Kepercayaan Terhadap Informasi dari Pemerintah di Masa Pandemi COVID-19

Sumber: Tribunnews

Ika Karlina Idris, Abdul Malik Gismar, dan Erik Ardiyanto

14 Mei 2020

 

Pandemi COVID-19 adalah krisis multi-faset dengan risiko kesehatan masyarakat yang sangat tinggi. Kesulitan menangani krisis ini menjadi berganda karena, sebelum ada vaksin dan obat untuk virus ini, satu-satunya cara menghadapinya adalah dengan mengubah perilaku masyarakat (behavior modification).

Namun, meminta masyarakat dalam skala besar dan secara serentak untuk mengubah perilaku dengan perilaku baru yang berbeda, bahkan kadang bertentangan, dengan kebiasaan adalah pekerjaan yang sangat sulit. Kebijakan, intervensi, dan pesan-pesan yang sinkron dan ketat terintegrasi secara vertikal lintas tingkatan pemerintahan dan secara horizontal lintas lembaga menjadi kunci keberhasilan upaya ini.

Lebih dari itu, upaya ini harus dipersepsi sebagai konsisten, kompeten, fair, obyektif, berempati, dan tulus, selain juga harus mudah dimengerti dan disampaikan oleh orang-orang dan saluran yang dipercaya. Persyaratan di atas menekankan pentingnya dua hal: kredibilitas informasinya dan kredibilitas otoritas yang menyampaikan.

Untuk mengetahui seperti apa kepercayaan publik terhadap informasi yang disampaikan pemerintah, pada pertengahan April lalu kami mengadakan focus group discussion (FGD) kepada para praktisi komunikasi dan jurnalis yang telah bekerja sekurangnya tiga tahun di bidang mereka.

FGD ini dilakukan secara online kepada tiga kelompok yang keseluruhannya terdiri dari 60 partisipan. Ada tiga pertanyaan utama yang kami ajukan, yakni apakah partisipan mempercayai informasi yang disampaikan oleh pemerintah pusat, informasi apa saja yang menurut partisipan reliable, dan strategi pembingkaian pesan seperti apa yang mendominasi informasi terkait COVID-19.

Kepercayaan terhadap informasi pemerintah pusat

Mayoritas partisipan diskusi mengatakan bahwa mereka tidak percaya dengan informasi yang disampaikan oleh pemerintah pusat terkait kasus COVID-19. Dalam diskusi partisipan mengatakan bahwa sejak awal pemerintah pusat terkesan menyepelekan pandemi COVID-19 dan tidak segera menutup akses bandara International. Hal ini mengakibatkan akses keluar dan masuk orang, dari dalam atau luar negeri, masih berjalan normal seperti biasanya. Pemerintah terkesan seperti tidak waspada dan bersiap dari awal akan dampak COVID-19.

Hal ini berlanjut saat ada pasien pertama yang positif COVID-19. Meski telah menyiapkan fasilitas layanan Kesehatan seperti rumah sakit rujukan, wisma atlet, alat pelindung Kesehatan, dan alat tes, namun hal tersebut dinilai terlambat. Pasalnya, penyebaran virus dan jumlah pasien yang positif meningkat lebih cepat dibanding ketersediaan fasilitas tersebut.

Faktor kedua yang membuat partisipan tidak percaya dengan pemerintah pusat adalah data yang tidak transparan. Mayoritas partisipan menganggap data ODP, PDP, dan pasien yang dinyatakan positif tidak reliabel. Selain itu, mereka juga memandang bahwa pemerintah menutupi jumlah kasus COVID- 19 di Indonesia. Salah satu event yang memperkuat ketidakpercayaan atas data pemerintah adalah pemberitaan mengenai kasus pasien di Cianjur, Jawa Barat, yang diduga positif COVID-19.

Faktor ketiga yang membuat partisipan tidak mempercayai pemerintah pusat adalah gagalnya pemerintah menangkap aspirasi dari masyarakat. Di masa awal pandemi, ada keinginan yang disuarakan berbagai kalangan agar pemerintah mengambil kebijakan lockdown. Akan tetapi, pemerintah lebih memilih kebijakan social distancing (Pembatasan Sosial Berskala Besar/PSBB) dan itu pun dinilai partisipan sangat terlambat. Pemerintah dianggap lebih mementingkan aspek ekonomi dan investasi yang selama ini menjadi fokus pemerintah sebelum adanya COVID-19. Partisipan juga beranggapan bahwa mereka tidak bisa mempercayai pemerintah yang lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi ketimbang mencegah penyebaran pandemi.

Faktor selanjutnya, yang menjadi penekanan partisipan dari kelompok praktisi komunikasi adalah disonansi informasi yang disampaikan pemerintah. Disonansi ini tidak hanya antara pemerintah pusat dan daerah, namun juga antara sesama pemegang kebijakan di pemerintah pusat. Informasi yang tidak satu pintu dan sering berubah bahkan disampaikan oleh otoritas tertinggi, juru bicara, dan presiden. Disonansi informasi ini membuat partisipan merasa pemerintah tidak paham potensi dampak pandemi dan kebijakan yang diambil untuk menanganinya.

Hingga saat ini, partisipan baik dari kalangan jurnalis dan praktisi komunikasi, sepakat bahwa belum ada representasi pemerintah pusat yang mereka anggap sebagai komunikator andal. Di masa awal pandemi, publik telah menyaksikan sendiri betapa Menteri Kesehatan menyepelekan kasus positif COVID-19. Tak lama berselang, juru bicara pemerintah juga menyampaikan informasi yang keliru tentang peran “si kaya” dan “si miskin” dalam mencegah penyebaran COVID-19.

Faktor terakhir yang mempengaruhi ketidakpercayaan partisipan adalah penunjukan Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai bagian untuk pencegahan COVID-19. Partisipan menilai bahwa penanganan pandemi bukanlah kompetensi BIN. Sebagaimana yang dilakukan pemerintah Inggris dan Amerika, sebaiknya pemerintah pusat menggandeng institusi pendidikan atau riset ketimbang badan intelijen.

Meski mayoritas partisipan tidak percaya terhadap informasi dari pemerintah, ada sebagian kecil partisipan yang percaya akan keterandalan informasi pemerintah. Salah satu partisipan dari praktisi komunikasi mengatakan bahwa adanya subsidi informasi rutin (dalam bentuk konferensi pers dan rapat terbatas) merupakan salah satu bentuk keseriusan pemerintah dalam penanganan pandemi. Selain itu terdapat juga partisipan yang percaya dengan update informasi pemerintah, namun tidak percaya akan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam penanganan krisis ini.

Dari semua informasi yang disampaikan oleh pemerintah, mayoritas partisipan menganggap bahwa informasi yang paling dapat diandalkan adalah informasi yang sifatnya edukasi kesehatan. Sementara itu, mayoritas partisipan menganggap informasi pemerintah pusat tentang data pasien—positif, ODP, PDP, dan yang meninggal dunia karena COVID-19—tidak dapat dipercayai. Meski kelompok praktisi komunikasi dan jurnalis sama-sama menekankan tentang data yang tidak reliabel, namun hampir semua partisipan dari kelompok jurnalis menekankan tentang data pasien ini.

Berikut adalah jenis informasi yang dianggap reliable dan tidak reliable oleh partisipan FGD:

Informasi yang reliable Informasi yang tidak reliable
Penyediaan fasilitas kesehatan bagi pasien dan tenaga medis. Data penyebaran pasien (positif, sembuh, dan meninggal dunia).
Kebijakan pemberlakuan karantina wilayah Kebijakan pemerintah pusat terkait kompensasi dan relaksasi pembayaran angsuran kredit bagi pengemudi ojek online dan taksi online.
Peta penyebaran virus yang sudah mencakup 34 provinsi di Indonesia Kebijakan transportasi dan mudik
Edukasi Kesehatan yang diadopsi dari WHO seperti physical distancing, kebiasaan mencuci tangan, membersihkan diri ketika habis bepergian, memakai masker, mengonsumsi makanan bergizi, dan melakukan isolasi mandiri. Keterandalan alat rapid test dan jumlah orang yang telah melakukan tes tersebut.
Manfaat jamu untuk mencegah virus corona.
Informasi dari pemerintah tentang angka kematian terkait COVID-19. Karena berbeda dengan pemberitaan pada media seperti korban meninggal karena COVID-19 yang ternyata belum sempat dirawat di RS rujukan karena tidak cukupnya kapasitas RS.
Porsi anggaran pemerintah dan alokasinya untuk penanganan pandemi
Kebijakan pemerintah tentang tarif listrik 450 VA dan diskon 50% tarif listrik 900 VA.
Protokol penanganan ODP dan PDP
Pemodelan BIN

Selain tentang keterandalan informasi, kami juga menanyakan strategi pembingkaian pesan (framing) yang mendominasi dalam penyajian informasi pemerintah. Strömbäck dan Kiousis (2011) dalam Political Public Relations and Strategic Framing menyatakan bahwa setidaknya ada tujuh strategi framing yang biasa ditemui, yakni framing situasi, atribut, risiko, argumen pengambilan kebijakan, isu, tanggung jawab, dan cerita. Dengan memahami strategi pembingkaian pesan, kita dapat memahami informasi apa yang sebenarnya ingin ditekankan oleh pemerintah dan informasi apa yang kurang menjadi fokus mereka.

Berdasarkan hasil diskusi, partisipan mengidentifikasi setidaknya empat strategi framing yang digunakan oleh pemerintah: yakni framing situasi, risiko, tanggung jawab, dan argumen pengambilan kebijakan. Framing risko, di mana fokus pesan ada alternatif aksi dan risikonya, adalah jenis framing yang dianggap paling mendominasi.

Adapun informasi yang menggunakan framing ini di antaranya mengenai 1) aturan work from home, school from home, dan isolasi mandiri, 2) kebijakan ekonomi, dan 3) keengganan pemerintah melakukan lockdown. Adapun framing situasi dibangun dengan aktivitas berupa update informasi data pasien dan upaya menunjukkan kinerja pemerintah mengatasi pandemi dengan cara melakukan kunjungan ke lapangan.

Sementara itu, framing berupa penekanan pada argumen-argumen dari pengambilan sebuah kebijakan terlihat pada 1) kebijakan tentang rapid test, 2) penunjukan rumah sakit khusus penanganan pasien corona, 3) keringanan pajak, pembayaran kredit dan tagihan listrik, 4) kebijakan transportasi dan mudik, dan 5) kebijakan social distancing sebagai solusi terbaik.

Terakhir, strategi framing tanggung jawab yang menekankan pada “siapa pihak yang bertanggung jawab” atas sebuah kejadian atau kebijakan terlihat pada informasi tentang 1) dari mana asal virus, 2) upaya pemerintah pusat berkoordinasi pemerintah pusat dengan TNI dan Polri dalam penanganan pandemi, dan 3) otoritas yang dapat memberikan perkembangan data terkait pasien positif, ODP, PDP, dan pasien yang meninggal dunia.

Temuan lain: Social media influencer

Diskusi di ketiga kelompok menunjukkan adanya social media influencer yang cukup berpengaruh dalam membentuk opini publik terkait kepercayaan informasi pemerintah. Nama yang paling banyak disebut yakni Deddy Corbuzier yang sempat mengangkat isu tentang awal pandemi COVID-19 di kanal YouTube-nya. Informasi dan diskusi yang disampaikan Deddy, menurut partisipan hadir saat mereka tidak mendapatkan cukup informasi dari pemerintah pusat dan membahas cukup mendalam tentang pandemi.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan hasil FGD pada kelompok praktisi komunikasi dan jurnalis, kami menyimpulkan adanya urgensi untuk memperbaiki strategi komunikasi pemerintah pusat di masa krisis. Permasalahan utama yang kami temukan adalah tidak adanya integrasi dan sinkronisasi kebijakan, intervensi, dan pesan- pesan dari pemerintah secara vertikal lintas tingkatan pemerintahan, maupun secara horizontal lintas lembaga. Buruknya penyampaian pesan terkait erat dengan kredibilitas informasinya dan kredibilitas otoritas yang menyampaikannya. Kedua, adanya kebijakan yang tidak konsisten, kompeten, fair, obyektif, berempati, dan tulus.

Untuk itu, hal utama yang perlu segera diperbaiki oleh pemerintah adalah soal transparansi informasi. Meski Presiden Jokowi pernah menekankan keseriusannya terkait transparansi, namun kesimpangsiuran mengenai data pasien, ODP, PDP, dan yang meninggal dunia belum memuaskan partisipan dalam diskusi utama, utamanya lagi pada kelompok jurnalis.

Transparansi data dan informasi menjadi penting karena merupakan fondasi untuk membangun kepercayaan dalam proses komunikasi. Untuk itu, kami merekomendasikan adanya strategi komunikasi yang menunjukkan upaya pemerintah bekerja sama dengan pihak lain terkait dengan pendataan, misalnya saja dengan pemerintah daerah, rumah sakit, jurnalis, dan relawan.

Hal kedua yang perlu segera diperbaiki adalah disonansi informasi antara berbagai pemangku kepentingan. Ketimbang saling bantah, kami melihat perlunya upaya untuk duduk bersama dalam satu forum saat menyampaikan sebuah kebijakan. Konsistensi kebijakan penting untuk memberi jaminan pada masyarakat bahwa pemerintah kredibel dalam membuat keputusan.

Terakhir, terkait dengan kepercayaan, ada baiknya pemerintah pusat menekankan lebih pada framing tanggung jawab. Dalam diskusi, framing ini hanya digunakan untuk informasi tentang asal awal virus, koordinasi pusat dan daerah, dan otoritas pemberi informasi. Framing tanggung jawab penting untuk dikemukakan sebagai salah satu bentuk empati dan ketulusan pemerintah. Pemerintah pusat perlu menekankan bahwa pada saat krisis pemerintah pusat bertanggung jawab penuh untuk melindungi masyarakat melalui kebijakan-kebijakan mereka. (*)

Artikel ini dipublikasikan pertama kali dalam CSIS Commentaries