Mendorong Peta Jalan Vaksin dan Mengangkat Hambatan Akses Pengobatan COVID-19

(Photo credit: Bloomberg)

Muhamad Iksan

6 November 2020

 

Sudah lebih dari sembilan bulan, corona “hidup” ditengah-tengah kita warga Indonesia. Angka kasus virus pertama kali terdeteksi di Wuhan, China Daratan di seluruh dunia sudah mencapai lebih dari 48 juta kasus, dengan lebih dari 34 juta penderita dinyatakan sembuh, serta lebih dari 1 juta penderita meninggal.

Berdasarkan kawalcovid19.id, angka kasus corona mencapai lebih dari 410,000 kasus dengan pasien dalam perawatan lebih dari 55 ribu orang, pasien yang sembuh akibat virus ini mencapai lebih dari 345 ribu dan pasien yang meninggal mencapai lebih dari 140 ribu.

Saat artikel ini disiapkan, pada tanggal 9 sampai 14 November 2020 Organisasi Kesehatan Dunia akan mengadakan Sidang Umum yang ke-73 ditengah pandemi yang masih jauh dari selesai.  Sejak akhir Oktober lalu, Negara-negara yang berada di wilayah benua Eropa, seperti Belgia, Kroasia, Republik Ceko, Perancis, Jerman, Hungaria, Polandia, Portugal, Slowakia, Ukraina dan Inggris Raya, telah memasuki fase kedua dari siklus pagebluk yang dianggap lebih berbahaya dari fase pertama.

Berita buruk terus menerus tentang pagebluk ini kerap membuat kita menjadi lebih gelisah dan semakin khawatir. Walaupun begitu, sejak pertengahan tahun ini kerjasama sektor swasta, dengan universitas dan lembaga penelitian pemerintah, telah merespon dengan cepat hadir dan bertahannya virus dalam waktu lama. Lebih dari 140 perawatan dan vaksin virus korona eksperimental sedang dikembangkan di seluruh dunia, termasuk 11 dalam uji klinis.

Artikel ini mengulas dua hal yang saling berkaitan: pertama, perlunya peta jalan vaksin Covid-19 terutama bagi gugus terdepan pengobatan dan kalangan paling rentan di masyarakat kita, serta kedua, yang sering terlupakan bagaimana dapat menyembuhkan pasien yang terkena penyakit akibat Severe Acute Respiratory Syndrome COronaVirus 2 (SARS-Cov-2).

Peta Jalan Vaksin

Pemerintah sedang terus melakukan finalisasi peta jalan vaksin corona mencakup, seperti dinyatakan Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 profesor Wiku Adisasmito, yang mencakup kandidat vaksin serta penyusunan tahapan prioritas penerima vaksin.

Selain kandidat dan tahapan prioritas, peta jalan juga akan mencakup teknis vaksinasi, dosis per orang termasuk jarak pemberian vaksin, dan terpenting tidak lain dari estimasi anggaran pembelian vaksin.

Pemerintah juga telah mempertimbangkan berbagai hal dalam menyusun peta jalan, misalnya bagaiamana mencapai efektivitas vaksin yang maksimal, atensi terhadap rantai dingin vaksin (cold chain) dan juga kapasitas Sumber Daya Manusia yang melibatkan beberapa jenis tenaga kesehatan termasuk vaksinator.

Saya sepakat dengan pernyataan Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 yang meminta warga masyarakat Indonesia mematuhi protokol 3M mencakup memakai masker, menjaga jarak, dan Mencuci tangan sebagai usaha pencegahan utama (primer). Kehadiran vaksin pada waktunya dan tidak bisa terburu-buru dalam prosesnya tidak menggugurkan serta membuat kita lupa 3M.

Walaupun begitu, usaha 3M tertuju kepada warga masyarakat seluruh Indonesia, tetap perlu diperkuat dengan upaya pemerintah 3T yaitu Testing berupa pengujian yang akurat dan terjangkau, Tracing terdiri dari usaha penelusuran terhadap kontak erat, kasus suspek, serta konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik) dan terakhir Treatment yaitu pengobatan penderita Corona.

Pelajaran paling berharga dari apa yang belum kokoh dari penanganan pandemi tidak lain pembagian kerja yang jelas sesuai mandat aturan yang ada antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Semangat kolaborasi – bergotong royong mengatasi dampak pandemi ini menjadi kunci seberapa cepat pemulihan ekonomi, yang memerlukan perbaikan kesehatan publik.

Hambatan Akses Pengobatan

Pemberian vaksin yang disertai perubahan gaya hidup di era kenormalan baru harapannya akan menurunkan angka kasus penyakit akibat virus corona. Namun hal lain yang juga wajib dicarikan jalan penyelesaiannya ialah bagaimana menemukan pengobatan bagi pasien yang sakit, dengan harapan tingkat kematian (fatality rate) akibat Covid-19 sekitar 3.4 persen (Data Gugus Tugas Covid).

Detail dari pasien yang meninggal, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, persentase angka kematian menurut golongan usia. Kelompok usia pasien di atas 60 tahun memiliki angka kematian yang lebih tinggi disbanding golongan usia lainnya. Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin sebanyak 58.5 persen  adalah laki-laki, sisanya sebesar 41.5 persen adalah perempuan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang penyebab pasien Covid meninggal dikarenakan tidak hanya karena terjangkit virus, tetapi juga pasien terlebih dahulu memiliki penyakit bawaan tertentu (komorbiditas), diantaranya diabetes mellitus, ginjal, jantung koroner, hipertensi, tuberkolosis, autoimun (lupus), penyakit paru obstruktif kronis, tumor/kanker, penyakit terkait geriatri, serta penyakit kronis lainnya.

Dari aspek hambatan terhadap akses pengobatan, rekomendasi kebijakan bersama yang baru dipublikasikan oleh Koalisi Bersama dari 29 lembaga riset (think tank) seperti Geneva Network dan Paramadina Public Policy Institute menyerukan pemerintah untuk berkomitmen pada penyederhanaan aturan sehingga mempercepat akses ke obat-obatan, termasuk obat yang sedang dalam proses pengembangan untuk Covid-19.

Selain itu, pemerintah juga perlu merelaksasi tarif impor, pajak penjualan dan pungutan lainnya diterapkan oleh banyak negara pada obat-obatan dan vaksin. Tanpa tindakan serupa , kuat dugaan akan harga obat akan melambung ditambah lagi akan mengurangi ketersediaan. Di banyak negara, pajak dalam negeri dapat mencapai 20-30% dari harga akhir yang dibayar orang untuk obat-obatan

Dengan relaksasi tarif impor obat pada akhirnya akan membantu pasien. Mengapa hal ini dapat terjadi? Karena saat ini rantai nilai manufaktur farmasi semakin mengglobal; bahkan tarif rendah memiliki dampak kumulatif pada harga akhir produk, yang pada akhirnya dibayar oleh pasien. Merelaksasi tariff, bila memungkinkan penghapusan tarif ini, akan membantu meringankan biaya yang ditanggung pasien hingga mencapai 6,2 miliar USD di China, 2,8 miliar USD untuk pasien di Rusia, 2,6 miliar USD bagi pasien di Brasil, 737 juta USD untuk pasien India, dan 252 juta USD bagi pasien di Indonesia sebagaimana studi Matthias Bauer (2017).

Terakhir, hambatan birokrasi cukai kiranya perlu ditinjau ulang untuk menjaga obat-obatan melintasi perbatasan secepat mungkin. Kita tidak dapat membiarkan pasien menunggu. hingga tujuh tahun untuk pengobatan baru sambil menunggu otoritas pengawas obat nasional untuk menyetujuinya, bahkan jika obat-obatan tadi telah dinyatakan aman dan efektif oleh otoritas pengatur yang ketat seperti dari Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat atau European Medicines Agency (EMA). Di Indonesia, tata kelola dan tata laksana berada dibawah tanggung jawab Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPPOM).

Krisis kesehatan publik dan ekonomi akibat Covid-19 nampaknya belum akan selesai dalam waktu dekat, sehingga kerjasama dan kolaborasi antara pemerintah, warga Negara dan sektor non-pemerintah baik sektor bisnis maupun masyarakat sipil menjadi kunci percepatan pemulihan kehidupan bersama kita.

*Muhamad Iksan adalah peneliti senior pada lembaga riset Paramadina Public Policy Institute di bawah Universitas Paramadina – Jakarta. Saat ini sedang bersekolah di National Cheng-Kung University (NCKU) – Tainan, Taiwan.

Artikel ini pertama kali terbit di RadarBangsa.com