- March 11, 2015
- Posted by: Admin PPPI
- Category: Economy, Energy, Headlines, Infrastructure, Investment
Kebijakan investasi migas di Indonesia tidak bisa diduga karena sering adanya perubahan yang terjadi dalam kebijakan eksplorasi dan eksploitasi. Aturan investasi migas tidak dapat dipisahkan dari aturan-aturan yang berlaku untuk sektor lain. Hal ini membebani produsen yang dirugikan akibat berinvestasi di sektor migas yang dalam jangka panjang dapat merugikan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Saat ini banyak kebijakan, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, memengaruhi kegiatan investasi migas. Termasuk di dalamnya adalah yang berkaitan dengan sistem penganggaran, pajak, pelaksanaan kontrak kerja, tenaga kerja, tanah, dan teknis pelayanan izin usaha bagi pelaku bisnis migas.
Indonesia telah berubah dari eksportir minyak ke negara pengimpor minyak, dengan ekstraksi yang berkurang kira-kira setengahnya sejak pertengahan 1990-an hingga 800.000 barel per hari, sementara permintaan domestik telah tumbuh secara dramatis. Ini merupakan indikasi dari kurangnya minat investor karena ketidakpastian peraturan dan kendala birokrasi. Ketidakseimbangan ini berpotensi akan menjadi kendala paling signifikan bagi negara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Investasi migas memiliki dua karakteristik utama: 1) Membutuhkan investasi besar baik pada tahap eksplorasi dan eksploitasi, dan 2) Memerlukan masa pengembalian investasi dalam jangka waktu sangat panjang. Sehingga, kepastian adalah faktor yang sangat penting bagi investor.
Ketidakpastian peraturan adalah batu sandungan yang mengkhawatirkan bagi investasi pada industri migas Indonesia di masa depan. Meningkatnya ketiadaan kebijakan dan ketidakpastian peraturan menjadi sebab mengecilnya investasi yang telah memperburuk industri.
Terdapat empat hal yang menjadi perhatian utama investor, yaitu: Pertama, pertentangan dan multitafsir peraturan tentang cost recovery, salah satu contoh diantaranya adalah yang terjadi dalam kasus Chevron berupa penerapkan sanksi pidana dalam sengketa perdata; Kedua, kesediaan pemerintah untuk mematuhi prinsip yang mengikat PSC.
Ketiga, peran yang saling bertentangan dari SKK Migas sebagai regulator dan sebagai mitra bisnis kontraktor PSC, dan terakhir, mengingat bahwa sebagian besar PSC akan berakhir dalam lima tahun ke depan, dan investasi modal yang signifikan pada masa mendatang akan bergantung pada kesediaan Pemerintah untuk menegosiasikan perjanjian perpanjangan PSC dalam waktu singkat dan dengan itikad baik.
Tantangan Pertama: Kebingungan dan kriminalisasi atas cost recovery
Cost recovery sebagai bagian dari standar PSC adalah suatu mekanisme antara pemerintah dan investor migas untuk membayar biaya yang berkaitan dengan eksplorasi. Negara bertanggung jawab atas biaya di bawah PSC, namun biaya tersebut tidak diganti selama eksplorasi, tetapi harus dipenuhi oleh negara pada saatnya kemudian.
Sering timbul masalah dengan cost recovery, baik itu dari kontraktor, lembaga pengawas negara, kementerian atau Kejaksaan Agung, dan pengadilan. Kesulitan utama datang ketika perselisihan yang timbul dari pelaksanaan PSC ditangani berdasarkan hukum pidana. Proses penyelesaian sengketa diatur oleh ketentuan PSC berdasarkan pada prinsip hukum perdata. Salah satu kasus tersebut adalah proyek bioremediasi di mana karyawan Chevron dan kontraktor yang dituntut secara pidana atas isu perdata, meskipun SKK Migas dan Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan tidak ada aturan yang dilanggar.*
Dampak
Pengaturan cost recovery meninggalkan ruang perbedaan definisi dan interpretasi baik dari segi filosofis dan juga teknis. Perbedaan ini menimbulkan perbedaan pandangan dan pertentangan antara para pemangku kepentingan. Berbagai perbedaan interpretasi ini berkaitan dengan aspek kebijakan, instrumen untuk menerima atau menolak cost recovery, dan pengawasan.
Rekomendasi
Meninjau peraturan dan prosedur yang relevan terkait cost recovery untuk menghindari loop holes dan standarisasi interpretasi. Penekanan harus diberikan untuk membangun pemahaman bersama tentang cost recovery dan penyelesaian sengketa dengan Kejaksaan Agung dan pengadilan. Interpretasi harus konsisten dengan maksud dari PSC, yang mencakup komitmen untuk menyelesaikan perselisihan di bawah ketentuan PSC.
Selain itu, meningkatkan proses monitoring mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan proyek sebagaimana diatur dalam Authorization for Expenditure (AFE) untuk meminimalkan masalah hukum sepanjang tiga tahap:
1) Tahap pra-audit, yang terdiri dari Rencana Pembangunan yang menentukan rencana jangka panjang kontraktor PSC;
2) Current audit, yang terdiri dari penyusunan rencana kerja dan anggaran tahunan di bawah PSC;
3) Post audit yaitu setelah penyelesaian proyek.
Tantangan Kedua: Mengikat secara hukum Production Sharing Contracts
Kepastian hukum dan kesucian kontrak merupakan dua persyaratan penting bagi investor migas. Kepatuhan terhadap kesucian kontrak memberikan kepastian guna mendorong investasi jangka panjang.
Penerbitan sejumlah peraturan yang mengancam prinsip kesucian kontrak merupakan keprihatinan utama bagi investor. Salah satunya adalah PP 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang berlaku retroaktif untuk kontrak yang ada. Hal ini berarti kontrak dapat diubah secara sepihak. Situasi ini jelas bertentangan dengan prinsip yang mengikat dalam kontrak dimana semua pihak harus memenuhi perikatan mereka.** Kekuatan mengikat sebuah kontrak jelas diakui dalam hukum perdata Indonesia yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi yang membuatnya.***
Dampak
Apabila ketentuan PP 79/2010 berlaku retroaktif, Pemerintah secara sepihak dapat mengubah kontrak yang ditandatangani sebelum peraturan tersebut berlaku. Hal ini akan meningkatkan risiko melakukan bisnis di sektor tersebut yang akan berdampak terhadap minat investor untuk berinvestasi di masa depan.
Rekomendasi
Pemerintah merevisi ketentuan dalam PP 79/2010 berkaitan dengan berlaku surut pada ketentuan pasal 38 (b). Pemerintah menekankan fakta bahwa pemerintah dan investor berada dalam posisi paralel dan bahwa kontrak mengikat dan harus ditegakkan sampai dengan kontrak berakhir.
Tantangan Ketiga: Pertentangan Peran SKK Migas
Tugas utama SKK Migas adalah untuk mengawasi dan melaksanakan implementasi kegiatan usaha hulu migas berdasarkan PSC. Peran SKK Migas adalah untuk memfasilitasi eksploitasi migas guna mengoptimalkan pendapatan pemerintah dan untuk meningkatkan manfaat bagi masyarakat Indonesia.
Namun, peran SKK Migas saling bertentangan. Di satu sisi, sebagi mitra dari kontraktor migas yang terlibat sebagai pemegang PSC. Di sisi lain, juga memainkan peran regulator. Sering SKK Migas terlalu terlibat dalam kegiatan sehari-hari perusahaan migas, seperti keputusan rekrutmen ekspatriat dan proses persetujuan.
Peran ganda ini merupakan beban bagi SKK Migas untuk memainkan perannya secara optimal, dan menempatkan kontraktor PSC dalam suatu situasi yang sama sulit dengan kegiatan usaha sehari-hari mereka diawasi oleh SKK Migas. Pengaturan ini merupakan hambatan utama untuk menciptakan lingkungan usaha kondusif yang optimal untuk mendorong lebih banyak PMA di sektor migas.
Peraturan terkait yang perlu direvisi adalah: UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ; PP 35/2004, tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas, dan setiap perubahan atasnya; Perpres 95/2012, tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi; dan Perpres 9/2013, tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Dampak
Peran SKK Migas yang saling bertentangan (sebagai regulator dan sebagai mitra dalam kontrak KKS) telah membuat SKK Migas lebih dominan daripada kontraktor PSC. Singkatnya, situasi ini tidak menyediakan ruang kesempatan yang sebanding (level playing field) bagi para pihak yang terlibat.
Selain itu, peran SKK Migas sebagai regulator sering lebih mendominasi daripada perannya sebagai mitra bisnis kontraktor. Akibatnya berdampak negatif pada kegiatan operasional kontraktor PSC dan kinerja bisnis, hal ini tentu merugikan produksi migas. Hal ini tidak sejalan dengan tugas SKK Migas sebagaimana diatur dalam UU 22/2001, yaitu untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dari sektor migas.
Rekomendasi
Merevisi Perpres 9/2013 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi guna memindahkan peran SKK Migas dari manajemen mikro untuk fokus kepada menghasilkan lebih banyak migas sebagai tugas utama, memperkuat perannya sebagai fasilitator dalam bisnis hulu migas bumi, dan kedua, membatasi kewenangannya untuk mengeluarkan peraturan dengan mentransfer peran tersebut ke kementerian energi.
Tantangan Keempat: Memperbarui Kontrak-Kontrak Bagi Hasil
Sebuah daftar panjang kontrak besar PSC antara Pemerintah dan kontraktor akan berakhir dalam 4-7 tahun ke depan. Menurut PP 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu migas, kontrak dapat diperpanjang selama maksimal 20 tahun untuk setiap perpanjangan. Sayangnya, Pemerintah belum memulai pembahasan mengenai pembaharuan atau renegosiasi kontrak.
Saat ini, menurut data SKK Migas, ada 23 kontrak yang akan jatuh tempo antara 2018 dan 2021. Perusahaan eksplorasi dan produksi asing merupakan pemain utama di sektor migas bersama dengan raksasa energi milik negara yakni Pertamina dan Medco Energi, yang merupakan perusahaan minyak terbesar dalam negeri.****
Ladang minyak yang menua dan penurunan kegiatan eksplorasi telah memberi kontribusi menurunnya produksi minyak, yang merosot ke 942.000 bph pada tahun 2011 dan terus merosot. Karena ada peningkatan permintaan untuk minyak mentah, yang tumbuh dari 1.14m bph pada tahun 2001 menjadi 1.6m bpd di 2013, impor-pun harus dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah harus segera memperbaiki iklim investasi di sektor migas.
Dampak
Ketidakpastian mengenai perpanjangan kontrak berpotensi membuat pemegang PSC enggan untuk berinvestasi, dan ini mungkin memiliki dampak buruk pada produksi migas. Ketidakpastian ini juga berpotensi menyebabkan operator migas yang selama ini mengelola blok-blok migas untuk melakukan penghentian investasi.
Rekomendasi
Iklim investasi akan meningkat jika pemerintah segera memutuskan tentang masa depan dari 23 kontrak, apakah akan memperpanjang atau memilih kontraktor baru untuk mengelola blok migas. Kami merekomendasikan pemerintah untuk memulai proses perpanjangan PSC dengan transparan dan kejelasan proses perpanjangan PSC. Pemerintah harus segera memutuskan dengan pertama menempatkan kepentingan nasional untuk meningkatkan kepastian berusaha.
Proses review akan optimal jika fokus pada langkah-langkah yang diperlukan untuk memaksimalkan produksi dan nilai aset migas dalam payung PSC. Pemerintah harus mempertimbangkan keahlian dan pengetahuan global dan lokal ketika memutuskan skenario terbaik. (*)
Tulisan ini merupakan bagian dari laporan riset Paramadina Public Policy Institute pada 2014 dengan judul ‘Indonesia’s New Path: Promoting Investment, Nurturing Prosperity. DOWNLOAD / UNDUH laporan lengkapnya DI SINI
*)Hukum dan peraturan yang relevan mengenai masalah ini adalah: UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas; PP 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi; Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 22 Tahun 2008 tentang Jenis-Jenis Biaya Kegiatan Hulu Minyak Dan Gas Bumi Yang Tidak Dapat Dikembalikan Kepada Kontraktor Kontrak Kerjasama.; Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 11, paragraf (2), yang menyatakan bahwa anggaran negara terdiri dari pendapatan, belanja, dan pembiayaan anggaran; dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara: pasal 1, paragraf (22) tentang kerugian negara sebagai akibat dari perilaku melawan hukum; dan pasal 41, paragraf (4) tentang manajemen investasi.
**)PP 79/2010 tentang Biaya Operasi dan Pendapatan Refundable Pengobatan Pajak di Hulu Minyak dan Gas Bumi pasal 38 (a) menyatakan bahwa kontrak yang dibuat sebelum peraturan ini harus tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir. Namun, dalam pasal 38 (b) ada daftar sejumlah ketentuan transisi tidak ditentukan dalam kontrak, termasuk jumlah pendapatan, biaya operasi yang dikembalikan, dan norma-norma pada beban usaha charges.that mungkin memiliki aplikasi retroaktif.
***) Kitab Hukum Perdata (KUHPerdata) pasal 1338 ayat (1) menyatakan bahwa semua perjanjian hukum dibuat sesuai dengan hukum yang ada mengikat.
****) Kontrak-kontrak yang berakhir pada 2018: Tuban (JOB Pertamina-Petrochina); Ogan Komering (JOB Pertamina-Talisman); North Sumatera Offshore (NSO) B (ExxonMobil); Southeast Sumatera (CNOOC); Tengah (Total); NSO-NSO, Aceh Extent (ExxonMobil); Sanga-Sanga, Kalimantan Timur (VICO); W. Pasir and Attaka (Chevron Indonesia Company). Contracts expiring in 2019: Bula (Kalrez Petroleum); Seram-Non Bula (Citic); Pendaopo and Raja (JOB Pertamina-Golden Spike); Jambi Merang (JOB Pertamina-HESS). Contracts expiring in 2020: South Jambi B (ConocoPhillips); Selat Malaka (Kondur Petroleum); Brantas (Lapindo); Salawati (JOB Pertamina-Petrochina); Kepala Burung A (Petrochina International Bermuda); Sengkang (Energy Equity); Makassar Strait Offshore Area A (Chevron Indonesia Company). Contracts expiring in 2021: Rokan (Chevron Pacific Indonesia); Bentu Segat Kalila (Muriah Petronas); Selat Panjang (Petroselat Nwd).
Sumber gambar 1: Detik.com
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.