Terjadi Salah Kelola Pemerintah dalam Menangani Pandemi Covid-19 di Indonesia

RILIS PERS – 27 Juli 2021

 

Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini menyatakan pemerintah telah gagal dalam mengatasi pandemi covid-19 di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan terjerambabnya Indonesia sebagai episentrum global covid-19. Dimana hal ini kemudian memicu sejumlah ekspatriat untuk hengkang dari Indonesia yang juga menunjukkan ketidakpercayaan mereka terhadap kemampuan pemerintah dalam mengendalikan pandemi.

Hal itu dinyatakan Didik dalam diskusi publik Paramadina Public Policy Institute (PPPI) bertema “Evaluasi Kebijakan Penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia yang diselenggarakan secara daring pada 27 Julil 2021.

Tampil sebagai pembicara pada diskusi tersebut Managing Director PPPI Ahmad Khoirul Umam, Ph.D, pengajar Paramadina Graduate School of Communication (PGSC) Abdul Malik Gismar Ph.D, dan mantan Ketua Komisi Informasi Pusat RI Abdul Rahman Ma’mun, MA. Diskusi dimoderatori oleh Prisca Niken, mahasiswi PGSC yang juga mantan jurnalis di salah satu stasiun televisi swasta.

Didik menjelaskan, kegagalan pemerintah dalam menangani pandemi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya, sikap denials pemerintah di awal pandemi yang menyebabkan Indonesia kehilangan golden time atau momentum emas pengendalian pandemi, organisasi penanganan krisis yang tidak solid yang ditandai dengan berganti-gantinya komando penanganan covid, dan komitmen pemerintah yang lemah terhadap stakeholders dan mitra seperti tenaga kesehatan dan pihak Rumah Sakit.

Kritik terhadap kebijakan penanganan pandemi pemerintah juga disampaikan oleh Ahmad Khoirul Umam yang menyatakan bahwa telah terjadi mismanagement penanganan pandemi oleh pemerintah.

Mismanagement ini dikatakan Umam akibat dari kegagalan kalkulasi yang dilakukan pemerintah sejak dari awal bahkan hingga saat ini. Salah satu kegagalan kalkulasi itu, dicontohkan Umam adalah pengiriman bantuan tabung oksigen ke India tanpa mengkalkulasi secara proper risiko yang dihadapi Indonesia sendiri. Akibatnya, terjadi kelangkaan oksigen saat Indonesia dihantam oleh ledakan kasus pada bulan Juni-Juli kemarin, yang menyebabkan hilangnya nyawa pasien covid di sejumlah rumah sakit di berbagai wilayah di Indonesia.

Hal tersebut menunjukkan pemerintah telah gagal dalam melindungi warganya. Umam juga menyoroti lemahnya ketegasan kebijakan imigrasi pemerintah yang gagal mengantisipasi risiko penyebaran varian Delta dari India.

Umam kemudian menyatakan bahwa untuk meluruskan mismanagement yang dilakukan pemerintah tersebut, perlu sikap kritisisme publik terhadap kebijakan yang diambil pemerintah. Sikap kritisisme ini harus ditumbuhkan dan dilindungi agar publik dapat bersama berpartisipasi dalam mengeluarkan Indonesia dari situasi krisis akibat pandemi ini.

Sementara, Abdul Malik Gismar menekankan pentingnya pemerintah menjadi mercusuar komunikasi yang memberikan kejelasan dan kepastian bagi publik terkait pandemi covid-19.

Tanpa kejelasan, menurut Malik, sangat wajar jika bermunculan banyak rumor dan hoax (baik berupa misinformasi maupun disinformasi) terkait covid-19. Hal ini karena pada dasarnya rumor muncul sebagai respon psikologis masyarakat dalam menenangkan keresahan dan kegelisahan yang mereka alami sebagai akibat dari ketidakpastian informasi yang mereka terima.

Pendapat Malik di atas dikuatkan oleh Abdul Rahman Ma’mun. Abdul Rahman menyatakan pentingnya keterbukaan pemerintah dalam memberikan informasi dan data sejelas mungkin kepada publik untuk melawan hoax.

Transparansi informasi oleh pemerintah, menurut Abdul Rahman, akan menumbuhkan trust publik kepada pemerintah yang pada gilirannya akan memicu partisipasi publik. Partisipasi publik secara massif ini akan sangat berperan dalam menentukan keberhasilan Indonesia keluar dari pandemi. Abdul Rahman mengingatkan agar katup partisipasi publik tidak ditutup dengan melakukan pembungkaman terhadap kritik. (*)

 

Untuk bahan lengkap dari pembicara, dapat menghubungi Ika Karlina Idris, Ph.D di ika.karlina@paramadina.ac.id