Pelibatan Militer dalam Penanganan Covid-19

Sumber: inews.co.id

Muhamad Rosyid Jazuli

21 Agustus 2020

 

Jakarta – Kebijakan penanganan pandemi Corona di Indonesia memasuki babak baru setelah pada 20 Juli lalu Presiden Joko Widodo membubarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (Gugus Tugas) dan membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (Komite). Yang paling mutakhir, Ketua Pelaksana Komite, Menteri BUMN Erick Thohir mengangkat KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa sebagai wakilnya.

Tersurat, intervensi dampak kesehatan dan ekonomi dari pandemi Covid-19 di Indonesia bukan hanya dijalankan bersamaan, tapi juga makin kompleks dengan pelibatan unsur militer di dalamnya. Babak baru ini perlu mendapat perhatian serius.

Di tengah masih tingginya potensi penambahan kasus baru Covid-19, pembentukan Komite sesuai Perpres No. 82/2020 ini jelas jadi “samsak” kritik tajam publik. Idealnya, Komite seharusnya dibentuk setelah grafik Covid-19 mulai menurun angka penambahan kasusnya. Alih-alih mengoptimalkan kinerja Gugus Tugas sebelumnya, Komite ini dianggap, oleh INDEF misalnya, menambah belit-belit birokrasi penanganan pandemi ini.

Belum reda kritiknya, kini Komite melibatkan unsur militer, yakni TNI Angkatan Darat demi sosialisasi dan kampanye yang lebih efektif dari kebijakan dan programnya. Memori publik terhadap militerisme di masa lalu memang beragam. Namun, dalam konteks sejarah politik dan perumusan kebijakan, khususnya di era Orde Baru, publik punya memori kurang berkesan, karenanya idealnya militer tidak perlu dilibatkan.

Tetapi, seringkali situasi nyata tidaklah ideal. Pemutaran roda ekonomi dan sosial yang sempat “mandek” karena pembatasan sosial berskala besar (PSBB) perlu diinisiasi jika Indonesia tak ingin jatuh lebih dalam ekonominya. Rendahnya kedisiplinan masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan perlu ditingkatkan jika ingin pandemi segera reda.

Keterlibatan militer bisa jadi membuat kerja Komite makin kompleks dan kontroversial. Tetapi, di lapangan, khususnya ketika terjadi bencana, aparat militer adalah yang paling siap untuk turun tangan misalnya untuk transportasi bantuan dan relokasi pengungsi. Kompleksitas kebijakan respons Covid-19 ini tentu merefleksikan beragam tantangan yang fundamental.

Kompleksitas Tantangan

Telah lebih dari 100.000 kasus Covid-19 muncul di Indonesia. Dari angka itu, sekitar 1,6 juta spesimen diuji dari lebih 900,000 orang. Angka ini jauh lebih besar ketimbang jumlah individu yang diuji di Selandia Baru, yang penanganan pandeminya dipuji dunia, yakni sekitar 400,000 orang. Meski masih relatif rendah, kapasitas pengujian dan tracing Covid-19 di Indonesia makin naik. Artinya, akan makin banyak kasus baru yang termonitor.

Di satu sisi, ini berita baik. Di sisi lain, ini berarti grafik Covid-19 tidak akan menurun dalam waktu dekat. Penanganan pandemi, khususnya lewat kebijakan PSBB, nyatanya kurang efektif. Penerapannya terhambat oleh koordinasi antarinstansi dan pemerintahan yang buruk. Juga, masyarakat sebagai garda terdepan penanganan pandemi ini kurang disiplin dan menganggap enteng Covid-19 ini.

Sementara itu, pandemi telah memukul ekonomi karena suplai dan permintaan menurun drastis. Selain defisit APBN makin melebar, makin banyak warga, terutama mereka yang hidup dari gaji harian, jatuh miskin atau kehilangan pekerjaannya selama pandemi ini. Ekonomi Indonesia tahun ini dipastikan suram mulai kuartal kedua ini, merosot minus 5,32 persen (BPS, 2020).

Karenanya, fokus Komite pada intervensi dampak kesehatan sekaligus dampak ekonomi pandemi adalah kebijakan cepat, meski bukan ideal, yang patut diapresiasi. Di era krisis, keputusan cepat semacam itu lebih baik daripada yang lambat, meskipun tepat. Hadirnya Komite ini juga diperlukan untuk optimalisasi koordinasi dan realokasi anggaran antar-kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah untuk penanganan pandemi.

Lalu, pelibatan TNI jelas secara ideal adalah keputusan yang sulit diterima. Militer di Indonesia masih lekat dengan citra represif. Namun tanpa mengesampingkan itu, sebagai sumber daya negara, TNI memiliki bukan hanya “pasukan” sampai level paling bawah, tapi juga alur instruksi yang konsisten. Ini berbeda dengan aparat sipil yang alur instruksinya sering tumpang tindih, khususnya di era otonomi daerah ini. Karenanya, pelibatan unsur militer perlu dimaknai sebagai upaya untuk menjaga konsistensi implementasi program Komite dari pusat hingga daerah.

Kompleksitas kerja Komite tersebut tentu tak bebas dari berbagai tantangan yang fundamental. Di antaranya, pertama, pola komunikasi publik dari pemerintah yang belum optimal. Pengalaman sebelumnya, meski telah ada Gugus Tugas, beberapa pimpinan K/L tak jarang mengeluarkan pernyataan dan bahkan programnya sendiri terkait Covid-19, yang tak jarang kontroversial.

LP3ES mencatat terdapat setidaknya 37 pernyataan blunder pemerintah terkait penanganan Covid-19. Ini belum termasuk kalung anti-Corona dari Kementerian Pertanian, serta beda “pulang kampung” dan “mudik” dari Presiden Joko Widodo.

Kedua, masih kurangnya perhatian pemerintah pada penelitian terkait virus Corona ini. Mengandalkan penelitian organisasi internasional seperti WHO memang perlu. Namun, banyak ahli berpendapat bahwa karakter dan cara Covid-19 menyebar di Indonesia sangat mungkin berbeda dari negara lain. Selain tak kunjung mereda pandeminya, kurangnya penelitian terkait sering memicu perdebatan, terutama di kalangan praktisi kesehatan, yang sering memperparah polarisasi politik di masyarakat.

Langkah Mitigatif

Konteks kerja dan tantangan Komite, khususnya dengan pelibatan unsur militer, menunjukkan bahwa di Indonesia urgensi menekan laju penambahan kasus baru Corona dan urgensi untuk segera memutar roda ekonomi dan sosial perlu berjalan secara paralel. Selain itu, kedisiplinan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan juga perlu ditingkatkan. Untuk menyikapi situasi tersebut, langkah-langkah mitigatif seperti berikut dapat dipertimbangkan.

Pertama, Komite harus menjadi pusat pengambilan keputusan dan satu-satunya sumber komunikasi publik dari semua kebijakan dan program terkait Covid-19. Komite perlu memastikan bahwa semua pesan komunikasi publik sinkron, menyeluruh, dan kuat. Terkait keterlibatan militer, penting bagi Komite untuk memastikan bahwa kuasa perumusan materi dan strategi kampanye tetap ada di tangan mereka. Sementara, aparat TNI yang bertugas hanya membantu mengkampanyekan.

Perlu diingat bahwa dengan kapasitas dan doktrinnya TNI tetaplah kombatan, bukan komunikator. Karenanya, pimpinan Komite dan TNI AD yang bertanggung jawab, dalam hal ini Menteri Erick dan KSAD Andika harus memastikan bahwa para aparatnya menjauhi potensi tindakan represif dan fokus pada kampanye masif untuk meningkatkan kedisiplinan masyarakat.

Memang sangat disayangkan, banyak sensasi dan kontradiksi masih sering muncul sendirinya dari pernyataan para pejabat pemerintah. Karenanya, upaya konsistensi pesan dan kampanye masif di atas diharapkan dapat mengurangi potensi kebingungan publik dan menahan munculnya berita-berita sensasional atau clickbait yang dapat mengurangi semangat masyarakat untuk disiplin.

Kedua, para elite dan tokoh dari berbagai sektor seperti bisnis, keagamaan, dan masyarakat sipil perlu dilibatkan dalam kampanye dan pelaksanaan berbagai kebijakan dan program Komite. Aparat militer yang bertugas dalam kampanye protokol kesehatan juga perlu berperan aktif untuk menggaet tokoh masyarakat untuk ikut dalam agenda ini. Di Indonesia, jamak dipahami bahwa masyarakat seringkali lebih mendengar dan menaati perintah pemuka agama dan masyarakat ketimbang pemerintah. Artinya, kebijakan pemerintah, dalam hal ini penanganan pandemi, akan makin efektif dengan melibatkan tokoh masyarakat.

Sebagai contoh, organisasi massa seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah telah sukses mengajak sebagian besar umat Muslim untuk taat pada kebijakan pemerintah terkait Covid-19, misalnya untuk menunda Salat Jumat berjamaah di masjid selama masa PSBB. Di masa normal, anjuran semacam ini bisa berujung instabilitas sosial dan politik.

Terakhir, Komite perlu membangun komunikasi yang baik dengan komunitas internasional, terutama para negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Australia atas segala pendekatan yang mereka lakukan terutama dalam melibatkan militer. Sebab, bisa jadi mereka melihat babak baru ini sebagai bencana, mengingat pandemi ini belum ditangani dengan baik di Indonesia.

Lewat Komite, pemerintah diharapkan bisa mendorong negara-negara tersebut untuk justru dapat membantu optimalisasi penanganan pandemi di Indonesia, misalnya lewat bantuan peningkatan inisiatif penelitian, jumlah alat medis, dan kapasitas pengujian Covid-19. Tujuannya tak lain memungkinkan Indonesia untuk lebih efektif menekan imbas negatif pandemi terhadap kesehatan masyarakat sembari pemulihan ekonomi berjalan dengan ditopang kedisiplinan masyarakat.

Muhamad Rosyid Jazuli, MPP peneliti di Paramadina Public Policy Institute

Esai ini pertama kali dipublikasikan di Kolom Detik, 21 Agustus 2020.