Dilema Profitabilitas dalam PPKM

Penyekatan jalan raya di masa PPKM Darurat (Foto: detikcom/Agung Mardika)

Adrian A Wijanarko

detikcom, Kolom – 14 Juli 2021

 

Jakarta – Penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Indonesia memang seperti pil pahit bagi sektor bisnis. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 tentang PPKM Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali pada 2 Juli 2021 menjadi babak baru pemberlakuan pembatasan sosial pada second wave COVID 19 di Indonesia.

PPKM di Jawa dan Bali ini mengatur tentang pembatasan berbagai kegiatan bisnis. Hampir seluruh kota besar di Jawa dan Bali masuk Kriteria 3 dan 4 yang mengharuskan 100% melakukan work from home (WFH) untuk sektor non esensial. Pusat perbelanjaan juga dibatasi pengunjungnya sampai dengan 50% dengan jam operasi maksimal pukul 20.00 (covid.go.id, 2021).

PPKM yang mulai diberlakukan pada Sabtu, 3 Juli, baru terasa dampaknya pada Senin, 5 Juli. Pada saat itu masyarakat kembali melakukan kegiatan secara normal. Terpantau kondisi lalu lintas di berbagai ruas jalan mengarah ke Jakarta mengalami kemacetan yang cukup panjang.

Banyak masyarakat yang berdalih bahwa belum mengetahui peraturan PPKM yang sudah diberlakukan. Kondisi ini memancing pertanyaan menggelitik. Apakah memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?

Kebijakan untuk membatasi kegiatan bisnis non esensial memang bukan kabar baik untuk ekonomi masyarakat. Faktor adaptasi teknolog menjadi kunci untuk bisa beradaptasi selama masa COVID-19. Kegiatan WFH yang mengharuskan karyawan bekerja dari rumah membutuhkan infrastruktur teknologi yang memang tidak kecil.

Infrastruktur teknologi dalam perusahaan yang perlu diadaptasi selama masa COVID-19 tidak hanya sebatas aplikasi video conference dan chat messenger saja. Perubahan alur kerja dan sistem informasi manajemen dalam organisasi perlu diubah pula. Jelas dibutuhkan investasi besar dalam perubahan ini, dan hal ini menyebabkan tidak semua perusahaan dapat melakukannya.

Tidak mendukungnya faktor teknologi perusahaan untuk mendukung efektivitas karyawan bekerja di rumah menyebabkan banyak perusahaan yang masih bandel untuk membuat pekerja untuk bekerja di kantor. Oleh karena itu, menghukum karyawan yang masih bersikeras datang ke kantor adalah hal yang tidak tepat. Ibaratnya, “Siapa yang mau datang ke kantor di masa pandemi ini?”

Permasalahan ini sempat dilhat oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Saat itu Gubernur Anies melakukan sidak dan mendapatkan beberapa kantor di Jakarta masih mengharuskan karyawannya untuk datang bekerja. Celakanya, satu karyawan di antara yang kedapatan Anies adalah karyawan yang sedang mengandung.

Memang mengelola bisnis selama masa pandemi bukan kondisi ideal. Pembatasan operasional, penurunan daya beli masyarakat, dan perubahan perilaku konsumen menjadi penyebab kendala penurunan kinerja perusahaan secara umum.

Namun kita dapat mengajukan pertanyaan ke dalam diri kita sendiri, “Apa rela kita memaksa orang lain bepergian ke luar rumah di masa puncak krisis kemanusiaan saat ini?”

Kalau benar banyak masyarakat masih berpergian keluar untuk beraktivitas ke kantor pada Senin lalu, apakah perusahaan tidak melakukan sosialisasi kepada karyawan untuk bekerja dari rumah? Apa memang profitabilitas menjadi harga mati di masa ini, yang nyawa manusia sudah banyak berguguran?

Momentum ini selayaknya digunakan perusahaan untuk meningkatkan engagement atau keterlibatan antara perusahaan dan karyawan. Sektor bisnis dapat memperlihatkan bahwa mereka benar-benar peduli kepada seluruh anggota yang terlibat di dalamnya. Kepedulian perusahaan dapat di masa pandemi ini dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, seperti melindungi penerapan protokol kesehatan di lingkungan kerja sampai dengan memberikan suplemen dan vitamin.

Dengan engagement yang diperlihatkan oleh perusahaan, karyawan akan melihat bahwa mereka sangat dihargai. Bentuk perhatian yang diberikan oleh perusahaan tentu akan berdampak baik pula bagi perusahaan.

Loyalitas karyawan yang berdampak kepada terhadap profitabilitas perusahaan, nama baik perusahaan, sampai dengan bentuk promosi kepada pelanggan dan calon karyawan bahwa perusahaan dijalankan dengan nilai integritas yang tinggi.

Memang dampak tersebut tidak akan dirasakan secara instan. Ibaratkan sebuah investasi, engagement terhadap karyawan akan menghasilkan return yang akan dinikmati dalam jangka panjang. Investasi terhadap karyawan adalah salah satu bentuk investasi yang menguntungkan bagi organisasi.

Apabila memang perusahaan tidak bisa berinvestasi dalam sektor teknologi di masa pandemi ini, bukankah baiknya perusahaan bisa ikut berinvestasi terhadap karyawan untuk profitabilitas perusahaan di jangka panjang? (*)

Adrian Wijanarko, Kepala Jurusan Manajemen Universitas Paramadina, Research Fellow di Paramadina Public Policy Institute

Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Kolom detikcom, 14 Juli 2021.