Lokomotif Teknologi dalam Realita Indonesia

Mark Zuckerberg membaca pesan yang ditulis Presiden Jokowi di dinding saat berkunjung ke kantor Facebook di Silicon Valley, San Fransisco, Rabu (17/2). Dalam kunjungan itu Jokowi disambut langsung oleh CEO Facebook, Mark Zuckerberg. (Setpres/Biro Pers)

Adrian A Wijanarko

Paramadina Public Policy Review – 16 Maret 2022

 

Presiden Joko Widodo pada satu waktu menyinggung aktivitas yang dilakukan dengan Mark Zuckerberg secara virtual. Presiden sempat menyampaikan bahwa beliau dikagetkan oleh perkembangan metaverse yang dimiliki Facebook dengan dunia virtualnya. Ini tentu bak sebuah hentakan yang membangunkan kita dari tidur lelap kita. Perusahaan-perusahaan teknologi dan inovasi-inovasinya menjelma menjadi lokomotif teknologi dunia. Lantas bagimana kesiapan Bangsa kita dalam gerbong rangkaian lokomotif teknologi dunia ini?

Pemanfaatan teknologi tentu akan menjadikan hidup manusia semakin mudah. Peran teknologi informasi juga tidak kalah hebatnya. Evolusi komputer telah membantu manusia dalam pengambilan keputusan yang memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Tidak salah Presiden Joko Widodo sempat menyingung peran Pekerja Negeri Sipil (PNS) yang akan digantikan oleh Robot.

Walau statement tersebut diartikan sebagai ungkapan hiperbola saja, namun hal itu mungkin saja akan digantikan secara nyata. Apakah itu sebuah mimpi? Kita mungkin perlu berkaca kepada industri otomotif. Di antaranya, bagaimana perusahaan sekelas Ford kalah dengan lini otomasi yang dimiliki oleh Toyota pada tahun 1990-an. Peran tenaga manusia dalam perakitan mobil perlahan semakin digantikan oleh robot. Tentu hal tersebut bisa terjadi juga pada semua industri dan aparatur negara.

Jangankan berbicara metaverse atau robot, Indonesia saat ini jauh tertinggal dalam aspek teknologi. Bukan sebuah ugkapan pesimistis, namun realita ini merupakan bahan evaluasi yang perlu kita perhatikan bersama. Teknologi memerlukan infrastruktur yang kuat untuk dapat berkembang. Istilahnya bagaimana pesawat dapat lepas landas kalau tidak ada landasan pacu?

Infrastuktur teknologi dalam hal ini adalah jaringan internet, sumber daya manusia, investasi sampai dengan kebijakan pemerintah. Sayangnya hal tersebut masih belum berjalan secara optimal.

Seperti sebuah lokomotif kereta api yang menderu bergerak maju, perkembangan teknologi saat ini sudah tidak bisa dibendung lagi. Perusahaan teknologi saat ini berlomba lomba mengembangkan bentuk teknologi yang akan membantu dalam kebutuhan manusia sehari hari. Lantas, bagaimana peran Lembaga institusi negara dalam hal tersebut? Bagaiamana khususnya di Indonesia peran negara dapat menciptakan sebuah prototype teknologi yang bersifat keterbaruan?

Perkembangan teknologi di dalam sebuah negara bukan merupakan sebuah hasil yang instan. Tengok saja Amerika Serikat (AS) dalam mengembangkan Silicon Valley. India juga mengubah kota Bangalore sebagai kota yang identik dengan kota masa depan. Silicon Valley lahir atas sebuah kebijakan pemerintah untuk menciptakan peluang ekonomi melalui pendidikan dan migrasi.

Pada tahun 1960an, Pemerintah AS menghasilkan kebijakan migrasi sehingga memungkinkan orang-orang dari seluruh dunia untuk belajar dan bekerja di Silicom Valley (O’Mara, 2020). Sama juga seperti Bangalore di India. Kebijakan yang dikeluarkan pada tahun 1984 dengan menyediakan penyediaan ekspor perangkat lunak melalui tautan satelit disetujui oleh kabinet Indira Gandhi dan diumumkan oleh pemerintah yang dipimpin oleh Rajiv Gandhi pada 19 November 1984 (PTI, 2009).

Indonesia perlu berkaca kepada AS dan India dalam hal ini. Dua negara tersebut telah mengeluarkan kebijakan yang sudah mereka nikmati hasilnya saat ini. Tentunya kebijakan tersebut harus juga diikuti dengan infrastuktur yang kuat. Perkembangan teknologi tidak akan kuat kalau tidak diikuti oleh sumber daya manusia yang kuat.

Terkahir yang paling krusial untuk dilibatkan adalah budaya inovasi. Budaya invoasi perlu dilibatkan dalam segala bentuk institusi untuk mendorong technological breakthrough. Pola pikir yang bersifat out of the box perlu diinisiasi. Ruang berpikir dan berkreasi perlu diberikan tempat yang lebih besar. Sehingga pada akhirnya akan terbentuk sebuah lompatan teknologi yang bermanfaat bagi Bangsa.

Tentu perubahan budaya ini akan terhalangi oleh pola pola yang bersifat sempit. Pola yang berfikir untuk mewarisi sistim yang sudah ada dan tidak melihat sebuah perubahan adalah sesuatu yang perlu untuk disiapkan mulai dari saat ini juga.

Kabar beberapa waktu lalu mengenai 71 peneliti Lembaga Eijkman yang diberhentikan tentu menjadi berita yang miris. Tentu kesejahteraan peneliti tidak dapat dikorbankan dengan dalih peleburan organisasi. Peran peneliti sebagai garda terdepan sebuah perubahan perlu didukung baik secara kebijakan dan juga tempat untuk berkreasi. Aspek politik perlu dilibatkan dengan mendukung Lembaga Peneliti yang ada, bukan malah menghambat.

Oleh karena itu kita berharap pemerintah perlu mengambil sebuah kebijakan yang menjadi angin segar bagi perkembangan teknologi di Indonesia. Jangan sampai ada peneliti di lembaga lain harus menelan pil pahit atas dasar kebijakan keputusan politis.

Namun, itulah mimpi kita. Sebagai warga negara dan sebagai insan peneliti Indonesia, selalu bermimpi untuk melihat Indonesia menjadi salah satu negara maju di dunia dengan segala kemampuan teknologi yang ada sehingga dapat menjadi pemimpin bagi negara yang lainya. (*)

Adrian Wijanarko, Kepala Jurusan Manajemen Universitas Paramadina, Director of Research Paramadina Public Policy Institute. adrian.wijanarko@paramadina.ac.id