19 Maret 2020
Pandemi yang dalam waktu singkat dapat menghentikan segalanya dan membunuh puluhan, ratusan, bahkan ribuan jiwa dalam skala global adalah situasi ekstrem yang berada di luar horizon pengalaman manusia. Tidak ada konteks atau preseden yang dapat membantu untuk memahaminya secara psikologis. Tak banyak kata atau konsep yang dapat dipakai dalam hal ini. Pandemi virus corona Covid-19 merupakan situasi seperti itu. Kata “kairos” mungkin dapat membantu memahaminya.
“Kronos” dan “kairos” adalah dua kata dalam bahasa Yunani yang berkaitan dengan waktu. Kronos adalah waktu dalam artian kuantitas durasi yang dapat diukur dengan arloji dan penanggalan. Ia berurutan, teratur, ritmis, dan dapat diprediksi. Kronos adalah waktu kuantitatif dan obyektif. Kairos, sebaliknya, merujuk pada kualitas yang melekat dalam suatu waktu tertentu.
Kairos merujuk pada waktu ketika satu peristiwa terjadi, yang di luar waktu tersebut suatu peristiwa tak akan dan tak bisa terjadi. Kairos sering pula dimengerti sebagai waktunya Tuhan; saat yang dipilih Sang Maha Kuasa untuk mengisyaratkan eksistensinya; saat yang abadi mengusik yang temporer.
Dalam kairos tersirat adanya suatu pergeseran paradigma ketika dunia, kebiasaan, dan cara berpikir lama tidak bekerja lagi. Kairos adalah masa krisis (kata “krisis” berasal dari kata kairos ini) dengan dua wajahnya: bahaya dan kesempatan. Dengan kata lain, kairos yang menghadapkan manusia pada bahaya, teror, dan ketakutan sekaligus membuka kesempatan dramatis untuk melakukan perubahan dan transformasi.
Pandemi corona adalah kairos bagi kemanusiaan. Ia mengentak manusia dari obsesi pribadi dan kebekuan hati terhadap penderitaan manusia lain. Ancaman terhadap kemanusiaan dalam skala yang dahsyat ini membuat keterkaitan antarmanusiahal yang biasanya tertimbun rutinitas kehidupan sehari-hari dan kategori-kategori sosial (ras, suku bangsa, agama, kelas sosial, dan afiliasi politik)menjadi nyata.
Ironis bila dipikirkan bahwa kita memerlukan “penjarakan sosial” (social distancing) untuk menyadari “keterkaitan sosial” (social relatedness); untuk menyadari betapa tak terpisahkannya manusia yang satu dengan manusia yang lain; golongan yang satu dengan golongan yang lain; bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Covid-19 melakukan dalam beberapa bulan saja apa yang coba dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa selama puluhan tahun bahwa kita hidup dalam suatu desa global dan nasib kita berjalin kelindan.
Virus corona menghadapkan bangsa-bangsa pada kondisi dasar manusia di atas. Secara global, pertanyaannya adalah apakah dunia secara serentak dapat menghadapi wabah ini bersama-sama. Wabah ini bukan persoalan negara ini atau bangsa itu, melainkan persoalan umat manusia. Dalam kondisi ini, yang diperlukan adalah kerja sama global, bukan kompetisi global. Semoga dunia yang begitu terbiasa dengan “kompetisi” global tidak menjadi terlalu canggung untuk melakukan kerja sama global yang mutlak diperlukan untuk menaklukkan pandemi corona ini.
Dalam skala nasional, virus corona adalah kairos yang menguji bangsa Indonesia. Pandemi ini, meminjam istilah filsuf sekaligus psikiater Karl Jasper, adalah situasi batas yang akan mendefinisikan karakter bangsa. Lebih tepatnya, respons yang diberikan terhadap situasi batas ini akan menunjukkan apakah bangsa ini bangsa yang tegar, bertanggung jawab, dan bermoral; bangsa yang bermartabat dalam hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Atau sebaliknya. Yuval Noah Harari (Time, 15 Maret 2020) mengingatkan bahwa “yang paling penting untuk disadari tentang pandemi adalah bahwa penyebaran wabah di negara mana pun mengancam semua spesies manusia”. Bangsa ini, akibat jumlahnya yang besar, memiliki tanggung jawab besar untuk turut menghentikan penyebaran virus tersebut.
Malapetaka ini juga menantang pemerintah Indonesia di semua tingkat. Prestasi pemerintah dalam hal ini akan menunjukkan apakah dalam pergaulan antarbangsa kita layak berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa beradab lainnya atau menjadi pariah karena tak mampu menahan penyebaran virus ini secara memadai. Bagaimana pemerintah menangani pandemi ini juga menjadi bagian penting dari autobiografi bangsa.
Respons yang manusiawi, bertanggung jawab, bermoral, dan efektif akan menjadi sumber inspirasi bagi solidaritas kebangsaan. Pada kairos corona ini bukan saatnya untuk mencari dan mencetak skor politik, apalagi mempertahankan kubu pemisah Kita vs Mereka dalam artian apa pun. Yang sangat diperlukan juga adalah pemimpin yang mampu memberikan kepastian kepada masyarakat dan memobilisasi seluruh sumber daya bangsa ini. Selain itu, untuk menaklukkan pandemi ini, diperlukan interkoneksi serta koordinasi politik dan institusional secara vertikal dan horizontal. Karena itu, ego kekuasaan dan kepentingan politik harus dikesampingkan.
Virus corona telah menghadapkan kemanusiaan pada musuh besarnya: manusia itu sendiri. Pertarungan melawannya juga merupakan pertarungan melawan egoisme dan kekerdilan manusia itu sendiri. Semoga kita akan memenanginya. (*)
Malik adalah Senior Advisor Paramadina Public Policy Institute
Artikel ini pertama kali dipublikasikan di rubrik Kolom Tempo.co