Totok A Soefijanto
Bayangkan Indonesia pada 2045, saat itu kita merayakan 100 tahun proklamasi kemerdekaan. Seperti perayaan 100 tahun negara-negara maju sebelumnya, kita tentu berharap republik yang kita cintai ini sudah maju. Anak dan cucu kita sudah mapan hidupnya. Segala kesulitan ekonomi, sosial, budaya, hankam, dan politik sirna sudah. Berita heboh kenaikan harga BBM menjadi sejarah.
Segala perbedan suku, agama, ras dan golongan tidak menjadi halangan bagi seluruh warga negara Indonesia untuk mengisi jabatan publik dan swasta. Kita juga tidak lagi melihat laki-laki atau perempuan secara bias untuk menilai kinerja.
Saat kita memperingati Hari Kartini, sebenarnya ada pekerjaan rumah yang belum selesai. Kesetaraan gender sudah merasuk ke benak banyak orang, tetapi pelaksanaan di lapangan masih belum luas. Hingga hari ini, kita bisa merasakan ketidakadilan terhadap pekerja perempuan di segala sektor usaha. Sumber dari ketidakadilan semacam itu sebenarnya dapat dirunut ke sektor pendidikan.
Hampir seluruh pekerja berasal dari pendidikan. Sebab, di sana, mereka mendapatkan ilmu dan keterampilan. Yang menarik, berdasar studi Bappenas dan ACDP (Analytical & Competency Development Partnership), kita baru berhasil memasukkan anak-anak perempuan ke sekolah tetapi belum menjaga agar tetap bersekolah (stay), belajar (learn), dan berprestasi (achive). Bukankah itu yang diharapkan Kartini dalam pikiran-pikirannya?
“Kita harus membuat sejarah. Kita mesti menentukan masa depan yang sesuai dengan keperluan sebagai kaum perempuan dan harus mendapat pendidikan yang cukup seperti kaum laki-laki,” begitu tulis Kartini.
Kegundahan itu terbit kali perama dilontarkan pada 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht: Gedachten Over en Voor Het Javanese Volk (Dari Gelap Menuju Terang: Pikiran Tentang dan Atas Nama Rakyat Jawa). Buku yang mengoleksi surat-surat Kartini itu terbit tujuh tahun setalah wafat pada usia 25 tahun karena komplikasi saat melahirkan. Berkat suara Kartini pula, saat Indonesia merdeka, pemerintah juga menyatakan kesamaan hak bagi laki-laki dan perempuan dalam pendidikan, hak suara dalam politik, dan hak berusaha dalam ekonomi.
Kampiun demokrasi Amerika Serikat saja baru memberikan hak sura buat kaum perempuan lewat amandemen konstitusi ke-19 pada 1920 atau sekitar 145 tahun setelah Negeri Adidaya itu merdeka!
Kita jauh lebih maju dari Amerika dalam hak suara politik, namun tetap saja perempuan belum berperan aktif di politik. Mengisi 20 persen kuota kursi DPRD dan DPR saja sudah sangat terengah-engah.
Dalam studi ACDP dan Bappenas, terungkap bahwa kaum perempuan belum benar-benar beruntung dalam mengenyam pendidikan. Mungkin, pendidikan menjadi pokok pangkalnya sehingga studi yang didukung Kemenang dan Kemendikbud tersebut menyarankan memprioritaskan gender (gender mainstreaming) dalam pendidikan sejak usia dini hingga perguruan tinggi.
Saat ini, potret pendidikan memang masih memperihatinkan. Angka partisipasi pendidikan di level SD mencapai 95,8 persen, namun langsung jatuh ke 67,6 persen di tingkat SMP dan drop ke 45,6 persen di tingkat SMA. Secara nasional, hampir seperti siswa lulusan SD tidak meneruskan ke jenjang berikutnya. Memang terjadi kenaikan 6,87 persen patisipasi pendidikan perempuan di tingkat SMP dan 4,58 persen di tingkat SMA pada 2000-2010. Namun masih kalah daripada kenaikan 8,02 persen partisipasi pendidikan kaum pria di tingkat SMP dan 7,86 persen di level SMA.
Menariknya, angka kenaikan partisipasi pendidikan di tingkat pendidikan tinggi dalam dekade tersebut menunjukkan lebih banyak disumbangkan perempuan (11,12 persen berbanding 10,89 persen untuk pria). Selain itu, studi ACDP menemukan bahwa perempuan lebih sedikit yang drop out dan lebih banyak yang meneruskan ke jenjang berikut bila diberi kesempatan.
Itu adalah kuncinya. Banyak keluarga miskin yang cenderung mengutamakan pria untuk bersekolah. Banyak keluarga tetap ngotot anak laki-lakinya bersekolah meski sebenarnya tidak mampu. Contohnya, siswa laki-laki lebih banyak yang tinggak kelas sehingga menikmati pendidikan lebih lama (rata-rata 8,34 tahun berbanding perempuan 7,5 tahun). Dengan demikian korban kemiskinan terbesar sebenarnya adalah perempuan.
Tentu, ada alasannya jika sesorang tidak bersekolah. Alasannya, antara lain, tidak mempunyai uang, harus bekerja untuk membantu keluarga, tidak lulus tes masuk, jarak sekolah terlalu jauh, sudah cukup bersekolah, maku dan menikah. Masuk akal kalau skema berbagi bantuan seperti beasiswa miskin, Kartu Indonesia Pintar, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan Bidik Misi sangat membantu perempuan meningkatkan derajat pendidikan. Sebab, seluruh alasan putus sekolah itu paling banyak dialami anak-anak perempuan.
Khusus pernikahan dini, pemerintah melalui BKKBN dan kantor desa atau lurah saat ini gencar mempromosikan bahasa pernikaan dini dan mendorong semangat untuk meraih ilmu di usia muda sebelum menikah. Hal itu ironis. Sebab, dulu Ibu Kartini berjuang agar anak gadis tidak meninggalkan sekolah pada usia 12 tahun utnuk siap-siap menikah. Namun, Indonesia yang sebentar lagi merayakan kemerdekaan ke-70 belum bisa mewujudkan mimpi Kartini secara paripurna.
Masih ada 30 tahun sebelum kita merayakan seabad kemerdekaan. Perjuangan tokoh perempuan saat ini masih belum selesai. Kita pernah memiliki presiden perempuan Megawati Sukarnoputri. Amerika Serikat pun baru akan memilikianya (kalau Hillary Clinton menang). Kita juga melihat potensi anak cucu perempuan dalam prestasi akademik tidak kalah dari laki-laki. Bahkan mereka dalam beberapa kesempatan menunjukkan kinerja di dunia kerja yang sangat menjanjikan.
Indonesia akan besar jika mengerahkan seluruh potensinya, terlepas dari suku, agama, ras, golongan, atau jenis kelamin. Selain itu, bangsa yang besar tidak hanya menghargai sejarah, tetapi juga menghargai semangat pahlawannya. (*)
Totok Amin Soefijanto, Doktor Pendidikan dari Boston University dan Peneliti Senior di Paramadina Public Policy Institute (PPPI). Tulisan ini terbit di Harian Jawa Pos, Senin 21 April 2015