Koran Tempo, Opini, 8 Maret 2022
Pemerintah Indonesia telah mendanai program literasi digital terbesar di republik ini, melampaui apa yang dilakukan oleh komunitas, universitas, maupun perusahaan digital. Bisakah kita mempercayai program literasi ala pemerintah ini?
Indonesia merupakan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dengan nilai diperkirakan US$ 70 miliar pada 2020 dan akan mencapai US$ 330 miliar pada 2030. Namun, seperti banyak negara lain, Indonesia juga didera berita palsu, misinformasi, dan disinformasi. Masalah ini bisa berdampak jauh lebih buruk dengan rendahnya peringkat daya saing digital. Peringkat yang dikeluarkan oleh International Institute for Management Development tersebut mengukur kapasitas dan kesiapan sebuah negara dalam mengadopsi teknologi digital. Pada 2021, peringkat Indonesia berada di posisi ke-53 dari 64 negara.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, sejak 2018 pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika menjalankan program literasi digital nasional yang dikenal dengan nama Siber Kreasi. Saat pertama kali berjalan, program ini menjangkau 125 ribu orang di 350 lokasi (Kominfo, 2019). Saat ini, Siber Kreasi tak hanya berfokus ke program literasi digital, tapi juga program penguatan kapasitas, yang dikenal dengan nama digital talent scholarship. Tahun lalu, program literasi digital menjangkau sekitar 12 juta orang melalui 20 ribu kelas literasi online
Program literasi pemerintah ini merupakan yang terbesar di Tanah Air dibandingkan dengan program yang dilakukan oleh sekolah, universitas, CSO, atau perusahaan teknologi digital. Pada 2021, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate menyatakan keyakinannya bahwa program ini akan menjangkau 50 juta orang pada akhir masa jabatan kedua Presiden Joko Widodo
Program literasi ini berfokus di empat area, yakni keterampilan digital, budaya digital, keamanan digital, dan etika digital. Penanganan misinformasi dan berita palsu masuk area etika dan budaya digital, yang menekankan bagaimana berinteraksi serta bersosialisasi melalui platform digital. Webinar mengenai etika digital menekankan bagaimana menjadi warganet yang beretika dengan topik utamanya adalah bagaimana menjadi warga negara yang baik di Internet.
Menilik topik-topik dalam program literasi tersebut dan saya pernah terlibat langsung sebagai salah satu pemateri, setidaknya ada tiga catatan kritis mengenai Siber Kreasi. Ketiganya menjadi dasar argumen bahwa program literasi ini sebenarnya adalah bentuk intimidasi halus pemerintah kepada para pengkritik dan pembangkang yang sering kali meramaikan percakapan di Internet.
Catatan pertama mengenai isi materi pembelajaran, khususnya pada bidang etika dan budaya digital. Alih-alih menekankan pada aspek berpikir kritis atau pentingnya etika ketika berinteraksi online, topik utamanya menekankan pada peringatan halus kepada masyarakat. Beberapa tema tentang etika digital yang bisa dilihat di situsnya mengangkat pembahasan sebagai berikut: “menjadi masyarakat Pancasila”, “sopan dan beradab di media sosial”, “literasi digital dalam paham wawasan kebangsaan”, “viral tanpa hilang moral”, “perempuan paham etika”, dan “jarimu, harimaumu”. Topik-topik tersebut mengusung narasi yang sama, yaitu menjadi warga negara yang taat dan beradab.
Webinarnya juga sarat dengan sosialisasi dan peringatan terhadap masyarakat tentang Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Narasi untuk menjadi warganet beretika kerap kali berdampingan dengan narasi adanya UU ITE yang dapat menjerat masyarakat sehingga mereka harus berhati-hati agar tidak terkena UU ITE.
Catatan kedua, sebagian besar program berbentuk webinar yang masing-masing menampilkan empat hingga enam pembicara. Format webinar memang cocok jika pemerintah berniat mengumpulkan penonton sebanyak-banyaknya, terutama jika ingin mencapai target 12 juta penonton per tahun. Namun format webinar adalah metode pembelajaran satu arah yang berfokus pada ceramah dan membatasi interaksi antara pembicara dan khalayak. Cara ini tidak cukup untuk merangsang dan mengajarkan bagaimana berpikir kritis, yang merupakan kemampuan utama dalam literasi mengenai hoaks dan berita palsu. Metode ini juga tidak efektif dalam membantu audiens memahami bagaimana menerapkan apa yang disampaikan dalam webinar. Dengan demikian, program literasi ini bukan merupakan program pembelajaran, melainkan sekadar sosialisasi pemerintah.
Jika kita mengamati topik-topik dalam situs Siber Kreasi, isu yang diangkat pada tiap webinar sebenarnya hampir mirip, tapi melibatkan begitu banyak pemateri. Bisa dibayangkan berapa anggaran yang dikeluarkan Kementerian Komunikasi untuk membiayai 20 ribu kelas online pada 2021.
Catatan ketiga, topik webinar sangat menekankan pada aspek manfaat ekonomi media sosial dan platform digital serta cenderung melupakan manfaat aspek sosial, politik, atau psikologis. Di area budaya digital, saya mengamati topik seperti “menjadi influencer”, “mendapatkan uang melalui media sosial”, “membangun brand di media sosial”, atau “pembuat konten yang hit”. Topik-topik seperti itu membingkai media sosial sebagai obat mujarab yang dapat dengan cepat menyelesaikan masalah ekonomi dan mendapat penghasilan tanpa mempertimbangkan faktor lain, seperti algoritma media sosial dan iklan.
Penindakan di Atas Pencegahan
Konsekuensi dari program literasi semacam itu adalah kepercayaan yang tinggi pada lembaga pemerintah untuk menghentikan hoaks dan misinformasi, bukan menekankan pada peran individu atau institusi pendidikan. Survei nasional Status Literasi Digital 2021, yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Katadata Insight, menunjukkan bahwa responden percaya bahwa Kementerian adalah aktor nomor satu yang bertanggung jawab menghentikan penyebaran hoaks (63 persen). Angka tersebut lebih tinggi daripada survei 2020 yang menunjukkan 54,8 persen responden percaya bahwa Kementerian memainkan peran sentral.
Selain itu, 45 persen responden menjawab bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah setiap warga negara, diikuti dengan TNI/Polri (44,7 persen), organisasi media (22,7 persen), platform digital (20,1 persen), presiden (15,5 persen), jurnalis (14,6 persen), pemimpin opini tingkat lokal (14,1 persen), Badan Intelijen Negara (11,6 persen), dan pemuka agama (9,3 persen). Sayangnya, laporan 2021 hanya menyebutkan jumlah responden yang menganggap penghentian hoaks adalah tanggung jawab Kementerian dan tidak mengungkapkan hasil untuk lembaga lain seperti survei 2020.
Data 2020 juga menunjukkan kecenderungan untuk menghentikan misinformasi dalam bentuk penegakan hukum, proses gatekeeping yang lebih baik di organisasi berita, dan aksi individu. Menghentikan misinformasi dalam bentuk pencegahan melalui lembaga pendidikan tidak terlihat dalam survei tersebut.
Survei selama dua tahun terakhir juga menunjukkan bahwa program literasi, khususnya pencegahan misinformasi, tidak seefektif yang diklaim pemerintah. Program ini memang dapat menjangkau jutaan orang dalam setahun, tapi jumlah orang yang ingin mengambil tindakan untuk mencegah hoaks semakin berkurang. Ketika responden ditanya, apa yang akan dia lakukan untuk mencegah penyebaran hoaks, sebagian besar jawabannya masih mencari kebenaran untuk setiap informasi. Namun, persentasenya menurun, dari 84,1 persen pada 2020 menjadi 83,8 persen pada 2021. Jumlah orang yang akan mengingatkan orang lain yang menyebarkan hoaks juga menurun, dari 26,9 persen pada 2020 menjadi 17,9 persen pada 2021. Sementara itu, jumlah orang yang akan mengabaikan atau menghapus informasi tersebut meningkat, dari 7,4 persen menjadi 8,5 persen.
Literasi digital dan literasi informasi adalah masalah bersama, sehingga dibutuhkan kolaborasi semua pihak. Meskipun peran pemerintah sangat penting, dibutuhkan pelibatan seluruh anggota masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam program ini. Pelibatan tersebut tidak hanya sebagai pembicara dalam webinar pemerintah, tapi juga aktif menginisiasi, memberi masukan, dan menjalankan program tersebut sesuai dengan konteks masyarakat berada. Program literasi seharusnya merupakan program pemberdayaan untuk merangsang kemampuan berpikir kritis individu, bukan program untuk memperkuat dominasi negara terhadap warganya. (*)
Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Rubrik Opini Koran Tempo. Pemuatan ini atas seizin penulis yang sebelumnya Direktur Riset PPPI.