Demokrasi Prosedural dan Negara Bayangan

PPPI News, REPUBLIKA22 Desember 2020

 

Mengapa kuasa oligarki mencengkeram demokrasi Indonesia?

Universitas Nasional (Unas) kembali menunjukan sebagai kampus dengan tradisi yang kuat dalam bidang ilmu politik.

Seperti biasa pada akhir tahun, Unas membuat kaleidoskop politik. Kali ini di masa pandemi Covid-19, membuat webinar  “Refleksi  Akhir  Tahun:  Capaian Indeks Demokrasi Indonesia dan Evaluasi Pilkada Serentak 2020”.

Tampil sebagai pembicara guru besar ilmu politik sekaligus Direktur Sekolah Pasca- sarjana Unas, Prof Dr Maswadi Rauf, MA; dosen Sekolah Pascasarjana Unas, Prof Dr Syarif Hidayat, MA; serta dosen Universitas Paramadina, Dr Abdul Malik Gismar [yang juga merupakan senior advisor dari Paramadina Public Policy Institute]. Acara dimoderatori Drs Hilmi Rahman Ibrahim, MSi. Dibuka oleh Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan Dr Drs Zainul Djumadin, M.Si.

Acara ini diselenggarakan secara daring oleh Pusat Kajian Studi Politik (PKSP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas di  Jakarta, Kamis (17/12) lalu.

Pakar politik Prof. Dr. Syarif Hidayat, MA, mengungkapkan, data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada 2009-2019 telah mengindikasikan karakteristik demokrasi di Indo- nesia relatif masih berada pada tipologi demokrasi prosedural. Dalam formulasi umum, demokrasi prosedural dapat dinarasikan sebagai  hadirnya  struktur  (lembaga)  dan prosedur demokrasi, tetapi minim kapasitas.

“Akibatnya, kalaupun secara kuantitas, lembaga dan aturan main demokrasi telah dihadirkan, tetapi secara kualitas, praktik yang  berlangsung  belum  mencerminkan karakter  demokrasi  substantif,  lantaran minim kapasitas,” kata Prof Syarif (56 tahun), lulusan S1 Ilmu Politik Unas. Ia mengambil S2 dan S3 di  Flinders University of South Australia, Australia.

Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu mengakui secara umum indeks demokrasi Indonesia telah mengindi- kasikan bahwa Indonesia telah cukup berhasil dalam memproduksi vote (pemilih) melalui pemilihan umum (pemilu) yang diselenggara- kan secara rutin setiap lima tahun.

Tetapi, kata Syarif, suara yang dituai melalui Pemilu itu, sangat muskil menghasilkan vote pada pascapemilu. Sebab tidak tercipta korelasi antara presence (kehadiran) dan representasi (keterwakilan).

Ia menilai pemilu cenderung lebih difungsikan sebagai instrumen oleh para elite politik untuk mendapatkan legitimasi masyarakat. Sehingga implikasinya suara yang diamanahkan oleh masyarakat tidak berdampak pada perbaikan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan periode pascapemilu.

“Konsistensi capaian indek variabel hak memilih dan dipilih pada kategori sedang (79,27), pemilu yang bebas dan adil dengan kategori baik (85,75). Hal itu mengindikasi- kan secara prosedural Indonesia telah ber- hasil menyelenggarakan pemilu sebagai sarana untuk menuai pemilih saja,” jelas Prof. Syarif.

Kendati demikian, lanjut Syarif, fakta masih tetap rendahnya capaian indeks variabel peran DPRD (61,74), mengisyaratkan bahwa lembaga representatif masih lemah dalam menjalankan fungsinya. Sehingga pemilih yang dihasilkan pada saat Pemilu tidak banyak terealisasi menjadi voice (suara) pada pascapemilu.

Pertanyakan ulang

Di tempat terpuisah, Ketua Program Doktoral Ilmu Politik, Sekolah Pascasarjana Unas, Dr TB Massa Djafar, MSi juga meng- ungkapkan hal senada. Menurutnya, repre- sentasi DPR sebagai cerminan kedaulatan rakyat mesti dipertanyakan ulang, termasuk saat pembuatan keputusan merumuskan legislasi.

”Apakah legislasi itu mencerminkan aspi- rasi rakyat, itu pertanyaan penting. Kalau legislasi itu tak menjawab kebutuhan publik, lalu dia mewakili siapa? Apakah pemilik modal?”  kata TB Massa Djafar (57 tahun). Ia menyelesaikan S1 Ilmu Politik di Unas, S2 Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada, dan S3 Ilmu Politik di University Kebangsaan Malaysia.

Dikemukakan, legislasi yang tak sejalan dengan kebutuhan publik,  tak hanya ber- bahaya bagi peran representasi DPR. Bahkan akan mengancam demokrasi. Sebab, kuasa oligarki mencengkeram demokrasi Indonesia. Ketika  itu  terjadi,  lanjut  Massa,  ada sejarah yang terputus. Mengingat saat itu pendiri bangsa telah memberikan fondasi demokrasi. Salah satu tujuannya memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi rakyat.

“Sayang, demokrasi Indonesia cenderung masih prosedural. Demokrasi prosedural hanya  menghasilkan  politisi  yang  sangat bergantung pada kekuatan modal sebagai anggota partai maupun legislatif,” kata Massa. Dari kontestasi pemilu 2019 dan pilkada 2020, ia mengharapkan penyusunan legislasi ke depan semakin baik dan lebih memperhatikan kebutuhan publik.

Buruknya parpol

Prof Dr Maswadi Rauf, MA mengung- kapkan, data  IDI 2009-2019 menunjukkan bahwa Partai Politik belum banyak berperan dalam menyuarakan kepentingan konstituen- nya, dan dalam memproduksi kader-kader (politisi) yang berkualitas.

“Indikiasi antara lain, ditunjukkan oleh tren capaian indeks variabel peran partai politik tujuh tahun sebelumnya (2009-2016) yang  secara  konsisten  memiliki  capaian indeks dengan kategori buruk,” kata Maswadi (74 tahun) yang menyelesaikan S1 dan S3 ilmu  politik  di  Universitas  Indonesia.  Ia memperoleh master (magister) ilmu politik di  Georgetown  University,  Washington, Amerika Serikat.

Pada tahun 2017-2019, lanjut Maswadi, menunjukkan adanya tren peningkatan capaian indeks menuju kategori sedang, namun kecenderungan ini ditengarai lebih bersifat “musiman”, jelang Pemilu 2019.

Di antara faktor utama yang menyebab- kan buruknya kenerja Partai Politik tersebut adalah karena kurang atau bahkan tidak dilaksanakannya kegiatan kaderisasi.

Kebebasan Sipil

Dosen Universitas Paramadina Jakarta, Dr Abdul Malik Gismar (61 tahun) menge- mukakan perkembangan IDI selama 2009- 2019 cenderung biasa saja di angka sedang. Terendah 62,63 (2012) dan tertinggi 74,92 (2019).

Namun sejak 2009-2018, lanjut Abdul Malik, aspek kebebasan sipil terus menurun dari 86,97 (2009) saat ini pada angka teren- dah 77,20. Sementara aspek hak-hak politik dan lembaga demokrasi terus membaik. Dari kondisi buruk (54,60 dan 62,72 tahun 2009) menjadi sedang (70,71 dan 78,73 tahun 2019).

Persoalan terbesar kondisi kebebasan sipil, menurut Malik, terkait persoalan kebebasan berpendapat yang rendah. Sementara terkait variabel kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berkeyakinan, dan kebebasan dari diskriminasi menurutnya cenderung tidak ada masalah.

Diakuinya Indonesia memiliki kultur yang baik bagi perkembangan kebebasan berpen- dapat, namun kultur ini cenderung berkonflik jika dikaitkan dengan politik. Ia menunjuk banyaknya Demo yang semula damai kemu- dian berubah menjadi demo yang disertai dengan kekerasan.

“Ini (demo dengan kekerasan) terjadi karena banyak demo damai yang tidak menda- patkan solusi,” terang Malik yaeng menyelesaikan S2 dan S3 ilmu politik di New York, Amerika Serikat. Sedangkan S1 psikologi di Universitas Indonesia.

Namun demikian, Malik optimistis dengan masa depan demokrasi di Indonesia. Malik mengutip pernyataan Wakil Presiden pertama RI, Bung Hatta, yang meyakinkan demokrasi tidak akan lenyap. Mungkin ia tersingkir sementara, tetapi ia akan kembali dengan tegapnya.

“Memang tidak mudah membangun demokrasi di Indonesia, tetapi bahwa dia akan muncul kembali itu tidak dapat dibantah,” pungkas Malik mengutip Bung Hatta.

Shadow State

Prof Syarif Hidayat mengemukakan, satu di antara akar persoalan otonomi daerah di Indonesia adalah maraknya praktek shadow state (negara bayangan). Para pemangku otoritas informal tetapi dapat mengendalikan pemerintahan formal yang berjalan.

Menurutnya, praktik reformasi yang berlangsung sejauh ini cenderung lebih mene- kankan pada upaya memperbaiki institusi negara (state institusional reform) daripada membangun kapasitas negara (state capacity).

“Desentralisasi sangat nyata dalam bentuk institusi tetapi tidak kentara dalam fungsi,” ujarnya.

Hasil studi, kata dia, menunjukkkan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah pasca-orde baru telah sangat banal diwarnai praktik shadow state.

Praktik tersebut, sambungnya, kemudian cenderung semakin menguat setelah diterapkannya sistem Pilkada langsung. Dampaknya menyandera para pejabat daerah setelah pasca pilkada. Mereka harus tunduk pada shadow state yang sebagian besar adalah pengusaha atau pemilik modal.

“Yang meratap di bawah adalah pemilihnya. Sementara masyarakat yang milih dia waktu pilkada itu tidak dapat apa-apa,” terang peneliti Bidang Pembangunan Daerah LIPI itu. (*)

Berita ini terbit pertama kali di Koran Republika, 22 Desember 2020 pada rubrik Teraju, karya Selamat Ginting.