Laporan Lengkap Studi Program Sertifikasi Guru Sekolah Dasa

Tim riset PPPI:

Totok Amin Soefijanto, Fatchiah E Kertamuda, Nurhayani Saragih, Christiani Ajeng Rianti, dan Muhamad Iksan

 

Ringkasan

Tahun 2015 lalu, Tim Riset PPPI menjalankan studi tentang bagaimana dampak program sertifikasi terhadap kualitas performa dan kompetensi guru-guru kita. Berikut adalah ringkasan risetnya. Untuk laporan lengkapnya, silahkan UNDUH di bagian akhir halaman ini.

Guru menjadi pusat gravitasi peningkatan mutu pendidikan. Konsekuensinya, pemerintah meluncurkan program sertifikasi guru pada 2007 berdasarkan UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Program yang bertujuan mulia ini berhasil meningkatkan kesejahteraan guru secara signifikan, namun ternyata tidak meningkatkan mutu pendidikan atau kompetensi guru secara umum. Ibarat umpan yang manis, program sertifikasi berhasil mendorong guru memenuhi persyaratan untuk mendapatkannya; mulai dari portofolio sampai pelatihan wajib. Setelah tujuh tahun berjalan, melebar dari Indonesia bagian Barat ke Tengah dan Timur, jumlah guru yang sudah disertifikasi mencapai sekitar 1,5 juta orang dari lebih 3 juta guru di seluruh Indonesia.

Cerita yang negatif sebagai dampak sertifikasi mulai bermunculan, meskipun sporadis dan kasuistis. Benarkah program sertifikasi gagal mencapai tujuannya? Studi ini bertujuan untuk: (1) mengevaluasi efek sertifikasi terhadap kepuasan guru, siswa, dan orangtua; (2) Terciptanya iklim pendidikan yang sehat; (3) Diskrepansi kebijakan dalam pelaksanaan sertifikasi guru.

Studi ini berjalan selama 4 bulan di dua daerah: Jakarta dan Labuan Bajo, NTT. Dua lokasi ini mewakili dua kondisi yang berbeda, sehingga diharapkan temuan studi ini dapat mewakili kondisi sekolah di tanah air. Studi ini menggunakan metodologi kuantitatif dan kualitatif. Selanjutnya, dua SD negeri di setiap lokasi dipilih untuk survei (guru dan siswa), focus group discussion (orangtua), dan wawancara (kepala sekolah, dinas, dan Pemda). Studi ini mengadaptasi studi dari Mardapi (2008) untuk iklim sekolah dan kompetensi serta menggunakan ServQual (1988) untuk mengukur perbedaan antara ekspektasi dan persepsi dalam mengukur kepuasan. Data kuantitatif selanjutnya diolah dengan analisa faktorial Manova (multiple analysis of variance) untuk melihat kepuasan, iklim sekolah, dan kompetensi dari tiga faktor tetap: lokasi, jenis kelamin, dan status sertifikasi.

Hasilnya, ada tiga aspek yang menunjukkan perbedaan kepuasan yang signifikan: (1) bantuan sekolah kepada anak didik yang kesulitan belajar, (2) rasa aman di sekolah, dan (3) dukungan kerja guru. Guru perempuan yang sudah disertifikasi di semua lokasi mengaku tidak puas, sedangkan guru laki-laki yang sudah disertifikasi di Jakarta merasa puas, sedangkan koleganya yang di Labuan Bajo tidak puas. Sebaliknya, guru perempuan yang belum disertifikasi di semua lokasi merasa puas, sedangkan guru laki-laki yang belum disertifikasi menyatakan tidak puas, khususnya yang di Jakarta lebih tinggi daripada di Labuan Bajo.

Kepuasan siswa berbeda lagi. Siswa yang menjadi responden di studi ini semuanya memiliki wali kelas yang sudah disertifikasi. Ada sepuluh aspek yang menjadi perhatian siswa, yaitu (1) ketersediaan komputer di sekolah, (2) ruang kelas yang nyaman, (3) guru yang rapi, (4) kegiatan yang terjadwal baik, (5) bantuan kepada siswa dalam ulangan, (6) nilai pelajaran, (7) guru yang dapat menjelaskan, (8) tugas kelompok dan individual, (9) kepercayaan kepada guru, dan (10) rasa aman berinteraksi dengan guru.

Hasil diskusi kelompok terarah (focus group discussion) dengan orangtua mengkonfirmasi hasil survei terhadap guru dalam hal kompetensi kepribadian dan sosial. Sementara itu, kompetensi pedagogik dan profesional masih dianggap kurang oleh para orangtua. Di aspek iklim sekolah, orangtua umumnya puas dengan kinerja guru yang sudah disertifikasi, terlepas dari jenis kelamin dan lokasinya. (*)

UNDUH laporan lengkap dan rekomendasi kebijakannya di tautan di bawah ini.