Mewaspadai Pemanfaatan KPK Untuk Kepentingan 2024

Ilustrasi KPK - Antara

PPPI News, MEDIA INDONESIA7 Juni 2021

 

Akademisi Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, (yang juga merupakan Managing Director Paramadina Public Policy Institute, ed) menjelaskan rangkaian pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berimplikasi pada kepentingan politik 2024. Menurut Khoirul, KPK bisa kehilangan tempat sebagai satu-satunya aparat penegakan hukum yang bisa melakukan koreksi terhadap kekuasaan pascareformasi.

Ia menilai pelemahan KPK berpotensi besar merubah proses penindakan di lembaga antirasuah tersebut dalam arena politis. Hal ini bisa terjadi dalam upaya investigasi, penuntutan, bahkan penjatuhan vonis yang menjadi wewenang majelis hakim.

“Menjelang konstelasi 2024, rival atau kompetior dari kekuasaan harus hati-hati, karena proses investigasi, penuntutan, sampai vonis berpotensi besar menjadi arena politik,” kata Khoirul dalam webinar bertajuk ‘Pengkerdilan KPK & Memahami Arah Politik Anti-Korupsi di Indonesia’ yang digelar Paramadina Public Policy Institute, Senin (7/6).

Khoirul menyebut pelemahan KPK saat ini merupakan salah satu upaya untuk memfasilitasi dan mempermudah politisi dalam mengumpulkan logistik menjelang Pilpres maupun Pileg 2024. Sebab, selama ini KPK dianggap sebagai barrier, karena setiap keputusan lembaga tersebut berimplikasi besar dalam dunia politik.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Supradiono mengungkap 36% kasus yang ditangani oleh KPK adalah korupsi politik. Ia menilai sistem politik terbuka Indonesia dijalankan secara tidak rasional.

“Politik menjadi alat logistik. Berpikir untuk mengembalikan uang yang dikeluarkan biaya politik dan mencari uang lagi untuk digunakan kembali ke pemenangan periode berikutnya,” ujar Giri.

Sementara itu, dosen Universitas Sydney, Australia, Thomas Power, menyoroti pelemahan KPK di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Thomas mengatakan salah satu aspeknya adalah penempatan sebagian elit politik di luar jangkauan KPK sejak Jokowi menjabat pada 2014.

“Di zaman SBY, besan presiden Aulia Pohan masih bisa ditangkap KPK. Sedangkan pada 2015, dengan kegaduhan di awal Presiden Jokowi, kita lihat ada perubahan, ada preseden buruk ketika KPK ingin menyelidiki orang-orang besar,” paparnya.

Aspek lain yang dijabarkan Thomas antara lain intimidasi intensif terhadap penyidik KPK, delegitamsi diskursif terhadap penyidik yang independen melalui narasi frakasi Taliban, pengangkatan perwira aktif Polri menjadi pimpinan KPK, dan revisi serta implementasi UU KPK, terutama alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). (*)

Artikel berita ini ditulis dan dipublikasikan pertama kali oleh Media Indonesia, 07 Juni 2021