Fatchiah Kertamuda
Pendidik adalah sosok yang bertanggung jawab atas kelangsungan generasi di masa mendatang. Banyak hal yang perlu diperhatikan oleh seorang pendidik agar peran dan tanggung jawabnya dapat benar- benar dijalankan dengan baik. Pendidik menjadi sorotan dan panutan bagi anak-anak didiknya. Untuk itu seorang pendidik haruslah pandai untuk dapat memberikan pelayanan bagi anak-anak didiknya.
Perilaku pendidik akan terefleksi pada perilaku siswa-siswanya. Untuk itu setiap gerak-gerik pendidik akan dengan mudah di-copy oleh para siswa sehingga pendidik perlu dengan bijak menyadari betapa perilakunya itu menjadi pembelajaran bagi siswa-siswanya. Kondisi kelas yang menunjukkan perilaku yang baik dalam kesehariannya akan dapat terwujud dari perilaku pendidiknya. Begitupun sebaliknya, dengan harapan sosok pendidik benar-benar akan menjadi panutan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya, terutama para siswa yang didiknya.
Namun, menjadi seorang pendidik bukan perkara yang mudah. Tidak mudah bagi seorang pendidik untuk dapat secara konsisten menjalankan profesinya. Tiap langkah atau perilaku yang muncul merupakan internalisasi dari dirinya sebagai seorang individu. Hal ini menunjukkan pentingnya karakter pendidik dalam menjalankan tugasnya.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Paramadina Public Policy Institute bekerjasama dengan ProRep USAID (2014), karakteristik utama pendidik yang disukai siswa dan dapat menjadikan suasana belajar menjadi lebih menyenangkan antara lain baik hati, tegas, tidak suka marah, disiplin, ramah. Di sisi lain, karakter tersebut juga menjadi kesukaan para orang tua.
Karakter pendidik akan dipengaruhi oleh pengalaman, pola pikir, dan perilakunya. Untuk itu maka pendidik perlu memiliki kemampuan emosional, social, dan kemampuan berfikir yang mumpuni. Jika seorang pendidik tidak dapat atau tidak memiliki kemampuan tersebut maka akan timbul konflik dalam dirinya.
Konflik adalah ‘benturan’ antara kekuatan-kekuatan yang berlawanan yang terjadi baik dengan dirinya maupun dengan faktor di luar dirinya. Salah satu bentuk benturan tersebut dapat berasal dari internal pendidik. Konflik internal seorang pendidik merupakan benturan atau ‘kegalauan’ yang terjadi berasal dari diri dan pikirannya. Konflik inilah yang menjadikan seorang pendidik dihadapkan pada situasi yang dapat membuatnya merasa tidak nyaman baik dengan dirinya maupun dengan orang-orang yang ada di lingkungannya.
Terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan konflik dalam diri seorang pendidik. Pertama, konflik yang disebabkan oleh pertentangan antara kebutuhan yang diperlukan dengan hati nurani. Pendidik adalah manusia yang juga memiliki kebutuhan diri untuk dapat dipenuhi. Hal ini merupakan suatu yang normal dan sah-sah saja bagi dirinya.
Namun, adakalanya kebutuhan itu tidak dapat dengan mudah dia penuhi dikarenakan berbagai kendala. Kebutuhan fisik dan non fisik seorang pendidik, jika tidak terpenuhi, dapat menjadi kendala dia dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya.
Kedua, konflik dapat ditimbulkan karena adanya pertentangan antara peranan yang dijalankan dengan dirinya pribadi. Sebagai seorang pendidik, pertentangan dapat terjadi antara dirinya dengan pimpinan di sekolah ataupun dengan pihak lain seperti kolega, orangtua, hingga siswa.
Sebagai seorang pendidik, tentunya peranan yang diharapkan oleh masyarakat tinggi karena hal itu terkait dengan perkembangan pada anak didiknya. Kegagalan dan kesuksesan seorang anak didik menjadi tantangan sekaligus tanggung jawab pendidik. Hal inilah yang dapat memicu konflik dalam diri pendidik.
Ketiga, penyebab konflik lainnya adalah pertentangan antara dirinya dengan kelompok, yang terkait dengan norma yang berlaku. Hal ini dapat menimbulkan ketidakharmonisan antara dirinya dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Dalam menjalankan tugas sebagai pendidik, dia perlu terus membina interaksi dengan orang-orang yang ada disekitarnya, terutama dengan kolega dan siswa di sekolah. Dirinya sebagai pendidik akan menjadi role model untuk kelompok ataupun komunitas di mana dia berada. Jika seorang pendidik tidak mampu menyesuaikan diri dalam kehidupan sosialnya, terjadi dilema. Pertentangan ini dapat sangat terkait dengan persoalan moral yang menjadi tantangan dalam menjalankan peran sebagai pendidik. Persoalan moral ini terkait dengan keputusan yang diharapkan tidak sesuai dengan keinginannya. Hal ini akan dapat memicu kondisi sangat sulit bagi dia dalam mengambil keputusan.
Konflik yang terjadi merupakan suatu proses yang harus dihadapi oleh setiap orang, termasuk pendidik. Konflik internal ini karena pertentangan antara diri yang umum terjadi pada setiap manusia. Konflik dapat berakhir tidak baik jika hal tersebut tidak dapat disikapi dengan bijak oleh seorang pendidik dalam menjalankan tugasnya.
Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh seorang pendidik untuk mengatasi konflik internal. Pertama, sosok mentor yang dapat memotivasi dan menginspirasi. Mentor yang tepat dapat memberikan bantuan terkait dengan pemecahan masalah yang dihadapi sang pendidik. Mentor juga diharapkan dapat menginspirasi pendidik dalam menjalankan peran yang menjadi tanggung jawabnya. Kedua, respek terhadap orang lain. Sebagai seorang pendidik, respek terhadap orang lain merupakan faktor penting dalam menjalankan profesinya. Profesi pendidik adalah profesi yang sangat erat berkaitan dengan layanan jasa kepada pihak lain seperti siswa dan orangtua. Respek kepada orang lain dapat membantu meminimalisir konflik internal.
Ketiga, konsiten terhadap profesi yang dijalankan. Menjadi seorang pendidik merupakan amanah yang perlu dipertanggungjawabkan secara profesional. Untuk itu, konsisten terhadap peran dan tanggung jawab menjadi hal yang sepatutnya dapat dijalankan dengan baik.
Keempat, siap dalam menghadapi situasi apapun. Konflik akan terjadi setiap saat. Seorang pendidik harus memiliki kemampuan baik emosional, kogntif dan bersikap agar dapat mempersiapkan diri dalam situasi apapun.
Kelima, terus memotivasi diri. Motivasi diri adalah satu langkah penting yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Permasalahan atau konflik diri yang terjadi bukanlah suatu hal yang tidak memiliki solusi atau jalan keluar. Memotivasi diri untuk mengatasi masalah akan membantunya menyikapi konflik diri secara bijak. (*)
Fatchiah Kertamuda – Dosen Psikologi Universitas Paramadina Jakarta, Peneliti ahli di Paramadina Public Policy Institute