Kompas (31 Maret 2017) menyoroti masalah peternak ayam yang terpukul akibat kenaikan harga pakan ternak, terutama jagung. Peternak di Blitar harus mengeluarkan Rp4.500 untuk membeli 1 kg jagung, sementara Menteri Pertanian menyatakan persediaan jagung melimpah di Bulog dengan harga Rp3.000 per kg. Mengapa bisa terjadi perbedaan sebesar 33%?
Hampir 87% produksi jagung diserap oleh pakan ternak, sebagian besar (88%) merupakan pakan unggas. Sehingga, gejolak harga pakan langsung dirasakan oleh para peternak unggas. Sebenarnya berapa total produksi jagung kita? Berdasarkan data BPS, tahun 2015 kita memproduksi 19,6 juta ton jagung. Apabila kita ambil batas terendah katakanlah 50% diserap oleh pakan ternak maka hampir 10 juta ton diserap peternak, sehingga masih ada kelebihan produksi sebesar 9,6 juta ton.
Apabila konsumsi di luar pakan ternak katakanlah 1 juta ton, maka masih tersisa hampir 9 juta ton. Sehingga, semestinya tidak ada gejolak harga yang signifikan di pasar. Menurut beberapa pelaku pasar, produksi jagung tahun 2013 tidak lebih dari 6,8 juta ton. Katakanlah pertumbuhan produksi 2% per tahun maka produksi tahun 2015 sedikit di atas 7 juta ton, sehingga terdapat potensi perbedaan data produksi hampir 3 kali lipat dibandingkan data BPS. Tentu perlu dilihat lebih jauh bagaimana metode pengumpulan data kedua sumber. Apapun itu, faktanya di kuartal pertama tahun 2017 terdapat gejolak harga di pasar yang membuktikan bahwa terdapat ketidakseimbangan permintaan dan penawaran akan jagung.
Kebijakan Pangan
UU 18/2012 tentang pangan merupakan landasan bagi pemerintah untuk melakukan penyelenggaraan pangan guna memenuhi kebutuhan dasar manusia. Terdapat tiga dasar penyelenggaraan yaitu kemandirian, ketahanan, dan keamanan. Tentu idealnya ketiga landasan ini dapat seiring dan sejalan. Namun demikian, ada kalanya satu landasan tidak sejalan beriringan dengan landasan yang lain. Kemandirian pangan banyak menitikberatkan pada kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri. Sementara ketahanan pangan fokus kepada terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan. Sedangkan keamanan pangan lebih kepada pencegahan dari ancaman cemaran.
Tantangan ke Depan
Presiden mencanangkan Indonesia akan swasembada jagung dan tidak perlu impor lagi di tahun 2019. Apa tantangan ke depan untuk mencapai target tersebut?
Pertumbuhan GDP Indonesia akan mendorong pertumbuhan konsumsi daging dan telur ayam yang pada akhirnya tentu akan mendorong permintaan akan jagung. Apabila pertumbuhan konsumsi sejalan dengan pertumbuhan GDP maka dapat dipastikan akan terjadi kesenjangan antara produksi dengan konsumsi. Kebutuhan pakan ternak tahun 2015 sebesar 10 juta ton sedangkan kapasitas produksi domestik hanya 7 juta ton, maka kita masih memerlukan 3 juta ton impor untuk memenuhi tujuan ketahanan pangan yaitu terpenuhinya pangan bagi negara. Apabila tidak dilakukan perubahan yang mendasar, maka kesenjangan ini akan semakin besar dan proyeksi kebutuhan impor jagung bisa mencapai 7 juta ton di tahun 2019. Tampaknya akan sangat sulit untuk mencapai visi swasembada dalam kurun waktu dua tahun ke depan.
Permasalahan mendasar masih berupa infrastruktur. Apabila konsumsi jagung sebagian besar masih terkonsentrasi di pulau Jawa sementara potensi produksi selain di Jawa Timur adalah di Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) maka tantangan biaya logistik akan selalu muncul. Sangatlah sulit untuk berkompetisi apabila biaya angkut jagung dari Argentina ke Surabaya lebih kurang sama dengan biaya angkut jagung dari Makassar. Infrastruktur berupa fasilitas penyimpanan, pengeringan, dan irigasi harus terus dibenahi untuk mencapai target kemandirian pangan. Tentu, target lokasi pembangunan dan perbaikan infrastruktur harus sesuai dengan potensi daerah terkait.
Jagung memiliki potensi keuntungan yang lebih menarik dibandingkan tanaman lain seperti coklat atau kedelai. Praktik pertanian yang masih tersebar dan dalam skala kecil membuat produksi jagung berbiaya tinggi, kualitas yang rendah, dan keuntungan yang rendah pula. Pentingnya upaya konsolidasi lahan untuk meningkatkan produksi dalam negeri yang dapat memberikan keuntungan tinggi, berbiaya rendah, dan kualitas yang baik. Konsolidasi lahan bukanlah hal yang mudah tetapi bukan pula hal yang mustahil untuk dilakukan karena sudah ada praktik yang bisa direplikasi di tempat lain.
Bagaimana memulai?
Pertama, kita harus memperbaiki basis data untuk pengambilan kebijakan. Data yang salah tentu akan mendorong kebijakan yang salah pula. Perbedaan penghitungan adalah hal yang wajar, tetapi apabila ada perbedaan sampai tiga kali lipat, sudah pasti ada sesuatu yang salah.
Kedua, mengurutkan ulang landasan penyelenggaraan pangan. Prioritas terutama adalah keamanan pangan karena tentu kita harus memastikan pangan tersebut tidak mengganggu, merugikan, atau membahayakan kesehatan manusia. Selanjutnya, ketahanan pangan guna terpenuhinya kebutuhan pangan sampai dengan perseorangan. Apabila masih belum terpenuhi kebutuhan dari dalam negeri, maka tidak ada pilihan lain selain harus impor untuk menutupi kekurangan.
Ketiga, Indonesia harus memiliki rencana jangka pendek, menengah, dan panjang dalam mengelola risiko atas kemandirian pangan. Apabila terdapat basis data yang dapat diandalkan dan panduan prioritas penyelenggaraan pangan maka kita berharap kebijakan publik atas pangan memiliki perspektif jangka panjang dan tidak seumur jagung.
Ada kalanya dalam perjalanan kita perlu mundur satu langkah dulu untuk menyiapkan diri guna berjalan lebih cepat. Perbaikan basis data kebijakan merupakan hal yang harus dilakukan sebelum kita melangkah lebih cepat ke depan.
Bima P. Santosa – Managing Director, Paramadina Public Policy Institute