BRIDGING THE GAP: Mencerna Ketimpangan Ekonomi Tanpa Kening Berkerut

buku-dua

Kabar24.com, JAKARTA — Sudah banyak ulasan tentang masalah ekonomi dan kesejahteraan sosial yang dihadapi bangsa, tapi tak banyak yang disampaikan secara naratif dan mudah ditangkap esensinya.

Bridging the Gap, Mengurangi Ketimpangan, Meluruskan Esensi Pembangunan barangkali bisa dimasukkan kategori tersebut.

Penulisnya, Wijayanto Samirin, memang tak berpretensi membuat karya canggih yang bikin kening berkerut. Sebaliknya, Wakil Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, itu ingin agar orang bisa mencerna hal-hal serius—seperti soal ketimpangan ekonomi itu—dengan santai.

Rasanya benar belaka perkataan Jusuf Kalla bahwa isi buku tersebut begitu renyah sehingga sulit berhenti membaca. Mungkin seperti buku-buku ‘sersan’ (serius tapi santai) ala Malcom Gladwell itu…

Bridging the Gap lahir dari sebuah paper berjudul ‘Mengurangi Ketimpangan, Meluruskan Esensi Pembangunan,’ yang dibuat penulis dalam rangka HUT ke-14 Universitas Paramadina.

Selain mendalami kajian ilmiah, Wijayanto ‘mengalami’ seperti apa sesungguhnya ketimpangan ekonomi masyarakat lewat perjalanan liburan bersama keluarga pada akhir tahun 2013, dengan menyisir Pulau Jawa dan Madura selama dua minggu.

“Perjalanan…tersebut ternyata sangat membantu saya dalam mengonstruksikan isu ketimpangan di Indonesia. Setiap kilometer yang kami lalu membantu saya menghirup dan merasakan masalah pelik yang dihadapi negeri ini.”

Ketimpangan ekonomi, tulisnya, adalah isu menentukan. Sukses suatu generasi akan sangat ditentukan oleh kemampuan bangsa dalam mewujudkan kesetaraan. Dia menilai, walau ketimpangan merupakan isu krusial, namun kurang mendapat perhatian di negeri kita.

Padahal krisis di Tunisia, Libya, dan Mesir, yang dikenal sebagai Arab Spring, sedikit banyak terjadi karena ketimpangan ekonomi yang tak tertangani, disertai tidak adanya mobilitas sosial.

Produk Domestik Bruto (nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu) Indonesia memang besar, mencapai US$900 miliar, sehingga dikategorikan sebagai perekonomian terbesar ke-16 di dunia. Persoalannya, jumlah penduduk yang sangat besar—250 juta jiwa—membuat pendapatan rata-rata penduduk rendah.

Namun angka PDB bukan segalanya. Faktor penyebab pertumbuhan juga penting dipertimbangkan (Hal.24). Apakah PDB Indonesia yang ekonominya berbasis sumber alam sama nilai dan daya tahannya dibandingkan dengan yang diperoleh dari peningkatan nilai tambah, sebutlah Korea Selatan? Tentu saja tidak.

Wijayanto, alumni ekonomi dan manajemen dari UGM dan Georgetown University ini, menganalogikan negara sebagai klub sepak bola, dengan para pemain dan pengurus tim seumpama penduduk dan pemerintahnya. Kemenangan berperan penting karena berdampak pada pendapatan klub.

Pemain dari klub kaya pasti memiliki gaji tinggi dibandingkan tim di bawahnya, tapi pembagian pendapatan tidak merata. Bintang macam Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi pasti memiliki pendapatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan rekan-rekannya.

Nah, di Indonesia ada kelompok superkaya dan ada kelompok yang lebih besar lagi, yang masih hidup dalam kemiskinan. Jurang antara si kaya dan miskin itu semakin menganga. Berdasarkan Indeks Gini, ketimpangan di Indonesia bertambah lebar pada periode 2002-2013, seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi.

“Yang menarik, ternyata ada korelasi kuat antara pertumbuhan ekonomi dan peningkatan ketimpangan,” tulisnya.

Lalu, bagaimana mengakhiri ketimpangan? Di dalam buku ini dilukiskan pentingnya kebijakan publik yang tepat. Contohnya di Eropa—terutama di negara-negara Skandinavia—yang terkenal dengan pengenaan pajak progresif, yang berhasil menurunkan secara signifikan level ketimpangan pendapatan. Negara memanfaatkan dana pajak yang besar untuk membangun utilitas publik sehingga fasilitas pendidikan dan kesehatan jadi murah, bahkan gratis.

Dalam kasus Indonesia, kebijakan ekonomi yang mampu menyentuh rakyat jelata secara langsung juga diyakini mampu mengangkat derajat ekonomi penduduk di desa-desa (Hal. 145). Rinciannya seperti apa? Wijayanto menjelaskannya secara komprehensif dan solutif dalam bukunya ini.

Selain Bridging the Gap, Mengurangi Ketimpangan, Meluruskan Esensi Pembangunan, Wijayanto juga meluncurkan No Easy Way, Indonesia’s Epic towards Prosperity. Buku dalam bahasa Inggris ini merupakan kumpulan tulisan opininya di sejumlah media massa.

Dia berharap lewat karyanya itu pembaca internasional mendapatkan perspektif utuh tentang perjuangan panjang dan berliku Indonesia dalam mencapai kemakmuran. (Kabar24.com)

Sumber



Author: Admin PPPI
Research, News, and Information Updates from Paramadina Public Policy Institute

Leave a Reply