The Conversation, 14 Desember 2021
Tiga ekonom Amerika Serikat David Card, Joshua Angrist, dan Guido Imbens baru saja menerima penghargaan untuk Ekonomi pada upacara yang diadakan pada 8 Desember lalu.
Indonesia sebenarnya bisa belajar dari penelitian ketiga ekonom dari Amerika Serikat ini dalam merumuskan kebijakan ekonomi yang lebih baik selama pandemi.
Banyak ahli melihat bahwa pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang kurang kredibel. Contohnya program kartu pra-kerja dan alokasi dana bantuan sosial yang dianggap tidak efektif dalam menangani COVID-19.
Salah satu penyebab ketidakefektifan kebijakan-kebijakan tersebut adalah karena mereka tidak dilandasi riset dengan metode yang kokoh.
Karya ketiga ekonom Amerika Serikat tersebut membuktikan bagaimana riset yang berkualitas baik bisa menjadi landasan bagi kebijakan yang baik.
Kebijakan kartu pra-kerja dapat lebih ditingkatkan kualitasnya
Card dan rekan-rekannya telah mempopulerkan sebuah metode eksperimen alamiah yang menghasilkan studi-studi berkualitas tinggi yang menjadi landasan banyak kebijakan yang baik.
Eksperimen alamiah berbeda dari eksperimen di laboratorium, kerap lebih dikenal dengan eksperimen acak secara terkontrol yang membagi peserta percobaan dalam kelompok yang diberikan perlakuan dan tanpa perlakukan (sebagai kontrol). Eksperimen alami tetap menggunakan data observasi, namun peneliti secara kreatif dan acak memilih subjek, misalnya lewat pengundian untuk menghindari bias.
Studi upah minimum yang dilakukan Card pada 1994 terbukti telah memperkaya kebijakan pemerintah Federal dan negara bagian AS untuk mengajukan kenaikan hingga sebesar US$ 15 atau sekitar Rp 215.000 per jam.
Sedangkan riset dari Angrist dan Imbens pada 1995 yang menggunakan model sebab-akibat untuk berbagai studi kasus terkait kebiasaan merokok dan program sekolah juga menghasilkan beberapa masukan untuk kebijakan yang berkualitas.
Keduanya memang tidak berkarya sebagai konsultan ekonomi untuk pemerintah AS atau bank sentral, namun ketiga ekonom ini telah memulai dan terus mendorong “revolusi kredibel” dari kebijakan ekonomi. Penelitian mereka memberi masukan baik bagi berbagai kebijakan pendidikan dan tenaga kerja melalui persiapan desain penelitian yang teliti dan kokoh.
Tidak seperti di Amerika Serikat, landasan riset yang kuat tampaknya tidak hadir dalam kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia selama pandemi.
Sebuah penelitian terkini menunjukkan bahwa banyak kebijakan ekonomi yang lahir selama pandemi karena banyaknya kepentingan yang terlibat dalam program yang diluncurkan sebagai janji kampanye Presiden Joko Widodo.
Kepentingan yang terlibat termasuk penyedia platform pelatihan digital yang beragam, mulai Kementerian Ketenagakerjaan, perbankan dan platform online seperti OVO, LinkAja, Gopay , Tokopedia, Bukalapak, dan RuangGuru.
Masukan buat pemerintah Indonesia
Eksperimen alami juga bisa digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk membuat kebijakan yang lebih baik.
Hal ini bisa membuat program kartu pra-kerja supaya tidak hanya fokus kepada anggaran yang terserap dan pembagian kue di antara para penyedia platform.
Namun, dampaknya bisa berupa pelatihan pra-kerja kepada peningkatan gaji peserta setelah mendapatkan pekerjaan baru.
Dengan begitu, model pelatihan pra-kerja atau bagi yang terkena pemutusan hubungan kerja memang dapat berfungsi sebagai jaring pengaman sosial (social safety net) lebih lengkap.
Pemerintah harus berbagi data kepada para peneliti
Pemerintah mencoba berbagai kebijakan untuk memitigasi dampak COVID-19 pada bidang ekonomi.
Sudah waktunya pemerintah untuk mulai memperbaiki kualitas kebijakan dengan melakukan studi-studi dengan metode yang apik sebagai landasan pijakannya.
Eksperimen alamiah yang dilakukan Card, Angrist, dan Imbens bisa menjadi salah satu pendekatan yang dilakukan.
Salah satu yang bisa dilakukan pemerintah untuk mewujudkan ini adalah membagi data mereka kepada peneliti sehingga kolaborasi antara pemerintah-peneliti dapat terwujud untuk menghasilkan kebijakan yang semakin kredibel karena berbasis bukti. (*)
Artikel ini pertama kali dipublikasikan di The Conversation.