Mempromosikan kepastian kebijakan, membuka potensi investasi

Wijayanto Samirin

17 April 2015

 

Jutaan penonton dari seluruh dunia termasuk ribuan orang Indonesia rela tidak tidur semalaman untuk menonton sebuah pertandingan sepak bola utama Liga Spanyol di Oktober 2014.

Pertandingan, juga dikenal sebagai El Clasico, adalah pertemuan antara dua tim terbesar La Liga: Real Madrid dan Barcelona. Seperti British Premier League, atau Bundesliga di Jerman, La Liga adalah perusahaan multi-miliar dolar -dengan jutaan pemirsa tertarik menontonnya karena tinggi kualitas sepak bola-nya . Dan salah satu alasan mengapa La Liga menyajikan permainan yang terampil tersebut karena wasit yang tegas menegakkan aturan permainan. Dunia investasi tidak begitu berbeda dan seperti La Liga, Indonesia membutuhkan aturan yang jelas dan adil untuk menarik investasi global dan memungkinkan ekonomi untuk berkembang.

Membuka potensi di Indonesia

Dengan kekuatan sekitar 40% dari populasi, daratan dan kapasitas ekonomi di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan potensi ekonomi yang besar. Tapi sayangnya terdapat perbedaan antara potensi dan realitas. Sebagai contoh, meskipun pertumbuhan investasi dari penanaman modal asing (PMA) selama satu dekade terakhir, PMA di Indonesia hanya 2,6% terhadap PDB, atau setengah dari Vietnam. Investasi di Indonesia menghadapi tiga hambatan utama: ketidakpastian kebijakan, kehandalan infrastruktur dan kualitas sumber daya manusia.

Menumbuhkan modalSDA dan infrastruktur tentunya akan memakan waktu dan akan membutuhkan solusi jangka menengah dan panjang, tapi memperbaiki kebijakan bisa memiliki dampak langsung dan harus menjadi prioritas utama bagi pemerintah sekarang. Bisnis dapat mengendalikan fluktuasi mata uang dan inflasi tinggi melalui lindung nilai mata uang dan membagi dampak kenaikan biaya dengan konsumen.

Namun, perusahaan tidak berdaya dalam menghadapi ketidakpastian kebijakan. Untungnya, memperbaiki kebijakan tidak mahal—yang tidak memberatkan karena karena pemerintah menghadapi situasi fiskal yang menantang—dan akan memberikan solusi pada bidang – bidang lainnya, termasuk infrastruktur dan sumber daya manusia.

Kebijakan yang sulit diterapkan

Banyak masalah dapat menimbulkan ketidakpastian kebijakan. Salah satu yang paling merepotkan di Indonesia adalah sulitnya kebijakan diterapkan, yang dapat memunculkan biaya yang tidak perlu dan membatasi kesempatan bagi sektor swasta untuk memanfaatkan peluang bisnis. Misalnya, Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 82) meminta setiap bisnis di Indonesia yang melakukan transaksi elektronik dan memberikan pelayanan publik harus menyiapkan pusat data lokal-nya di Indonesia. Namun, peraturan ini telah menciptakan kebingungan karena tidak mendefinisikan dengan jelas apa artinya pelayanan publik.

inward fdi

PP 82 mengharuskan setiap penyedia sistem elektronik yang beroperasi di Indonesia harus terdaftar dan memiliki pusat data di negara ini. Persyaratan ini bertujuan untuk membantu pemerintah mencari dan mengontrol data di dalam wilayah kedaulatan Indonesia dan melindunginya dari cyber-crime. Tapi, persyaratan ini tergolong mahal dan sulit bagi perusahaan-perusahaan teknologi informasi dan komunikasi untuk memenuhi persyaratan ini. Selain itu, peraturan ini juga berdampak pada sektor perbankan dan asuransi.

Salah satu isu utama dari PP 82 adalah ketersediaan suplai listrik yang dapat diandalkan, dengan satu-satunya penyedia menjadi perusahaan listrik milik negara Perusahaan Listrik Negara (PLN). Bahkan di Jawa, di mana Ibukota negeri ini berada, listrik padam adalah hal yang umum dan banyak bisnis e-commerce akan enggan untuk mengandalkan PLN sebagai satu-satunya sumber listrik mereka. Ini adalah berita buruk bagi perusahaan teknologi kecil dan menengah yang tidak akan mampu membeli data center mereka sendiri, apalagi solusi lainnya jika terjadi pemadaman. Menyewa layanan penyedia pusat data di dalam negeri hanya akan menimbulkan biaya tambahan. Selain itu, komputasi awan sedang semakin diadopsi di seluruh dunia karena efisiensi yang ditawarkannya. Karenanya, PP 82 akan merugikan perusahaan-perusahaan Indonesia.

Untuk menghindari diberlakukannya peraturan yang tidak dirumuskan dengan baik, harus sering dilaksanakan konsultasi antara sektor bisnis dan pemerintah. Idealnya, pemerintah harus melibatkan masyarakat bisnis dalam proses pembuatan kebijakan, dan masyarakat bisnis harus proaktif menciptakan dialog dengan pemerintah. Pada akhirnya, sektor bisnis adalah bagian dari pelaksanaan kebijakan tersebut, dan sehingga masukan dan wawasan mereka penting untuk diperhatikan. Bahkan,  menurut hukum Indonesia, dunia usaha dan masyarakat luas berhak untuk memberikan masukan lisan atau tertulis dalam diskusi dan perumusan rancangan undang-undang dan peraturan.

Bisnis harus mengambil peran yang lebih aktif dalam siklus kebijakan dengan:

• Menetapkan kebijakan agenda-melalui wacana publik atau dialog reguler dengan pembuat kebijakan-untuk memastikan bahwa keprihatinan komunitas bisnis menjadi prioritas pemerintah;
• Berpartisipasi dalam perumusan kebijakan dengan berkolaborasi dengan think-tank atau universitas untuk menyiapkan rekomendasi untuk pemerintah yang berbasis fakta lapangan;
• Meninjau kebijakan untuk memberikan masukan kepada pemerintah tentang potensi perbaikan berdasarkan perubahan industri.

Kepemilikan asing

Kebijakan tentang kepemilikan asing telah menjadi isu berulang pada periode Reformasi, dan sentimen publik terhadap perusahaan asing seperti ayunan bolak-balik dari negatif ke positif.

Politisi sering menggalang dukungan sebelum pemilihan presiden dan legislatif dengan mengekor pada sentimen nasional. Secara berkala, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hampir sepakat atas pembatasan kepemilikan perusahaan asing di berbagai sektor dalam beberapa tahun terakhir. Tapi terlepas dari ancaman ini, Indonesia sebenarnya relatif lebih terbuka dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasannya. Idealnya, batas kepemilikan asing akan perlu dijaga pada tingkat yang membuat investasi di Indonesia tetap menarik bagi perusahaan asing. Penyesuaian kebijakan harus dikelola dan dilaksanakan dengan baik, di bawah praktek bisnis yang adil dan dalam jangka waktu yang realistis, untuk menghindari hambatan investasi.

foreign ownership

Peraturan

Kurangnya harmoni dalam lanskap peraturan di Indonesia telah menjadi isu serius sejak ledakan arus desentralisasi pada tahun 2001. Dalam satu tahun lebih dari 500 pemerintah daerah menjadi otonom dengan kewenangan untuk mengumpulkan pendapatan, merumuskan anggaran, melaksanakan rencana pembangunan dan menjalankan peraturannya sendiri. Namun masalah muncul sebagai peraturan nasional dan sub-nasional (daerah) saling berkonflik, dimana peraturan daerah yang sering kurang koheren.

Studi baru Paramadina Public Policy Institute yang berjudul “Jalan Baru Indonesia: Mempromosikan Investasi, Pemeliharaan Kesejahteraan”,  menggambarkan bagaimana perusahaan yang beroperasi di seluruh Indonesia harus mematuhi peraturan daerah yang berbeda-beda antar-ratusan kabupaten. Kompleksitas dan biayanya tentu sangat besar.

Kendala lain untuk peluang investasi adalah pembangunan infrastruktur nasional. Setiap kabupaten memiliki peraturan pemerintah daerah sendiri mengenai perencanaan penggunaan lahan (RUTR) yang mungkin tidak sejalan dengan rencana pembangunan nasional. Ketika pemerintah pusat telah berusaha untuk mengimplementasikan proyek infrastruktur, seperti pembangkit listrik, pelabuhan atau jalan tol, rencana tersebut sering bertentangan dengan RUTR lokal. Sayangnya, penyesuaian RUTR membutuhkan persetujuan dari legislatif daerah. Ini melibatkan proses politik yang seringkali panjang, rumit dan mahal. MP3EI, Program mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, telah mengalami penundaan serius yang banyak disebabkan masalah RUTR.

Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) memiliki kewenangan untuk meninjau setiap peraturan pemerintah daerah. Namun, Kemdagri memiliki kapasitas terbatas untuk meninjau peraturan daerah yang menggunung. Diperkirakan bahwa setiap tahun sekitar 5.000 peraturan daerah yang dikeluarkan. Selain itu, terdapat peraturan bahwa peraturan daerah otomatis menjadi efektif jika tidak ada komentar dari Kemdagri dalam waktu 60 hari. Ini berarti bahwa banyak peraturan daerah menjadi hukum tanpa tinjauan dengan tepat dan akibatnya mungkin tidak harmonis satu satu sama lain, menciptakan kompleksitas dan biaya yang tidak perlu, serta ketidakpastian usaha. Mengoptimalkan kinerja Kemdagri harus menjadi prioritas utama pemerintah.

Lima tahun ke depan

Pemerintahan Presiden Joko Widodo harus mengendalikan ekonomi yang gontai karena penurunan harga komoditas global. Komoditas dan produk-produk yang berhubungan dengan komoditas mewakili sekitar 40% dari ekspor Indonesia dan memainkan peran  penting dalam perekonomian domestik; sebagai hasil pertumbuhan ekonomi telah melambat dari 6,4% pada tahun 2011 menjadi sekitar 5% pada 2014. Pemerintah menargetkan pertumbuhan 5,8% pada tahun 2015 dan 7% atau lebih tinggi pada 2019. Untuk mencapai target ini akan menjadi sebuah tantangan, dan Paramadina Public Policy Institute memperkirakan bahwa akan membutuhkan investasi sekitar 290 milyar dolar. Tanpa kontribusi sektor swasta yang besar, ini tidak akan tercapai.

Untungnya, pemerintah menyadari situasi ini dan menunjukkan komitmennya untuk memperbaiki lingkungan usaha di Indonesia dengan memangkas jalur birokrasi, meningkatkan infrastruktur dan menyederhanakan proses persetujuan bisnis. Hal ini sangat mungkin terwujud sebab selama tahun pertama masa jabatannya mereka membuat berbagai reformasi kebijakan strategis untuk mengambil keuntungan dari modal politik yang kuat Jokowi. Kenaikan harga BBM telah membuktikan kemauannya untuk menerapkan kebijakan yang tidak populer tetapi penting bagi negara.

Momen yang baik menciptakan membuat kebijakan yang buruk dan momen yang buruk menghasilkan kebijakan yang baik—dan sekarang Indonesia memiliki kombinasi situasi sempurna. Saya mengantisipasi daftar panjang reformasi kebijakan selama lima tahun ke depan, terutama di bidang-bidang prioritas seperti energi dan ketahanan pangan, perpajakan dan investasi.

Sekarang Indonesia harus membuat beberapa keputusan sulit, dan lima tahun ke depan adalah periode menciptakan atau menghancurkan. Reformasi kebijakan akan menjadi kunci untuk memastikan standar aturan untuk menciptakan iklim bisnis di Indonesia yang adil dan menguntungkan. Ekonomi-ekonomi Timur Tengah seperti dari Uni Emirat Arab dan Qatar jauh lebih giat dari negara-negara lain di kawasannya karena mereka telah mengamati pelajaran ini. Tanda-tanda awal yang bahwa pemerintahan saat ini juga paham, dan akan berusaha untuk menciptakan lapangan usaha yang adil untuk menarik lebih banyak. (*)

Baca versi Inggrisnya di sini