangan dan pertahanan.

Early warning system itu bisa bekerja lebih efektif mengingat kehadiran orang nomor wahid di Indonesia ini bukan semata-mata karena alasan relasi bilateral, melainkan karena membawa misi dan amanah Presidensi G20, sebuah klub elite negara-negara berkekuatan ekonomi besar yang menghimpun 80% GDP dunia. Karena itu, keselamatan rombongan Presiden Jokowi menjadi bagian dari prioritas yang mengharuskan mereka melakukan jeda tempur sekaligus mengatur ulang pendekatan operasi militer yang sedang dijalankan.

Pertanyaan selanjutnya, apakah target utama langkah Presiden Jokowi ini ditujukan sebagai upaya kontribusi Indonesia untuk mendorong perdamaian Rusia-Ukraina? Ataukah safari kunjungan ke Jerman, Ukraina dan Rusia ini hanya ditujukan sebagai gimmick politik untuk meningkatkan daya tawar Indonesia guna menyukseskan agenda forum G20 di Bali pada November 2022 mendatang? Tentu kedua tujuan itu tidak bisa dipertentangkan. Karena keduanya menjadi kepentingan kebijakan politik luar negeri Indonesia. Namun demikian, kedua tujuan itu memiliki perbedaan mendasar dalam konteks strategi diplomasi dan kerja-kerja turunannya.

Jika memang tujuan utamanya adalah untuk mendorong perdamaian Rusia-Ukraina, maka strategi diplomasi Indonesia harus tampil dengan argumen-argumen yang lebih substantif, dengan menyasar langsung pokok sengketa dan akar sejarah konflik Rusia-Ukraina, yang terkait ethno-nasionalisme, kalkulasi ekonomi-politik, hingga kalkulasi pertahanan-keamanan. Alternatif argumen yang menjadi substansi diplomasi itulah yang akan mendorong hadirnya dialog inter-subjektivitas di antara aktor-aktor yang berkonflik, sehingga mengubah persepsi, cara pandang, perilaku politik luar negeri masing-masing.

Namun demikian, sejauh ini, substansi argumen yang ditawarkan oleh Presiden Jokowi dalam lawatan ke Kiev dan Moskow itu belum tampak jelas. Justru, penekanan narasi dalam pemberitaan lebih menitikberatkan pada hal-hal trivia, laiknya pakaian yang dikenakan, atau penggunaan meja panjang atau pendek dalam diskusi bilateral.

Bahkan, strategi diplomasi yang semula terasa penting dan menarik, yakni terkait pembangunan ruang dialogis melalui penyampaian titipan pesan dari Presiden Zelensky kepada Presiden Putin untuk mendorong perdamaian kedua negara, belakangan juga diklarifikasi langsung oleh pihak Kremlin maupun Ukraina. Bahkan, jika dicermati lebih mendalam, materi diskusi Presiden Jokowi bersama Presiden Putin saat di Kremlin, lebih banyak membahas materi bilateral, ketimbang membicarakan materi substantif yang mendorong penghentian agresi militer Rusia terhadap Ukraina.

Hal itu dikonfirmasi oleh materi obrolan yang menekankan sejumlah tawaran menarik dari Rusia terhadap Indonesia terkait skema pembangunan energi nuklir dan juga tawaran pembangunan kereta di wilayah Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan Timur.

Karena itulah, belakangan muncul sejumlah pandangan spekulatif yang menilai bahwa strategi diplomasi yang dilakukan Presiden Jokowi saat berkunjung ke Keiv dan Moskow, lebih mirip gimmick politik yang mencari aman (safe player), dengan menyasar target tujuan jangka pendek berupa kelancaran Forum G20, tanpa bersedia masuk lebih dalam ke ranah substansi penyelesaian konflik Rusia-Ukraina itu sendiri.

Memang benar, agenda penyuksesan forum G20 merupakan kepentingan nasional yang penting dan relevan untuk diperjuangkan guna menyelamatkan kredibilitas, reputasi dan marwah Indonesia di mata dunia. Namun demikian, penekanan pada penggunaan gimmick cenderung tidak banyak mengubah peta konflik dan tidak berpengaruh signifikan pada tujuan besar untuk membangun jembatan komunikasi di antara para elite kekuasaan yang sedang bersengketa.

Di level ini, Istana Kepresidenan dan Kementerian Luar Negeri perlu memberikan penjelasan lebih lanjut kepada publik terkait substansi diplomasi yang dijalankan serta hasil pertemuan Kepala Negara dengan Presiden Rusia dan Ukraina, untuk membuka peluang tindak lanjut bagi seluruh stakeholders, baik di tingkat nasional maupun global, untuk ikut terus membangun dan mengokohkan fondasi perdamaian internasional secara berkelanjutan.

Langkah itu penting dilakukan, mengingat dinamika antaraktor di dalam forum G20 saat ini masih cukup tinggi. Hal itu dibuktikan oleh munculnya usulan boikot G20 di Bali oleh Perdana Menteri Australia jika Putin hadir nanti, lalu munculnya aksi walk out di forum Menteri Keuangan negara-negara anggota G20 di Washington DC, hingga statemen Perdana Menteri Italia yang belakangan seolah sengaja mem-blow up statemen Presiden Jokowi terkait ketidakhadiran Putin di forum G20 nanti, merupakan indikator kuat bagaimana internal G20 masih diselimuti ketidakpastian ini.

Karena itu, langkah diplomasi yang telah dilakukan Presiden Jokowi belakangan ini memang patut diapresiasi. Namun, langkah diplomasi itu perlu didorong untuk masuk lebih mendalam ke ranah substansi. Dialog substantif itulah yang akan menggerakkan mesin diplomasi multilateral untuk menyegerakan proses komunikasi, perundingan, serta genjata senjata, bukan di antara Rusia dan Ukraina, melainkan juga negara-negara besar yang berada di belakang dua pelanduk yang sedang berbenturan ini.

Selain itu, ruang dialogis yang lebih menyentuh ranah substantif itu diharapkan juga bisa mengefektifkan mesin multilateralisme untuk menetralisiasi potensi instabilitas keamanan lain, utamanya di kawasan Laut China Selatan, sengketa kedaulatan China-Taiwan, hingga efek perluasan konflik pasca Rusia-Ukraina yang berpotensi menjalar ke Azerbaijan dan sekitarnya.

Dengan mengarusutamakan diplomasi substantif, marwah Indonesia sebagai negara berkembang yang memiliki peran besar dalam upaya penciptaan perdamaian dunia, penghormatan kedaulatan dan integritas wilayah, penyelamatan pasokan pangan dan rantai perdagangan global, akan semakin kokoh dan harum di mata dunia. (*)

Ahmad Khoirul Umam – Managing Director Paramadina Public Policy, Dosen Ilmu Politik & International Studies di Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD), Universitas Paramadina, Jakarta; Doktor Ilmu Politik dari The University of Queensland, Australia

Artikel ini telah diterbitkan di Koran SINDO Rabu, 06 Juli 2022

other public policy updates