- October 1, 2014
- Posted by: Septa Dinata
- Category: Economy, Infrastructure, Original
Muhamad Rosyid Jazuli
Salah satu PR besar bangsa ini adalah mempertahankan pertumbuhan positif ekonomi negara ini. Saat ini, pertumbuhannya masih positif, tetapi margin pertumbuhan itu makin menurun.
Pada kuartal kedua 2011 pertumbuhan kita mencapai 6.5%. Sebagai negara yang baru terkena krisis pada 2008, pertumbuhan tersebut menggembirakan. Tapi pada kuartal kedua 3 tahun setelahnya, 2014, pertumbuhan Indonesia terjungkal pada posisi 5.1%.
Bukan menambah porsi anggaran pembangunan sebagai tenaga utama untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pemerintahan jilid II SBY menyesaki anggaran negara dengan beban konsumsi lembaga dan subsidi. RAPBN 2015 menunjukkan 22,9%-nya untuk anggaran pendidikan, 14,3% -nya untuk gaji PNS, 7,6% untuk bayar bunga utang, 31,69% dana transfer daerah, dan 18% subsidi energi. Hanya tersisa 5,5% anggaran. Itu belum dikurangi 2,3% defisit. Sehingga ruang gerak yang disediakan hanya kira-kira 2,7%. Jika demikian, bagaimana ekonomi Indonesia bisa tumbuh?
Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya diperoleh dari kenaikan 4 sektor: konsumsi, belanja pemerintah, investasi, dan selisih ekspor impor. Sayangnya, peningkatan konsumsi tak mungkin diharapkan. Daya beli masyarakat tak menunjukkan perbaikan mengingat kurs rupiah yang lemah. Belanja pemerintah juga tak mungkin ditambah lagi, sementara neraca perdagangan ekspor impor kita sudah defisit.
Satu-satunya sektor yang masih menyimpan harapan adalah investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Tentu kita tak bisa mengharapkan investasi ini datang dari dalam negeri. Dari sisi pemerintah sudah tidak ada lagi alokasi untuk investasi. Investasi dari perusahaan dalam negeri pun kurang bisa diandakan untuk bisa dongkrak pertumbuhan.
Janji pertumbuhan besar yang mungkin diharapkan kini berada pada investasi luar negeri atau penanaman modal asing (PMA, foreign direct investment). Salah satu sumber modal asing terbesar di Indonesia adalah dari perusahaan-perusahaan AS yang mencapai angka 65 juta dollar (650 trilliun rupiah) pada rentang 2004 – 2012.
Angka tersebut didapat dari riset yang dilakukan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) pada 2013 lalu bersama EY dan UGM yang berjudul “Partners in Prosperity: US Investment in Indonesia”. Dalam riset tersebut diungkap bahwa potensi PMA yang masuk akan jauh lebih besar lagi. Indonesia memiliki potensi kekuatan untuk tumbuh melalui PMA salah satunya dari investasi perusahaan-perusahaan AS senilai 61 juta dollar pada rentang lima tahun ke depan. Itu belum termasuk dari PMA dari negara lain.
Potensi tersebut tentu membawa angin segar untuk mendorong kemajuan ekonomi Indonesia. Namun mewujudkan potensi itu bukan masalah mudah rupanya di nusantara ini.
Dalam risetnya, PPPI menulis terdapat tiga ‘bata penghalang’ realisasi investasi khususnya PMA di Indonesia (pada beberapa kasus ini juga menimpa penanaman modal dalam negeri). Ketiganya adalah ketidakjelasan regulasi, kurangnya infrastruktur dan lemahnya sumberdaya manusia di negeri ini.
Dari sektor regulasi, kita masih berkutat pada masalah-masalah klise seperti lamanya prosedur pengajuan investasi dan tumpang tindihnya satu aturan dengan yang lain. PPPI mengungkap bahwa mendaftarkan entitas bisnis di Indonesia perlu 15.3 prosedur sementara di Negara tentangga seperti singapura 8,3, Malaysia 10,5 dan Thailand pada 11,5 prosedur. Di samping itu, banyak peraturan yang dibuat pemerintah yang tidak berdasarkan bukti dan riset lapangan.
Dari sektor infrastruktur, Indonesia dipandang jauh tidak kompetitif bila disbanding negara-negara lain seperti di ASEAN dalam hal kapasitas bandara, pelabuhan, jalan, rel dan infrastruktur pendukung lainnya. Sedikitnya belanja negara dibidang investasi sudah bisa menjadi acuan kalau memang pemerintah tak serius ‘membuka tangan’ untuk penanaman modal. Selain itu, dibanding negara-negara di kawasan, katakanlah ASEAN, Indonesia sudah dinilai sebagai negara yang paling kurang mendukung kerjasama pemerintah dan swasta atau public private partnership.
Sementara dari sektor sumberdaya manusia, Indonesia dipandang tidak bisa menyediakan suplai ‘manusia-manusia terdidik dan terampil’. Tentu panas sekali telinga kita mendengarnya, tapi kenyataannya demikian.
PPPI menemukan, Indonesia telah berhasil menyelenggarakan pendidikan dasar, tapi tidak pada pendidikan menengah hingga tinggi. Banyak potensi manusia di Indonesia yang akhirnya berakhir pada tenaga kerja rendahan karena asupan pendidikan yang kurang. Di samping itu, lemahnya kesinambungan antara dunia sekolah dengan dunia kerja menjadi masalah besar. Banyak lulusan universitas yang gagap menghadapi dunia kerja karena kurang mendapat pendidikan yang berkaitan dengan dunia kerja semisal magang dan kewirausahaan di masa kuliah.
Bagaimanapun juga, tantangan tetaplah jadi tantangan bila tidak dihadapi dan di-tackle. Bila dibiarkan akan benar-benar jadi hambatan. Impian akan kemajuan negara ini bisa jadi pupus di tengah jalan karena pembiaran-pembiaran.
Ini semua harus menjadi perhatian besar bagi pemerintahan baru, Jokowi-JK. Investasi sebagai sektor yang paling memberi harapan harus digenjot dan diupayakan. Inilah ujian kepemimpinan dan kemauan Jokowi JK jika ingin benar-benar memajukan Indonesia. (*)
Sumber gambar: www.rigzone.com
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.