Koreksi Total Kinerja Demokrasi dan Antikorupsi | Bab Buku

Ahmad Khoirul Umam

Sebuah bab dalam buku berjudul Demokrasi Tanpa Demos: Refleksi 100 Ilmuwan Sosial Politik Tentang Kemunduran Demokrasi di Indonesia

LP3ES, Agustus 2021

 

Evaluasi kinerja demokrasi dan tata kelola pemerintahan global di tahun 2020 telah dirilis oleh sejumlah lembaga kredibel pada awal tahun 2021 ini. Secara general, pandemi Covid-19 terbukti telah menjadi pengubah permainan (game changer), yang berpengaruh signifikan (major blow) terhadap kualitas kerja pembangunan demokrasi dan juga antikorupsi selama satu tahun terakhir.

Dalam konteks Indonesia, penilaian terhadap kinerja demokrasi dan antikorupsi juga mengalami penurunan signifikan. Berdasarkan laporan Indeks Demokrasi 2020 yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 3 Februari 2021, skor indeks demokrasi Indonesia menurun dari 6,48 (2019) menjadi 6,3 (2020). Dari lima indikator dasar demokrasi yang digunakan, nilai proses Pemilu dan pluralisme (7,92), fungsi dan kinerja pemerintah (7,5) dan partisipasi politik (6,11), tergolong baik. Namun, dua indikator lainnya, yaitu budaya politik (4,38) dan kebebasan sipil (5,59), nilainya rendah dan tidak mampu mengangkat agregat indeks. Akibatnya, skor indeks demokrasi Indonesia kali ini termasuk angka terendah dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Dari empat kategori demokrasi yang dirumuskan EIU, Indonesia masuk dalam kategori “demokrasi cacat” (flawed democracies). Ironisnya, indeks demokrasi Indonesia sendiri berada di bawah Malaysia, Filipina, dan bahkan Timor Leste.

Sebelumnya, Transparency International (TI) juga telah merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2020 yang juga memberikan “rapor merah” bagi kinerja pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia. IPK tahun 2020 Indonesia telah mengalami penurunan tajam sebesar 3 poin, dari semula 40 (2019) menjadi 37 (2020), pada skala 0 yang berarti sangat korup hingga 100 yang terkategori sangat bersih. Penurunan IPK ini menjadi yang pertama sejak tahun 2008. Bahkan, IPK sebesar 37 ini juga menandai Indonseia telah mundur jauh lima tahun ke belakang, di mana pada tahun 2016 IPK Indonesia juga berada di angka yang sama (37). Akibatnya, Indonesia yang semula di peringkat 85, kini terjun bebas ke posisi 102, dari 180 negara yang disurvei.

Dua “rapor merah” dari EIU dan TI di atas harus benar-benar menjadi bahan koreksi sekaligus evaluasi atas kinerja pembangunan demokrasi dan antikorupsi di Tanah Air. Sebab, sejak awal pandemi, TI telah mengingatkan masyarakat global bahwa pandemi Covid-19 berpotensi memfasilitasi menguatnya fenomena “neo-otoritarianisme” di sejumlah negara.

Pandemi telah memaksa negara merelaksasikan sejumlah aturan pemerintahan mengingat pentingnya kecepatan pengambilan keputusan guna menyelamatkan nyawa dan kondisi sosial-ekonomi yang terdampak oleh pandemi. Ironisnya, relaksasi aturan di masa pandemi itu memberikan peluang bagi terjadinya sentralisasi kekuasaan yang mudah dibajak oleh kekuatan politik (politically hijacked) dalam suatu negara. Akibatnya, perilaku kediktatoran dan otoritarianisme yang mengancam demokrasi justru mendapatkan panggung di tengah pandemik (TI, 2020).

Selengkapnya bisa dibaca di berkas berikut.