Indonesiana, 13 Desember 2021
UUD 1945 Pasal 31 ayat 4 mengamanatkan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Oleh karena asosiasi yang kuat antara kata pendidikan dan Kementerian Pendidikan, kebanyakan orang mengira bahwa 20 persen dana APBN yang dialokasikan untuk pendidikan ini didistribusikan kepada Kementerian Pendidikan. Lebih jauh lagi, orang pun mengira bahwa sebagian besar dana tersebut diperuntukkan biaya program-program pendidikan. Memang inilah pengertian yang secara intuitif muncul ketika orang mendengar ‘dana pendidikan 20 persen’.
Pada kenyataannya tidak demikian. Bahkan, dana yang didistribusikan ke Kemendikbud sesungguhnya hanya sebagian kecil dari total dana 20 persen tersebut. Skema distribusi dana pendidikan di negeri ini sangat kompleks dan tidak segera dapat dimengerti. Berapa sesungguhnya dana yang tersedia untuk ‘pendidikan’ anak Indonesia sejak usia dini hingga perguruan tinggi? Ke mana saja dana tersebut didistribusikan? Tepatkah jumlah dan distribusi ini untuk memecahkan persoalan pemerataan akses terhadap pendidikan berkualitas di Indonesia?
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas terutama dengan menggunakan data 2019 sebagai rujukan, karena data ini sebelum gonjang-ganjing pandemi COVID-19. Sehingga data ‘normal’ tersebut lebih merepresentasikan realitas selama beberapa tahun terakhir.
Alokasi dan Distribusi Dana Pendidikan
Pada 2019 sesuai dengan amanat konstitusi, 20 persen dana APBN dialokasikan untuk pendidikan. Besaran nominalnya adalah Rp 492,5 triliun. Dari jumlah ini distribusi paling besar adalah untuk dana Transfer Daerah yaitu sebesar 62.62 persen (Rp 308,38 triliun) dan sisanya dialokasikan ke beberapa kementerian. Kemendikbud mendapat alokasi sebesar 7,31 persen (Rp 35,99 triliun) dan Kemenristekdikti sebesar 8,14 persen (Rp 40,2 triliun).
Perincian lebih lengkapnya sebagai berikut:
Sumber: NPD Kemendikbud 2019 (https://npd.kemdikbud.go.id)
Selanjutnya, dana Transfer Daerah didistribusikan untuk DAK Fisik (Dana Alokasi Khusus Fisik), TPG (Tunjangan Profesi Guru), Tamsil (Tambahan Penghasilan), TKG (Tunjangan Khusus Guru), DAU (Dana Alokasi Umum) untuk Gaji GTK Pegawai Negeri Sipil Daerah, dan Biaya Operasional Sekolah (BOS).
Dari proporsi distribusi dana di atas terlihat bahwa pada 2019 ini dana yang dikelola oleh Kemendikbud jelas tidak dimaksudkan untuk membiayai seluruh biaya pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Jumlahnya terlalu kecil untuk itu.
Demikian pula dana transfer daerah juga bukan satu-satunya sumber. Ada bagian biaya pendidikan yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah daerah sebagai sesama pengelola dan penyelenggara pendidikan (PP 48/2008 Pasal 26[2] dan 27[1]).
Amanat UUD sebagaimana dikutip di awal tulisan ini juga jelas mengharuskan daerah mengalokasikan 20 persen dari APBD mereka untuk pendidikan. Pada kenyataannya banyak daerah yang belum memenuhi kewajiban ini sebagaimana tampak dari Neraca Pendidikan Daerah 2019 di bawah ini (https://npd.kemdikbud.go.id).
Dari gambar di atas, hanya empat provinsi yang melampaui 20 persen dalam Alokasi Anggaran Program Urusan Pendidikan di Luar Transfer Daerah (APBD Murni): Nusa Tenggara Timur (NTT), Kepulauan Riau (Kepri), Sumatera Barat, dan Riau.
Hitungan versi Neraca Pendidikan Daerah 2019 ini sesungguhnya agak misleading karena penghitungannya, sebagaimana jelas dalam rumus di bawah ini, masih memasukkan dana BOS, sementara dana BOS adalah bagian dari dana transfer daerah.
Alokasi Anggaran Program Urusan Pendidikan di Luar Transfer Daerah
Dengan rumus itu peringkat provinsi dalam alokasi Anggaran Urusan Pendidikan tidak menggambarkan berapa sesungguhnya kontribusi provinsi dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah. Peringkat dalam alokasi dana pendidikan versi NPD 2019 ini tidak bisa mengindikasikan kontribusi provinsi. Ambil contoh tiga dari lima provinsi dengan anggaran tertinggi yang dijadikan showcase dalam Neraca Pendidikan Daerah 2019 di bawah ini. Bila kita lihat rincian anggaran masing-masing provinsi akan tampak gambar yang cukup membingungkan.
Alokasi Dana Tiga Provinsi dalam Neraca Pendidikan Daerah 2019
Sumber: NPD 2019
Dari gambar di atas, NTT tampaknya menduduki peringkat tertinggi alokasi dana pendidikan provinsi bukan karena secara nominal kontribusi daerahnya paling besar, tapi justru karena menerima transfer daerah yang besar, terutama dalam bentuk BOS. Kenyataan ini belum mengindikasikan bahwa nilai kontribusi Pemerintah Nusa Tenggara Timur terhadap layanan pendidikan di provinsi kecil.
Untuk mendapatkan gambaran nilai kontribusi provinsi ini kita dapat menggunakan jumlah peserta didik dari PAUD hingga SMA/SMK di provinsi sebagai proxy untuk menghitung berapa alokasi per anak per tahunnya. Tentu ini bukan gambaran yang sempurna karena kita tahu bahwa biaya satuan pendidikan per jenjang bebeda satu dengan yang lain. Namun barangkali cukup untuk memberikan gambaran kasar mengenai nilai layanan pendidikan yang disumbangkan oleh provinsi. Tabel di bawah ini memberikan gambaran tersebut:
Nilai kontribusi provinsi per anak/tahun (Dana Daerah dibagi Jumlah Peserta didik)
(Diolah dari data NPD 2019)
Provinsi | Dana Daerah | Total Peserta Didik | Kontribusi per anak |
NTT | Rp 936,1 miliar | 1.494.954 | Rp 626 |
Sumatera Barat | Rp 998,8 miliar | 1.229.110 | Rp 812 |
Jawa Tengah | Rp 1.470,4 miliar | 6.176.889 | Rp 237 |
Data dari tiga provinsi di atas segera menunjukkan bahwa, selain bervariasi, kontribusi provinsi terhadap penyelenggaraan pendidikan di provinsi sesungguhnya kecil. Mengingat kapasitas fiskal kabupaten/kota secara umum juga terbatas, maka bisa dibayangkan perencanaan pembangunan pendidikan jangka menengah dan panjang di daerah sangatlah terbatas.
Distribusi Dana dan Pemerataan Akses Pendidikan Berkualitas
Ada beberapa insight yang dapat ditarik dari besaran dan distribusi dana yang telah digambarkan di atas. Pertama, meskipun penyelenggaraan pendidikan adalah juga merupakan kewenangan daerah, bila dilihat dari sisi dana, pendidikan di Indonesia sangat tergantung kepada dana dari pusat.
Kedua, dana dari pusat baik dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK fisik maupun non-fisik) atau Dana Alokasi Umum merupakan dana yang peruntukannya relatif sudah terdefinisikan dengan ketat. DAK fisik ditujukan untuk mewujudkan pemenuhan standar sarana dan prasarana belajar pada setiap satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Sementara itu DAK non fisik didistribusikan antara lain dalam TPG (Tunjangan Profesi Guru), Tamsil (Tambahan Penghasilan), TKG (Tunjangan Khusus Guru), dan Biaya Operasional Sekolah (BOS).
Sedangkan DAU peruntukannya lebih spesifik lagi yaitu untuk gaji GTK Pegawai Negeri Sipil Daerah. Di dalam skema DAU dan DAK ini, meskipun dananya besar, tidak ada ruang yang leluasa bagi inisiatif pengembangan dan perencanaan strategis jangka menengah dan Panjang di bidang pendidikan. DAU dan DAK memang bukan untuk itu.
Ketiga, terkait dengan poin kedua di atas, oleh karena dana transfer dari pusat yang sangat restriktif peruntukannya, maka inisiatif-inisiatif strategis dan tidak rutin untuk pemecahan masalah pendidikan atau pengembangan pendidikan di daerah akan sepenuhnya tergantung kepada dana daerah murni.
Melihat besaran dan distribusi dana daerah di atas, tampaknya hal ini masih jauh dari ideal, bahkan bisa dikatakan bermasalah. Dana murni daerah ternyata sangat kecil untuk dapat memberikan dampak yang berarti bagi pembangunan pendidikan daerah.
Keempat, kecilnya dana murni daerah ini kemungkinan disebabkan oleh (1) kapasitas fiskal sejumlah daerah yang rendah, dan (2) dibolehkannya menghitung dana murni daerah ini dengan memasukkan dana BOS di dalamnya untuk memenuhi atau mendekati target 20 persen. Kedua hal ini saling berkaitan. Melihat alokasi dana murni daerah, besar kemungkinan pertimbangannya tidak didasarkan pada kebutuhan pendidikan baik hari ini maupun di masa mendatang (jangka menengah dan panjang) dan dihitung melalui perencanaan yang matang.
Kelima, kondisi di atas menyumbang kepada terus bertahannya persoalan-persoalan serius pendidikan di Indonesia, seperti masih rendahnya APM (Angka Partisipasi Murni) pada jenjang sekolah menengah dan yang sederajat. NPD 2019 mencatat APM nasional sebesar 67.14 (NDP 2019). Artinya ada sekitar 33 persen anak usia SMA yang tidak duduk di bangku sekolah di daerahnya. Sebagian mungkin bersekolah di kabupaten/kota lain atau bahkan ke luar negeri. Namun mereka ini jumlahnya pasti tidak terlalu banyak. Angka ini merupakan angka agregat kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Dengan demikian ada daerah dengan APM lebih rendah atau lebih tinggi dari angka rerata ini. APM ini merupakan kasus klasik ketidakmampuan pemerintah daerah untuk memastikan anak bersekolah sesuai jenjangnya dan bertahan hingga lulus. Tidak melanjutkan atau putus sekolah di tengah jalan menyumbang kepada rendahnya APM.
Keenam, angka ‘harapan lama sekolah’ nasional pada 2018 mencapai 12.91. Artinya negeri ini sesungguhnya mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga lulus SMA. Diperlukan sinergi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah untuk merealisasikan ini. Pemerintah pusat tidak memiliki kapasitas dana maupun span of control untuk mengurus semua persoalan pendidikan di seluruh pelosok negri.
Keberhasilan program apapun yang diinisiasi oleh pemerintah pusat akan sangat tergantung kapasitas dan kehendak daerah untuk berpartisipasi. Selain itu, sesuai dengan semangat otonomi daerah bahwa kewenangan pendidikan ada di daerah, maka kapasitas daerah, baik dari sudat fiskal maupun kapasitas lainnya, untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas secara serius harus dipikirkan bersama.
Hanya dengan demikian amanat negeri ini akan mampu menunaikan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa negara wajib menjamin setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Semoga! (*)
Malik adalah Senior Advisor Paramadina Public Policy Institute
Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Kolom Indonesiana