Menagih Pertanggungjawaban Korporasi dalam Menekan Hoax News

(Photo credit: Bloomberg)

Adrian A Wijanarko dan Azriel Gusmansyah 

Paramadina Public Policy Review – 24 Maret 2023

 

Sempat tersebar ke telinga kita berita tentang vaksinasi COVID-19 yang berasal dari bahan haram. Sontak, berita tersebut menyebabkan banyak orang yang pada saat itu ragu untuk melakukan vaksinasi. Padahal pada saat itu Indonesia, bahkan Dunia, sedang dalam situasi dimana pandemi yang cukup menghawatirkan.

Pada akhirnya kabar terkait vaksinasi COVID-19 yang mengandung bahan haram tidak dapat dibuktikan. Kabar tersebut merupakan berita bohong saja, atau yang lebih kita kenal dengan hoax news. Pengembangan vaksin yang dilakukan telah disetujui oleh badan pengawasan pada berbagai negara untuk digunakan oleh masyarakat. Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPPOM) juga telah menenerbitkan penggunaan yang menggunakan standar penilaian mutu berlaku secara internasional. Bahkan BPPOM menyatakan bahwa vaksin COVID-19 bebas dari bahan yang berbahaya bari tubuh seperti pengawet, boraks dan formalin (KOMINFO, 2021).

Tidak hanya terkait vaksinasi COVID-19, kita juga tidak asing dengan informasi yang beredar terkait isu negatif terkait kelompok Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) tertentu. Di beberapa daerah, informasi yang tidak berlandasan terkait dengan isu SARA sempat mengakibatkan konflik sosial di masyarakat.

Berita bohong atau yang dilebih dikenal dengan hoax news bukan merupakan hal yang baru lagi kita rasakan. Walaupun hoax news memilikin dampak buruk, namun sepertinya kita ‘kelelahan’ dalam upaya pemberatasan hoax news. Padahal apabila hoax news tidak ditekan akan mengakibatkan konflik baik secara vertikal maupun horizontal di masyarakat.

Berkembangnya hoax news tidak terlepas dari pertukaran informasi yang saat ini sangat cepat. Setiap individu saat ini memiliki akses langsung tidak hanya untuk menerima informasi saja, tapi untuk membagikan informasi ke ranah umum. Perkembangan di era Informasi ini dapat dilihat dari akses publik terhadap informasi semakin mudah.

Ibarat dua sisi mata pisau, era informasi juga diikuti dengan sejumlah manfaat. Informasi yang ada akan menciptakan masyarakat yang sadar atau aware. Informasi yang berbedar memberikan sejumlah pengetahuan yang baru kepada masyarakat. Pengetahuan ini membuat masyarakat sadar atas lingkungan yang terjadi baik dalam skala lokal ataupun internasional.

Selain itu, era informasi menyadarkan kita terhadap keterbukaan dan transparansi. Era Informasi menjadikan masyarakat menjalankan peran dalam konteks demokrasi yakni dengan bentuk pengawasan. Beberapa kasus yang terjadi di dalam negeri ketika masyarakat mendorong pengasawan sampai dengan perubahan. Misalnya adalah masyarakat dalam hal ini mendorong terjadinya transparansi atas kasus yang terjadi pada Ferdy Sambo dan juga bagaimana masyarakat mendorong terjadinya perubahan terhadap internal Kepolisian Republik Indonesia saat ini.

Periode hubungan

Hoax news yang datang seiring dengan tingginya tingkat informasi perlu disikapi secara serius oleh semua pihak. Peran aktif perlu dilakukan pihak pihak yang ada dan diimbangi oleh kesadaran bahwa peredaran hoax news menjadi momok nilai kebangsaan. Oleh karena itu semua pihak, yakni pemerintah, masyarakat dan perusahaan yang menyediakan layanan informasi perlu mengambil peranan secara aktif untuk menyikapi permasalahan ini.

Penelitian (2023) yang dilakukan oleh Paramadina Public Policy Institute (PPPI) yang didukung oleh Centre for International Private Enterprise (CIPE) Lembaga nirlaba asal Amerika Serikat menyebutkan bahwa tingginya berita bohong yang ada di media merupakan andil dari pihak bisnis yang menarik keuntungan dari adanya hoax news tersebut.

Pihak korporasi seperti penyedia layanan informasi seperti perusahaan media ataupun sosial media memanfaatkan berita bohong sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan. Melalui model bisnis saat ini, perusahaan media mendapatkan keuntungan dari iklan yang setiap halaman yang dibuka oleh pembaca. Artinya keuntungan yang didapat kembali bergantung kepada frekuensi pembaca yang mengunjungi platform media tersebut. Permasalahan etika tersebut pada akhirnya menyebabkan kualitas penyajian informasi tidak menjadi diperhatikan oleh pihak bisnis.

Padahal melirik sejarah bisnis, saat ini kita memasuki era relationship atau periode hubungan. Hubungan antara perusahaan dengan seluruh stakeholder, baik konsumen dan maysrakakat tidak dilihat sebagai hubungan satu arah. Artinya pada periode hubungan saat ini, konsumen dan masyarakat tidak hanya bisa dilihat sebagai pihak mengkonsumsi produk atau jasa yang korporasi hasilkan. Pada periode ini, timbul pola kebutuhan yang lebih tinggi karena pada akhirnya bisnis merupakan bagian dari maysarakat itu sendiri. Pemikiran seperti ini yang menjadi dasar pada stakeholder theory yang menjelaskan hubungan antara bisnis dengan semua pihak.

Pada praktiknya, perusahaan penyedia layanan informasi seperti perusahaan media atau sosial media dapat mengambil peran yang lebih aktif untuk menekan berita bohong saat ini. Hal pertama yang tentu perlu dimulai adalah dengan merubah pola dan cara pandang bisnis untuk tidak memikirkan keuntungan jangka pendek saja. Banyak pelajaran kasus yang dapat kita lihat bagimana ketika perusahaan mengambil jalan pintas untuk meraih profitabilitas dan mengorbankan aspek etika dan hubungan dengan masyarakat. Padahal pola hubungan yang dibangun dengan stakeholder juga akan memberikan banyak dampak positif seberti perusahaan sustainability itu sendiri.

Pada akhirnya, kita sebagai masyakakat dapat berperan secara aktif misalnya dengan kegiatan boikot kepada perusahaan yang memang melanggar etika. Dengan tekanan tersebut kita dapat meminta pertanggungjawaban perusahaan penyedia layanan informasi untuk lebih aktif dalam menekan jumlah hoax news yang beredar. (*)

 

Adrian Wijanarko, Kepala Jurusan Manajemen Universitas Paramadina, Director of Research Paramadina Public Policy Institute. adrian.wijanarko@paramadina.ac.id

Azriel Gusmansyah, Persatuan Mahasiswa Indonesia