- November 3, 2014
- Posted by: Septa Dinata
- Category: Analysis, Economy, Infrastructure, News
Nilai tukar Rupiah yang kini cenderung melemah atas dolar AS menjadi kesempatan besar bagi Indonesia mendorong pertumbuhnan ekonomi. Pasalnya, situasi tersebut akan sangat menguntungkan bagi pengembangan indsutri manufaktur berorientasi ekspor.
“Nilai tukar kuat sebenarnya berarti ekonomi lemah. Sebaliknya, nilai tukar lemah berarti ekonomi kuat. Tiongkok sudah membuktikan itu, ketika mereka cenderung mendevaluasi nilai tukarnya untuk mengembangkan industri manufaktur di dalam negerinya. (Saat rupiah melemah seperti sekarang ini) Saat ini kesempatan bagi Indonesia,” demikian diungkapkan professor Emeritus Bidang Ekonomi Universitas Boston, Gustav Papanek di Jakarta Jumat (31/10) minggu lalu.
Dalam kuliah umum yang diselenggarakan di Paramadina Graduate Schools tersebut, Prof Gustav menyatakan bahwa strategi mendevaluasi nilau tukar mata uang atas Dolar telah membawa Tiongkok selama puluhan tahun menjadi yang terbesar di dunia dalam pengembangan dan penguasaan pasar industri manufaktur padat karya berorientasi ekspor. Hal ini karena devaluasi nilai tukar menjadi alat yang sangat ampuh untuk memangkas biaya produksi domestik termasuk biaya tenaga kerja, serta memberi margin keuntungan finansial yang lebih tinggi sebagai eksportir.
Pemerintah Indonesia dan pelaku ekonomi di negeri ini harus mampu mengubah cara pikir tentang penguatan dan pelemahan nilai tukar Rupiah ini. Rupiah yang melemah pada kisaran 12 ribu harus dipandang dan diperlakukan sebagai peluang untuk membangkitkan kembali sektor manufakur padat karya berorientasi ekspor yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja.
Senada dengan Prof Gustav, dalam beberapa kesempatan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) mengatakan bahwa penurunan nilai Rupiah jangan dianggap negatif. Baginya, ini adalah kesempatan Indonesia untuk meningkatkan ekspor karena barang-barang Indonesia relative lebih murah.
“Karena itu akan banyak peminat produk Indonesia. Lapangan pekerjaan pun bertambah,” ujar JK.
Sebaliknya, apresiasi nilai tukar rupiah hanya dinikmati oleh importir dan orang-orang, kaya maupun miskin, yang konsumtif, yang lebih menyukai barang-barang impor. Di pihak lain, ekspor justru jatuh. Pendapatan 40 eprsen penduduk di negeri ini yang masuk kategori miskin menjadi stagnan. Akibatnya kesenjangan sekonomi makin meningkat.
Devaluasi nilai tukar memang berisiko terjadinya inflasi. Namun pemerintah sebenarnya tak perlu terlalu mengkhawatirkan hal tersebut. Stabilisasi harga makanan pokok salah satunya lewat cata subsidi untuk 40 persen penduduk miskin akan melindungi pendapatan enaga kerja dan mengurangi dapak inflasi akibat devaluasi.
Upaya untuk memanfaatkan peluang ini tentunya harus dibarengi dengan perbaikan infrastruktur. Sumber dana yang dapat diguakan dalam jangka pendek saat ini adalah dengan memotong subsidi bahan bakar minyak. Selain itu, tak kalah pentingnya, pemerintah harus mendorong penerimaan pajak dengan melakukan reformasi perpajakan.
Melihat Rupiah menguat memang menyegarkan mata, tapi dibalik itu ada konsekuensinya. Sebaliknya, Rupiah yang melemah terlihat mengkhawatirkan, padahal sebenarnya banyak kesempatan di baliknya.(*)