The Conversation Indonesia, Kolom – 12 Juni 2024
Berbagai partai politik kerap memilih cara “instan” untuk merebut hati masyarakat. Salah satunya dengan cara mengusung artis-artis maupun figur terkenal tanah air untuk menjadi calon anggota legislatif (caleg).
Partai politik berharap pengusungan publik figur dapat membantu mereka meraup banyak suara pada pemilu legislatif (pileg) tingkat daerah dan nasional karena mereka meyakini pemilih akan mencoblos nama yang familier.
Berdasarkan data yang ada, banyak publik figur yang diajukan oleh berbagai partai politik di Indonesia. Menurut media massa terdapat 10 partai politik yang menyertakan nama-nama publik figur sebagai bakal caleg di laga pemilu 2024.
Ada beberapa nama publik figur yang mencalonkan diri untuk maju dalam putaran pemilu, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (5 nama), Partai Gerindra (10 nama), PDIP (14 nama), Partai Golkar (3 nama), Partai Nasdem (9 nama), PKS (1 nama), PAN (17 nama), Partai Demokrat (4 nama), PSI (3 nama) dan Perindo (11 nama).
Pada beberapa periode sebelumnya, strategi mengusung selebritas ini memang cukup sukses membantu partai mendulang suara, tapi secara tidak langsung ini juga mereduksi tujuan demokrasi dari pemilu itu sendiri. Pemilu harusnya menjadi ajang pencarian pemimpin dan kompetisi kebijakan, bukan semata unjuk popularitas demi mendapat banyak kursi di parlemen.
Partai politik dan para selebritasnya
Partai Amanat Nasional (PAN) disinyalir menjadi partai yang paling banyak mengusung caleg dari dunia showbiz. Deretan publik figur yang diusung oleh partai yang berdiri sejak 1998 ini sebagai bakal caleg untuk Pileg 2024. Nama-nama yang beredar antara lain Uya Kuya, Opie Kumis, dan Elly Sugigi.
Mereka hanya segelintir nama baru dari PAN yang berasal dari kalangan selebritas. Sebelumnya ada pelawak Eko Patrio dan aktris Desi Ratnasari.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai pemimpin koalisi pemerintah juga cukup banyak mengusung selebritas, termasuk Rieke Diah Pitaloka, Rano Karno, Nico Siahaan, penyanyi Krisdayanti dan dan Marcell Siahaan, serta pelawak Denny Cagur. Dalam Pileg periode sebelumnya (2019-2024), PDI-P dilaporkan sebagai partai yang artisnya paling banyak berhasil masuk ke Senayan.
Partai Gerindra juga mengusung sejumlah selebritas untuk Pileg 2024. Mereka antara lain penyanyi Melly Goeslaw dan Ahmad Dhani, Taufik Hidayat, Ari Sihasale, Derry Drajad dan Didi Mahardika.
Ini menambah deretan artis yang sudah bergabung dengan Gerindra di Senayan sejak periode lalu, seperti Rachel Maryam, Jamal Mirdad, Moreno Suprapto dan Mulan Jameela.
Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) serta Partai Demokrat juga sudah mendaftarkan deretan selebritas untuk mengikuti kontestasi politik tahun depan.
Partai Perindo yang mencoba peruntungan tahun depan untuk bisa mendapat kursi di DPR RI juga mengusung lebih dari 10 selebritas. Bahkan beberap nama tengah viral di media sosial seperti Aldi Taher, Vicky Prasetyo, Venna Melinda, Kalina Ocktaranny, dan Yusuf Mansur
Perlu digarisbawahi bahwa memang tidak semua selebritas menjadi caleg secara instan. Ada pula yang dari awal sudah berpolitik dan mengikuti proses kaderisasi partai, tidak serta merta diorbitkan untuk keperluan pemilu saja.
Salah satunya adalah Rano Karno, selebritas terkenal tanah air yang juga politikus PDI-P. Ia memenangkan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2008 dan menjadi Wakil Bupati Kabupaten Tangerang 2008-2013, lalu pilkada 2011 dan menjadi Wakil Gubernur Banten. Setelah itu, dia terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2019-2024 untuk daerah pemilihan (dapil) Banten.
Walaupun Rano Karno adalah selebritas, dia sudah lama aktif dalam kegiatan politik. Karir politiknya lahir dari proses kaderisasi partai yang panjang.
Marketing politik
Gagasan politik, isu politik, ideologi partai, karakteristik pemimpin partai dan program kerja memerlukan suatu strategi untuk dapat diterima oleh masyarakat luas. Strategi ini disebut marketing politik.
Di satu sisi, marketing politik menjadi sarana bagi partai untuk memperkenalkan ide politik mereka kepada masyarakat. Marketing politik juga dapat menciptakan suasana demokratis sehingga membuat publik berpartisipasi aktif dalam politik.
Di sisi lain, marketing politik juga dapat menurunkan kualitas demokrasi. Banyak partai yang melakukan marketing tanpa ide atau gagasan yang jelas, lalu akhirnya memanfaatkan figur publik yang memiliki pesona di masyarakat.
Popularitas yang ditawarkan oleh publik figur memang bisa menjadi modal kuat dalam pemilu. Namun nyatanya, ini merupakan bentuk marketing yang tidak berkesinambungan.
Seringkali figur tersebut tidak membawa ide atau gagasan yang jelas sehingga, ketika sudah terpilih, masyarakat merasa tidak puas dengan kinerja mereka. Terlebih jika yang diusung adalah figur publik yang direkrut secara instan, bukan tokoh yang lahir dari proses kaderisasi internal partai.
Dalam jangka panjang, ini semua akan berdampak pada munculnya rasa apatisme di masyarakat terhadap kegiatan demokrasi. Pada akhirnya strategi ini akan merugikan partai dan masyarakat umum.
Strategi marketing menggunakan publik figur untuk maju dalam konteks politik juga sebenarnya bukan cara yang “haram”. Hanya saja, jangan sampai “pemasangan” figur tersebut menghilangkan inovasi politik dan janji politik kepada masyarakat.
Marketing politik tetap harus berlandaskan pada ide politik yang ditawarkan itu sendiri. Tanpa ada ide politik yang jelas, dan hanya dengan mengandalkan popularitas semata, kegiatan pemasaran ini tidak akan maksimal.
Kemudian, jika partai tetap ingin mengusung selebritas, ada baiknya proses pengajuan tersebut melewati jalur kaderisasi partai terlebih dahulu. Proses kaderisasi partai ini yang akan membentuk jati diri kadernya agar memiliki jiwa kepemimpinan dan melahirkan solusi bagi permasalahan masyarakat.
Kontes “kecantikan” politik
Upaya partai mendulang suara melalui popularitas figur publik tanpa disertai substansi politik yang konkrit telah mereduksi kualitas kontestasi politik itu sendiri dan membuatnya tampak seperti kontes kecantikan (beauty pageant).
Ini karena nuansa pemilihan jadi lebih menekankan pada atribut fisik para kontestan untuk dapat merebut atensi dewan juri – dalam hal ini para pemilih – untuk jadi pemenang.
Pada batas tertentu, pemilu memang memiliki kesamaan dengan kontes kecantikan. Semua peserta berusaha mencari cara untuk terlihat baik di depan para pemilih. Bedanya, jelas, pemilu berkaitan erat dengan nilai-nilai demokrasi dan masa depan dari masyarakat sebagai pemilih.
Mengusung caleg hanya karena melihat popularitas figur tersebut merupakan pertimbangan yang sangat disayangkan. Bukan aspek popularitas yang harus menjadi aspek utama dalam pertimbangan, melainkan aspek latar belakang figur – misalnya apakah ia punya catatan kriminal – dan program, kebijakan serta ide politik yang bisa ia tawarkan.
Pentingnya literasi demokrasi
Mengingat bahwa target partai politik adalah suara pemilih, maka dalam hal ini masyarakat perlu mendapat peningkatan pengetahuan tentang praktik demokrasi yang akuntabel.
Untuk masyarakat, langkah yang paling bisa dilakukan adalah memilih sosok wakil rakyat, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif, yang memiliki program yang baik dan relevan dengan kebutuhan kita sebagai masyarakat. Mereka yang memiliki rekam jejak yang bersih. Kita bisa memanfaatkan teknologi untuk bisa mencari tahu profil para kandidat.
Publik juga bisa mulai menciptakan diskusi politik sebagai kegiatan normal di tengah komunitas dan keluarga. Saat ini, masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa diskusi politik merupakan hal yang terlalu “tinggi”, bahkan dapat merusak hubungan dengan kerabat jika terdapat perbedaan pandangan.
Masyarakat harus benar-benar menerapkan pola pikir bahwa perbedaan pandangan politik adalah hal yang biasa.
Cara-cara tersebut bisa menjadi bagian dari proses peningkatan literasi demokrasi yang akan membantu meningkatkan kualitas demokrasi. Peningkatan demokrasi inilah yang akan mendorong partai politik untuk tidak menggunakan cara “instan” dan “memaksa” mereka untuk menyediakan figur-figur yang kompeten dan memiliki program-program cemerlang untuk permasalahan negara.
Adrian Azhar Wijanarko, Ketua Program Studi Manajemen Universitas Paramadina, Paramadina University, Direktur Riset Paramadina Public Policy Institute
Artikel ini pertama kali diterbitkan di The Conversation Indonesia pada 6 Juli 2023