Kenaikan Harga BBM dan Reformasi Subsidi Energi

Kenaikan Harga BBM dan Reformasi Subsidi Energi (Ilustrasi/KORAN TEMPO)

Muhamad Rosyid Jazuli

Koran Tempo, Opini, 13 September 2022

 

Bagaimana momentum kenaikan harga BBM dapat digunakan untuk mereformasi subsidi energi secara luas.

 

Keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada awal September ini telah memicu polemik dan demonstrasi. Narasi ketidakberpihakan pemerintah pada rakyat miskin bertebaran di ruang publik.

Naiknya harga BBM jelas secara signifikan mendorong inflasi atau kenaikan harga-harga barang dan jasa. Sedikit-banyak daya beli masyarakat jelas terkikis. Sebagian pihak berpendapat bahwa pemerintahan Presiden Jokowi telah menyengsarakan rakyat.

Pemerintah menyiapkan bantalan sosial dalam bentuk subsidi BBM. Namun Bank Dunia (2014) menyatakan bahwa 84 persen dari subsidi energi di Indonesia dinikmati kelompok menengah ke atas. BPS (2021) juga mengungkapkan bahwa lebih dari 60 persen BBM dikonsumsi oleh 10 persen kelompok terkaya. Editorial Koran Tempo menulis bahwa hanya sekitar 30 persen dari subsidi BBM sampai ke yang berhak. Senantiasa dinarasikan pro-rakyat miskin, subsidi BBM ini nyatanya sebagian besar dinikmati oleh orang yang tak berhak.

Meski demikian, kucuran fantastis subsidi dan kompensasi energi baru-baru ini, yang mencapai lebih dari Rp 500 triliun, perlu senantiasa diawasi bersama. Betapa tidak, jumlahnya setara dengan sekitar empat kali belanja pertahanan (sekitar Rp 130 triliun), dua kali lipat anggaran kesehatan (sekitar Rp 250 triliun), dan hampir sebanding dengan anggaran pendidikan (sekitar Rp 540 triliun) (Nota Keuangan RI, 2022).

Ketimbang berdebat soal kenaikan harga BBM, kita perlu lebih berfokus pada efektivitas pengelolaan alokasi dan realokasi dana subsidi tersebut. Sebab, perdebatan harga tersebut tidak hanya makin menjerumuskan masyarakat pada populisme politik yang merugikan, tapi juga tak mencerahkan karena konsumsi BBM telah eksesif dan perlu ditekan.

Tekanan dan kritik kepada pemerintah, misalnya, perlu difokuskan pada penguatan daya saing ekonomi melalui efektivitas implementasi kebijakan publik, khususnya realokasi dana subsidi untuk sektor-sektor strategis. Sektor strategis ini antara lain pendidikan vokasi; layanan kesehatan; serta program-program penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Bidang lain adalah optimalisasi riset, pengembangan, serta produksi sumber-sumber energi rendah karbon dan berkelanjutan. Bagaimanapun, Indonesia telah berkomitmen mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030.

Dua agenda besar, yakni menahan konsumsi BBM dan mereformasi subsidi, menuntut pemerintah untuk bekerja keras dalam meningkatkan kepercayaan publik kepadanya. Keberpihakan pada rakyat kecil perlu ditunjukkan lewat, misalnya, komitmen pejabat lintas sektor untuk menggunakan BBM nonsubsidi. Selain itu, pemerintah perlu memastikan kompensasi kenaikan harga BBM berjalan transparan dan menjangkau kelompok target dengan tepat. Keandalan sistem distribusi kompensasi subsidi jelas menjadi kunci.

Contohnya adalah kesuksesan reformasi subsidi gas minyak cair (elpiji) di India pada 2014-2015. Subsidi yang sebelumnya diberikan kepada produsen itu dicabut dan direalokasikan untuk subsidi langsung kepada masyarakat miskin. Dalam implementasinya, kriteria kelayakan kelompok target penerima diperketat dan lebih transparan. Akuntabilitas manajemen subsidi ini pada akhirnya meningkatkan kepercayaan publik dan dukungan terhadap agenda reformasi pemerintah India dalam jangka panjang.

Reformasi subsidi BBM dan energi di Indonesia pada umumnya membutuhkan pendekatan dan aksi multiaktor untuk mendorong kesuksesannya. Kerja sama dan dukungan dari pihak-pihak lain, seperti swasta serta masyarakat sipil, merupakan keniscayaan. Contohnya adalah upaya Jepang dalam mengendalikan konsumsi energi di masa krisis minyak pada 1970-an.

Akibat krisis minyak waktu itu, upaya Negeri Sakura merehabilitasi industri manufakturnya pasca-Perang Dunia II terancam gagal total. Namun pemerintah Jepang menolak menyerah dan segera menyikapinya dengan kampanye masif hemat energi. Mereka juga memberikan keringanan pembiayaan dan pajak bagi perusahaan yang ingin mengadopsi teknologi hemat energi.

Berbekal kepercayaan kepada pemerintah, berbagai pihak—publik ataupun swasta—mengikuti anjuran ini dengan ketat. Hotel-hotel, misalnya, membatasi suhu pendingin ruangannya hanya sampai 25 derajat Celsius. Walhasil, tak hanya selamat dari krisis energi, Jepang juga sukses merehabilitasi industri manufakturnya dan mempertahankan kedigdayaan ekonominya.

Reformasi subsidi dan harga BBM di Indonesia jelas punya alasan. Harga BBM perlu disesuaikan atau setidaknya mendekati harga keekonomiannya, yang—salah satunya—untuk menekan konsumsi eksesif bahan bakar berbasis fosil. Kebijakan ini juga akan membantu Indonesia mewujudkan pertumbuhan ekonomi hijau berbasis energi baru dan terbarukan sebagai bagian dari transisi energi. Kenaikan harga BBM saat ini dapat dijadikan momentum dalam menjalankan reformasi subsidi dan transisi energi tersebut. (*)

Muhamad Rosyid Jazuli, Peneliti di Paramadina Public Policy Institute dan mahasiswa program doktor di University College London

Artikel Kolom ini pertama kali tayang di Rubrik Opini Koran Tempo, 13 September 2022