Pancasila Tak Perlu Dipertentangkan dengan Agama

A staff cleans the area of the Pancasila Sakti Monument in Lubang Buaya, East Jakarta, on Wednesday (Sept. 30, 2020), before the commemoration ceremony of Pancasila Sanctity Day held on Thursday (Oct. 1, 2020). . ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/aww/sw

PPPI News, KOMPAS7 Juni 2021

 

JAKARTA, KOMPAS — Pancasila merupakan etika kebangsaan yang tidak semestinya dipertentangkan dengan agama. Dasar negara itu didesain agar seluruh masyarakat bisa menganut keyakinan atau agama masing-masing secara damai. Oleh karena itu, Pancasila tak layak dipolitisasi untuk kepentingan yang terkait dengan nilai keagamaan.

Pertentangan antara Pancasila dan agama kembali menjadi pembicaraan publik seiring dengan pengakuan sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK). Tes yang merupakan syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) itu kontroversial. Salah satunya karena memuat pertanyaan yang meminta peserta untuk memilih antara Pancasila dan Al Quran.

Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Frans Magnis-Suseno dalam diskusi daring ”Pancasila: Tandingan Agama atau Etika Kebangsaan” yang diselenggarakan Universitas Paramadina, Sabtu (19/6/2021), menyoroti pertanyaan di TWK tersebut.

Sejak perumusannya, Pancasila justru sudah memberikan ruang bagi seluruh masyarakat untuk mempertahankan identitasnya dan menganut keyakinannya masing-masing. Kelompok Islam yang merupakan mayoritas warga pun sudah sepakat untuk tidak memberikan kedudukan khusus bagi Islam dalam Pancasila dan UUD 1945.

Oleh karena itu, Pancasila dan agama tidak perlu dipertentangkan. ”Manusia Indonesia itu bermoral dan beragama bukan karena dia ber-Pancasila, tetapi dia ber-Pancasila karena dia bermoral dan beragama,” kata Magnis.

Ketua Program Studi Islam Madani Universitas Paramadina M Subhi Ibrahim mengatakan, sebagian besar masyarakat juga tidak pernah mempertentangkan Pancasila dengan agama. Merujuk survei LSI pada September 2019, dari 1.500 responden, 86,5 persen di antaranya menyatakan bahwa Pancasila dan UUD 1945 merupakan dasar yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Hanya 4 persen responden yang menyatakan Pancasila dan UUD 1945 tidak cocok dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Menurut dia, hasil tersebut wajar karena mayoritas masyarakat Muslim merujuk pada sikap Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bagi kedua organisasi massa Islam terbesar itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan hasil kesepakatan kebangsaan sehingga Pancasila tak perlu diperdebatkan.

Subhi melanjutkan, Pancasila pun sebenarnya sarat dengan nilai keislaman. Itu dilihat dari sejumlah kata yang digunakan pada beberapa sila. Penggunaan sejumlah kata itu mengandung bobot filosofis yang jika dieksplorasi dapat menunjukkan etika kebangsaan.

Salah satunya hikmat pada sila keempat. Hikmat yang secara umum ditafsirkan sebagai prinsip demokrasi, dalam filsafat Islam berarti kebijaksanaan. Artinya, Pancasila berusaha memperkenalkan model kepemimpinan hikmah yang menempatkan Pancasila sebagai hikmah kebangsaan.

Oleh karena itu, Pancasila harus dikembalikan pada posisinya sebagai sesuatu yang adiluhung. Politisasi Pancasila untuk kepentingan tertentu berakibat pada implementasinya yang tidak mampu memenuhi hak masyarakat. Misalnya, masih ada diskriminasi terhadap hak beragama dan belum terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pro pemerintah

Direktur Riset Institut Kebijakan Publik Paramadina (Paramadina Public Policy Institute) Universitas Paramadina Ika Karlina Idris mengatakan, perbincangan mengenai Pancasila juga marak di media sosial dalam beberapa waktu terakhir. Ia menganalisis perbincangan dengan kata kunci ”Pancasila” di grup Facebook menggunakan aplikasi crowdtangle sepanjang 5 Mei-13 Juni 2021. Dalam periode tersebut, terdapat 57.332 unggahan dengan total 2,35 juta interaksi.

Dari total unggahan, Ika mengambil 10.000 sampel yang berasal dari 16.774 pengguna dengan 8.730 interaksi untuk dianalisis. Analisis jaringan percakapan itu memperlihatkan, isu mengenai Pancasila menyebar di komunitas-komunitas kecil di Facebook. Ada 9.200 komunitas yang membincangkannya.

”Kluster percakapan terbesar adalah kelompok propemerintah, pemengaruh (influencer) utamanya adalah Sintesanews. Adapun akun yang paling aktif menuliskan pesan adalah Pemuda Pancasila se-Indonesia,” kata Ika.

Ika melanjutkan, topik yang paling banyak diperbincangkan terkait dengan selebrasi Hari Lahir Pancasila dan bangsa Indonesia. Topik mengenai khilafah negara Islam dan agama juga muncul, tetapi tidak dominan. Adapun kata yang paling sering muncul di antaranya ”Pancasila”, ”Indonesia”, sedangkan ”radikalisme” dan ”terorisme” muncul sesekali saja.

Selain pada grup Facebook, analisis perbincangan juga dilakukan pada unggahan di Instagram. Dalam periode waktu yang sama, terdapat 13.474 unggahan dengan interaksi enam kali lipat lebih tinggi ketimbang di Facebook. Total interaksi pembicaraan tentang ”Pancasila” di Instagram mencapai 13,39 juta interaksi. Interaksi tertinggi ada pada unggahan akun Presiden Joko Widodo @jokowi.

Menurut Ika, baik di Facebook maupun Instagram, topik perbincangan sama-sama berkutat soal selebrasi Hari Lahir Pancasila. Konten juga didominasi gambar yang diiringi klaim pengunggah sebagai sosok pancasilais. Belum ada diskusi yang lebih jauh untuk membumikan Pancasila. (KOMPAS)

Artikel ini merupakan berita terkait PPPI yang telah dimuat sebelumnya di Harian KOMPAS, 20 Juni 2021